in ,

Corona dan Buah Salam

IMG 20200321 155041 370

Oleh: Yusriadi

Sore itu, saya membersihkan semak di samping rumah. Saya berusaha membuang belukar yang sudah cukup tinggi yang lama terbiar. Arit berganggang besi dilas cukup tangguh untuk pekerjaan ini, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama keadaan menjadi lapang.

Sebenarnya, ritual menebas rerumput salah menjadi pilihan refreshing bagi saya. Sebelum sistem kehadiran kantor diberlakukan ketat seperti sekarang, plus tugas rumah belum banyak dan hampir seluruhnya ditangani istri, sesekali waktu di pagi hari saya manfaatkan untuk urusan rumput dan tanaman. Ketika keringat mengalir saya menjadi lebih ‘ringan’ dan fres. Ketika hasil tanam bisa dipetik/panen, saya merasa “gah” sendiri. Senangnya ….

Nah, ketika tebasan saya sampai di pohon salam di ujung tanah belakang, saya merasakan gah –seperti biasa. Pohon salam itu kami tanam sewaktu mula membangun rumah. Bibitnya dibawa emak dari tempat lama.

Sekarang pohon ini sebesar paha. Tinggi dari tanah ke cabang utama lebih kurang 1 meter. Bagian pucuk mungkin lebih kurang 5 meter. Ranting-ranting, sebagiannya dapat dijangkau dari tanah. Pohon tak sempat tinggi karena sering dibabat.

Selama ini pohon salam itu menjadi objek istri dan tetangga kalau memasak daging atau sayur tertentu. Aroma yang khas membuat daun pohon ini disukai dan bermanfaat. “Besar jasa ya…pohon salam ini,” kata istri saya suatu ketika, sesaat setelah tetangga yang akan menyelenggarakan hajatan minta daun tersebut.

Kemarin, saya merasa senang karena pohon salam ini berbuah. Buahnya sebesar manik berwarna putih. Saya memetik beberapa biji dan memasukkannya ke mulut. Lumayan juga rasanya yang khas. Anak saya yang diberikan buah itu, mencoba, tetapi kemudian meringis. Reaksi ini mengundang tawa kami semua.

Sambil memamah buah-buah salam, saya lantas teringat masa lalu. Sewaktu kecil saya sudah diperkenalkan dengan buah jenis ini: ada beberapa jenis ubar, ubah, bungkang. Buah salam ini, lebih dekat ke rasa bungkang, sedangkan dari sisi warna lebih dekat pada ubar putih –jenis ubar ada macam-macam warna.

Pada musimnya, buah ini termasuk buah favorit kami di kampung. Kami “belampik” –memanjat dan membuat tempat duduk senyaman mungkin di atas pohon, lalu menikmati buah tersebut. Mematahkan ranting dan memetik buah, lalu memamahnya segenggam sekaligus. Memang buah ini tidak mengenyangkan karena isinya tipis. Tetapi, rasa manis dan sepat cukuplah untuk menggoyangkan lidah.

Saya juga diperkenalkan penyakit yang berkaitan dengan buah ubar ini. Cacar. Ya, ada jenis serangan virus yang kami kenal dengan nama “cacar ubar”. Badan yang terserang virus akan timbul butiran-butiran sebesar biji ubar di mana-mana. Muka, badan, tangan, belakang, kaki. Virus itu cukup menyakitkan dan banyak pantangnya.

“Kalau musim buah, hati-hati, banyak penyakit datang,” kata kakek dahulu.
Nah, itulah yang saya ingat sekarang. Sekarang juga musim virus, virus yang dahsyat. Corona. Corona telah menyerang banyak orang dan banyak negara. Jumlah orang yang meninggal setelah positif corona juga sangat banyak.

Corona hari ini muncul berbarengan dengan dengan musim buah salam. Sebelum corona ini menghantui, di lingkungan kami, ayam-ayam tetangga juga punah terserang wabah.
Lalu, apa kaitannya antara buah salam dan corona? Mungkin tidak ada kaitan sama sekali. Buah salam bukan obat corona. Setidaknya, begitu yang saya ketahui.

Tetapi, ingat kata kakek, saya merasa keduanya sekarang ini berkaitan dari sisi momentum. Musim buah ubar dan musim virus (virus menyerang ayam dan virus corona) sama-sama musim penghujan-panas, kadang hujan, kadang panas. Kadang juga hujan panas. Kami diperkenalkan dengan masa pancaroba.

Mungkin saya berlebihan. Tetapi, saya percaya dalam beberapa hal seperti ini, kakek saya selalu benar. Beliau memiliki pengalaman dan kemampuan membaca tanda alam—seperti umumnya masyarakat pedalaman. Kemampuan ini membuat mereka menjadi lebih siap, dan berjaga-jaga: mencari penangkal dan menghindarinya munculnya wabah di musim pancaroba.

Dan, kalau pun berlebihan, setidaknya, sekarang saya jadi ingat kakek. Orang yang berjasa mendampingi masa kecil kami, mendidik dan mengajarkan banyak hal, lebih kurang 40 tahun lalu. (*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

IMG 20200320 063143 899

Bentengi Kubu Raya dari Covid 19

IMG 20181003 141654 170

Antara Kesehatan, Keselamatan Jiwa dan Pahala Ibadah