in

Luruskan Sejarah tentang Sultan Hamid–Emha Ainun Nadjib Kirim Enam Jurus Jitu untuk Indonesia Menjadi Bangsa Besar atau Punah di Masa Pandemi

WhatsApp Image 2020 07 23 at 06.55.42

teraju.id, Jombang-Yogyakarta – Hari Senin, 20/7/2020 yang penuh spirit serta vitalitas setelah sebagian warga bangsa berakhir pekan, terjadi komunikasi antara panitia Konser 107th Sultan Hamid yang beragendakan “pelurusan sejarah bangsa” dengan budayawan kondang di jagad Nusantara, Emha Ainun Nadjib. Pembicaraan via telepon analog itu pun disambut salam oleh pria yang akrab disapa Cak Nun dengan aksi panggung maupun kolom-kolomnya bak mutiara bertaburan dengan salam sejahtera sekaligus mendengar kata “Allahyarham Sultan Hamid Alkadrie, Sultan ke-7 Qadriyah Pontianak, suami megabintang era 1990 Novia Kolopaking ini segera menyebut kalimat, “Oiya, Perancang Lambang Negara itu ya…”

Panitia berkeinginan mengundang Cak Nun membacakan sajak, puisi atau syair karena konser bertajuk musik dan sastra, sesuatu yang sangat Emha. Tokoh sentral Kyai Kanjeng dengan wirid, sholawat serta gamelannya ini tidak menampik. Cak Nun menyodorkan sebuah hasil perenungannya yang mendalam sejak berada di Jombang tanah pusakanya, hingga Yogyakarta, domisili yang dipilih karena kecintaannya kepada masyarakat maupun budayanya. Enam butir mutiara renungan Cak Nun itu merujuk kekuatan Bangsa Indonesia jika di-start dan re-start dengan baik, maka akan bisa “menyalip” negara-negara maju dalam tikungan Pandemi Covid-19.

Apa saja keenam jurus jitu menjadi Bangsa Besar di era pandemi yang diberikannya judul “Ini Laba Sejarah Bangsa Indonesia” itu? Simak kalimat bernas dan trengginas dari maestro Saiyah Maiyah–Markesot Bertutur–Secangkir Kopi Jon Pakir ini sebagai berikut:

  1. Bangsa Indonesia tidak butuh dan tidak menunggu bencana yang lebih besar lagi dibanding wabah Corona untuk menemukan kesadaran barunya, mengakhiri kesalahannya dan membangkitkan update kebenaran keIndonesiaannya. Wabah Corona merupakan petunjuk dan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa, yang bangsa Indonesia memaknainya sebagai kelahiran dan kebangkitan baru, mencerdasi kembali
    kesadaran sejarahnya, menegakkan kembali kedaulatannya, kemandirian dan harga dirinya.
  2. Corona jangan menjadi trauma dan satu-satunya konsentrasi. Justru sekarang Ini adalah momentum emas bagi bangsa Indonesia, kalau bangsa dan pemerintahnya kreatif dan lebih bersungguh-sungguh. Indonesia berpikir ulang secara mendasar atas seluruh kondisi dan situasi bangsanya. Ia tidak hanya “restart”, tapi menemukan “hard reset”nya sendiri, tidak menjadi ekor dan pelengkap penderita dari “global hard reset” dunia. Indonesia berpeluang mengambil laba sejarah. Bukan laba dalam arti memanfaatkan kapitalisasi dan kekaburan fakta komplek Corona untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Melainkan untuk “membalap dunia di tikungan”, membangun kembali keIndonesiaan politiknya, perekonomian dan kebudayaannya, dilandasi oleh perenungan baru karakternya, mental dan moralnya – dengan kesadaran terhadap kekayaan sejarah sejauh-jauhnya ke belakang maupun futurology cerdas ke depan.
  3. Pengalaman Corona sudah sangat cukup bagi bangsa Indonesia untuk memulai kecerahan suasana hati nasionalnya, mengakhiri “pertengkaran rumahtangga” yang seolah tak habis-habisnya, ikhlas mengubur permusuhan, kebencian, penghardikan dan penghinaan sesama bangsanya sendiri. Corona memaksa kita “stay at home dan merenung”. Tak hanya di rumah masing-masing keluarga, tapi juga bangsa Indonesia merenung kembali di rumah besar Indonesia Raya. Semua pihak, golongan dan kelompok dalam satuan apapun sudah saatnya memulai mengIndonesia kembali. Tak masalah ada Islam ada non-Islam, silahkan Cebong dan Kampret, bagus ada latar
    belakang dan identitas bermacam-macam: semua itu kekayaan, kecuali kalau pijakan dan golnya bukan Satu Indonesia.
  4. Dunia akan kita bikin menyaksikan Indonesia menjadi Negara Dewasa karena belajar kepada kekayaan sejarahnya. Indonesia tidak bisa lagi dikerdilkan oleh pertengkaran dan permusuhan emosoinal dan egosentris. Dengan tokoh-tokoh nasionalnya yang unik, tentaranya yang sakti dan mumpuni, polisinya yang sangat berpengalaman, rakyatnya yang sangat tangguh – Indonesia bukanlah boneka atau follower model
    kekuasaan Dunia, karena punya karakter dan tujuan hidupnya sendiri. Indonesia bukan salah satu gerbong Globalisasi. Karena globalisasi sudah secara substansial mengkaburkan eksistensi Negara. Apalagi kereta api sejarah bangsa Indonesia memiliki terminal awal dan terakhirnya sendiri. Sekaranglah momentumnya bagi Indonesia untuk menentukan sendiri ukuran-ukurannya tentang Negara,
    pembangunan, kemajuan dan masa depan kehidupannya secara mendasar dan menyeluruh.
  5. Presiden bisa bisa memilih secara tepat para Sesepuh, Tetua, Cendekiawan dan Punakawan bangsa Indonesia dan mengajak mereka segera berkumpul untuk bersama menemukan alasan-alasan sejarah yang mendasar dan urgen, kemudian mempertimbangkan hal-hal di atas, serta merumuskan masa depan yang menyelamatkan dan menyejahterakan anak cucu bangsa besar kesayangan Allah ini di
    masa depan. Termasuk menimbang peluang Indonesia menjadi Negara Desa, sebagai aplikasi keIndonesiaan dari Negara Bangsa, bukan Negara Metropolitan, Kapitalisme, Sosialisme dll.
  6. Presiden dan Pemerintah Satu Indonesia bukanlah kumpulan orang-orang kerdil yang mengandalkan jabatan dan berlaku menguasai. Melainkan wong- wong agung, manusia-manusia dengan kebesaran jiwa dan kebijaksanaan hidup, yang membersamai seluruh rakyatnya memfokuskan kesungguhan hati, kecerdasan pikiran dan ketangguhan kerja kerasnya untuk merintis kembali Negara yang dewasa, Pemerintah yang jujur dan patuh, rakyat pekerja keras yang kreatif dan mampu menakar kesejahteraan lahir batin masa kini hingga masa depannya. Bangsa Indonesia tidak akan memilih yang kedua, ketika sejarah mengganjalnya untuk memilih: “Berubah atau punah”. (Jombang -Yogya-3 Juli 2020-Emha Ainun Nadjib).

“Sudah dibaca? Boleh ulang-ulangi sekali lagi. Renungkan sedalam-dalamnya. Insya Allah lurus benang kusut sejarah dengan kemampuan kita bergerak di “jalan yang lurus”. Fokus. Mencapai tujuan akhir hidup kita sebagai anak bangsa dan berbangsa bernegara,” ungkap dua budayawan Bumi Khatulistiwa yang mengapresiasi “petuah serta wasiat” sang guru idola–Pradono dan Edi “Koemal” Purwanto. (kan)

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

IMG 20200723 080806 560

Penjualan Jalur Digital Meningkat 8-18 Kali Lipat–“Networking is a Power”–Ayo 1 Juta Pelaku UMKM!

IMG 20200723 080823 934

Taqwa Company!!!