in ,

“Kamus Berjalan Itu Telah ‘Jalan’ Buat Selama-lamanya”

IMG 20170125 195352 234

teraju.id, Pontianak – Dalam jagad pendidikan Kalbar nama Drs H Soedarto tak asing dan tak diragukan eksistensinya. Dia guru dan dosen serta pengamat yang kritis sekaligus solutif. Tulisan atau artikelnya terpapar di berbagai media.

Wajar, publik mengenalnya dengan baik, terutama sesiapa yang pernah berinteraksi langsung dengan dirinya. Saya beruntung ikut mengenal Pak Darto–begitu beliau biasa disapa.

Bermula dari wawancara untuk tabloid mahasiswa Mimbar Untan (1992-1999) dan berlanjut ke media profesional dalam lingkup Jawa Pos Media Group, Borneo Tribune maupun Pusdiklat TOP Indonesia. Banyak artikel Pak Darto yang dialamatkan kepada saya untuk dimuat. Dan biasanya ada sepucuk surat sebagai pengantar. Sepucuk surat itu kadang-kadang diketik dengan mesin tik. Kadang-kadang pula tulis tangan laksana memo. Kami kerap terlibat diskusi terutama soal perbukuan. Dan paling intensif ketika menulis buku biografi politik Sultan Hamid Alkadrie, Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila (terbit 2013 bersama Turiman Faturahman Nur dan Anshari Dimyati). ***

Sebagai tokoh pendidikan yang dikenal luas di Kalbar, Pak Darto “laku” di mana-mana. Apalagi soal pendidikan, sejarah, dan kebudayaan. Ia jadi rujukan. Tak heran jika peneliti dalam dan luar negeri selalu mampir ke kediamannya untuk tukar pikiran. Sebut di antaranya Jamie Davidson dan Gerry Van Klinken. Di penghujung usianya yang senja, Pak Darto masih berusaha menterjemahkan sebuah buku penting karya Bohm. Seorang ilmuan Belanda yang cukup lama menjadi Sekretaris Sultan Hamid. Di dalam buku itu banyak informasi penting tentang Pontianak pada khususnya, dan Kalbar pada umumnya. Saya juga menanti-nanti karya penterjemahan Pak Darto ini, namun sampai napas terakhirnya, Rabu, 25/1/17 pagi saya tak dapat kabar apakah project penterjemahan buku yang lumayan tebal itu telah selesai. ***

Sebagai pakar, Pak Darto akrab dengan forum seminar maupun diskusi terfokus. Ia kerapkali menjadi narasumber atau pembahas. Di forum-forum seperti itu wejangannya mengalir deras dengan data angka maupun fakta nyata. Argumentasinya nyaris tak terbantahkan. Mungkin Pak Darto adalah “spesies langka” hasil didikan zaman Belanda. Ingatannya tajam. Bacaannya luas. Punya prinsip. Benar, benar. Salah, salah. Melintang patah, membujur lalu. Kepala Dinas Pendidikan Kalbar, Drs Alexius Akim, MM menyebut Pak Darto sebagai “kamus berjalan”.

Hal itu telah menjadi bancakan dalam perjalanan hidup Pak darto sejak dia menamatkan pendidikan di Jawa, bertugas mengajar di Sambas, lalu masuk ke Kota Pontianak, sampai akhirnya pensiun dalam kedinasan di Kanwil Pendidikan Kalbar. Masa pensiun diisinya dengan tetap mengajar sebagai dosen tamu di IKIP Pontianak, IAIN Pontianak maupun Universitas Tanjungpura. ***

Pak Darto hidup sendiri. Dia pilih membujang. Tentang hal ini tak banyak orang yang tahu soal sisi lain hidupnya. Oleh karena itu dia salah tingkah kalau ada orang sok kenal sok akrab dan bertanya, “Bagaimana anak dan ibu, sehat pak?” Namun tokoh pendidikan yang setaraf usia dengannya mengetahui bahwa Pak Darto pernah patah hati. Dimana sosok wanita yang dia cinta bertepuk sebelah tangan. Nah, Pak Darto memeluk cinta sampai akhir hayatnya. Ini sisi lain betapa dia teguh dan keras menunjukkan sesuatu yang dia yakini hakikat dan makrifatnya. ***

Pak Darto suka berjalan kaki. Tak mudah merayunya naik boncengan motor maupun mobil. Jika mendapati Pak Darto sedang berjalan kaki di trotoar Kota Pontianak tak sedikit orang yang mampir menawari tumpangan, namun dia tidak mau. Kenapa? Kepada saya Pak Darto bicara panjang soal hal ini. “Bukan menolak kebaikan Anda. Namun berjalan kaki adalah obat bagi saya. Saya mengidap sirosis hati,” katanya. Dalam sehari minimal Pak Darto harus jalan kaki sepanjang 2 km. Kalau dia berjalan kurang dari itu, maka sirosis bisa merenggut usianya lebih cepat. (Sirosis adalah pengerasan hati yang dalam bahasa media disebut hepatitis). ***

Pak Darto orang yang sederhana. Rumahnya seperti bangunan sekolah inpres. Terdiri dari pintu depan rumah yang miring, jendela berbahan kaca lebar dan hanya dilapisi gorden kain tanpa renda. Atap seng rumah itu sudah cokelat karena karat. Namun halaman rumahnya hijau dengan rumput gajah. Tampak terawat dan bersih. Jika kita berkunjung ke rumahnya, terdampar koran dan buku di atas meja atau di rak lemari ruang tamu. Di ruang tamu ada dua tempayan antik. Dua tempayan antik itu sudah diwasiatkan menjadi koleksi Balai Kajian Sejarah. Adapun buku-buku sebagian diwasiatkannya kepada Perpustakaan, sebagian jatuh kepada guru maupun stafnya, Jumadi, M.Pd. Pak Darto menulis sejumlah poin wasiat tertera Januari 2017.

PPLJika melewati Jalan Selayar yang menghubungkan bundaran Kota Baru dengan masjid Al Amin dan melihat kediaman Pak Darto saya menghela napas panjang. Bahwa di dalam rumah sederhana itu ada makhluk istimewa yang jasa-jasanya amat sangat besar bagi Kalbar. Dan memang dari tempat sederhana kerap bercahaya sesuatu yang istimewa melebihi cahaya istana nan gemerlap. ***

Pak Darto dikabarkan jatuh di sekitar pintu dapur pada pagi hari, Rabu, 25/1/17 di tengah cuaca Pontianak yang diguyur hujan. Seorang tukang kayu yang sedang bekerja mendapatinya tersungkur di atas lantai. Di sana dia berpulang ke haribaan pencipta-Nya. Pak Darto disemayamkan pada pukul 10 pagi dan dimakamkan di pemakaman muslim Jl Danau Sentarum setelah waktu shalat dzuhur di hari yang sama. Puluhan orang mengiringi pemakamannya. ***

Kabar wafatnya “kamus berjalan” yang suka berjalan ini menyebarluas di FaceBook dan WhatsApp. Salah seorang di antaranya saya baca “japri” dari Dr Leo Sutrisno. Kata pakar pendidikan FKIP Untan yang juga sahabat Pak Darto ini bahwa dua minggu sebelumnya Pak Darto bertandang ke kediamannya di Kompleks Untan tak jauh dari Program Magister Ilmu Hukum. “Beliau lama memeluk saya seperti tak mau berpisah dengan adiknya,” kata Romo Leo Sutrisno mengenang Pak Darto yang enggan diantar pulang dan lebih memilih jalan kaki serta menikmati lahan pekarangan di teras rumah Leo Sutrisno nan rimbun. Dalam suasana itu dua tokoh pendidikan Kalbar ini berpisah buat selama-lamanya. (Nur Iskandar)

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

IMG 20170121 182300 800

18 Ormas menemui Kapolda dan Kapolres

IMG 20170125 200138 366

In Memorium Selamat Jalan Pak Darto