in ,

Benarkah Buat Ribut dulu Baru Kita Didengar?

the nahyang cronicle

Benarkah Buat Ribut dulu Baru Kita Didengar?

Oleh: Nur Iskandar

Kusmayadi Thabrani menulis di laman FB kolom komentar sbb:
[Kenapa tentang SH II pihak jakarta kurang tertarik untuk mengangkatnya di ILC atau Mata Najwa, karna kita kurang berisik. SH II sempat mulai naik ketika HP ngomong tentang SH II, namun sebentar langsung redup,

Di negeri +62 ini akan segera menjadi topik nasional dan ramai ketika banyak yg berisik.

Menurut saye Yayasan SH2 harus bisa merangkul semua anak negeri ini agar bisa buat berisik dan penguasa jadi terusik.

Saya jawabnya begini di bawah komentar Kusmayadi:
Memang secara alamiah, jika suaranya keras, lebih didengar, walau kadang kita nilai cara teriak-teriak begini tidak sopan. Kurang beradab, atau kurang Pancasilais. Sebab Pancasila mengajarkan Adil dan Beradab. Nah, kalau Pusat memang mintanya kita teriak keras baru didengar, terpaksa nanti akan berteriak, sesuai sunnatullah. Cacing saja jika diinjak menggeliat. Mungkin para pembaca, para peneliti sejarah akan berteriak dengan caranya masing-masing. Kalau saya sebagai jurnalis, “teriaknya” lewat tulisan. Dan ini sejak 1994 non stop sampai sekarang. Dan saya meyakini Ashabul Kahfi 7 orang pemuda itu “tidur” 350 tahun disangka hanya sejam-dua jam, atau sehari dua hari. Betapa singkatnya waktu. Nah kasus Sultan Hamid ini rentang 1945-1978. Masih terlalu muda jika dilihat dari persfektif Tuhan. Tapi kebenaran akan terbuka pada waktunya. Kalau bukan zaman Pak Jokowi Allahyarham jadi Pahlawan Nasional, mungkin era setelah Joko Widodo, atau setelahnya lagi, atau setelahnya lagi, atau setelahnya lagiiii lagiiii dan lagi.

NB: Soal “berisik” dan kemudian Pusat peduli, sesuai liputan saya di bidang pers selama di pers kampus sampai pers pro: 1] Ketika ada tokoh Parpol di Kalbar bilang “kalau begitu kita merdeka saja!” kemudian Pusat mulai lakukan pendekatan khusus. Pangdam sibuk. Kementerian ikut sibuk. Semua keinginan politik lalu dipenuhi. Contoh hal serupa terjadi juga di Papua, Aceh, Maluku. 2] Pasang bendera Malaysia di desa-desa perbatasan. Karena ‘berisik” Pusat “terusik” lalu perbatasan dapat sokongan pembangunan. Dapat perhatian ekstra. 3] Perubahan patok tapal batas.NKRI kemudian ribut, sementara pulau Sipadan-Ligitan lepas akibat tidak diurus serius. Ini semua fakta dalam liputan pers….
Silahkan dibijaksanai ….
Namun satu hal perlu dicatat, sebagai inversi dari ribut-ribut dan berisik-berisik, bom atom itu bisa meledakkan Hiroshima dan Nagasaki bukan karena ramainya keributan sekelompok orang tapi hanya 1 atom. Satu senyawa…Dari sini kita bisa ambil hikmah, selama ada yang terus bergerak dan mengingatkan, insya Allah suatu waktu akan ada “ledakan atom” sejarah tentang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila dan soal tetek-bengek gelar Pahlawan Nasional. Yakinlah. Yakin haqqul yaqiiin. *

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

webinar sulthan annasira

Webinar Perdana Hapalan Quran Indonesia

seminar vokasi

Webinar Nasional Vokasi Diikuti 28 Provinsi, Tembus 1000 Peserta