in , ,

Siapa Biang Korupsi di Indonesia, Ini Jawaban KPK…

Naskah Kode Etik Parpol dan Politisi
Menkopolhukam (Wiranto), ketika menerima secara simbolis naskah kode etik politisi & Partai Politik dari KPK (Laode M Syarif) dan LIPI (Syamsudin Haris) di Hotel JS Luwansa, Jakarta (24/11). Photo by Alexander Mering

*KPK-LIPI Luncurkan Naskah Kode Etik Politisi dan Parpol

teraju.id, Jakarta-Sebagian besar pesakitan kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah berasal kalangan partai politik dan kaum terdidik. Kondisi ini menunjukan ada masalah di dalam tata kelola Partai Politik (Parpol) di Indonesia selama ini. Padahal Parpol adalah pilar utama demokrasi di negara kita.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, saat peluncuran naskah kode etik politisi & Partai Politik di hotel JS Luwansa, Jakarta (24/11).

“Dari 600-an koruptor yang ditangani KPK kebanyakan adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Dari kasus yang sudah inckracht, 32 persennya adalah dari kalangan partai politik,” kata Laode.

Dari data yang dimiliki KPK, semua yang berurusan dengan KPK dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan adalah S2 kemudian S1 dan 40 orang adalah S3.

Kondisi inilah yang mendorong KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyelenggarakan program kelas Politik Cerdas dan Berintegritas (PCB) bagi generasi muda Indonesia dan membuat Naskah Kode Etik Politisi dan Partai Politik, serta Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal.

“Anak-anak kita butuh politisi yang bisa memberi teladan dan memiliki integritas serta bisa menjadi inspirasi,” tegas Laode.

Sementara itu Peneliti senior LIPI Syamsudin Haris mengatakan bahwa kerja sama KPK dengan LIPI terkait hal ini sudah dilakukan sejak Juni 2016 lalu.

Dipilihnya Parpol, karena adalah pilar utama dalam sistem demokrasi di Indonesia. “Saya kira kita sepakat bahwa demokrasi kita ada di tangan Parpol, kalau Parpol dan politisinya tidak baik maka sangat mungkin masa depan kita juga tidak baik juga,” kata Syamsudin.

Menurutnya, tingkat kepercayaan yang rendah itu terjadi karena kualitas kinerja parpol dan pemimpinnya yang juga kurang baik dan tidak membanggakan.

Dia juga berpandangan, karena Parpol yang selama ini menyeleksi hampir semua pemimpin yang menduduki jabatan publik di parlement, maka Parpol semestinya memiliki kerangka etik ketika berhadapan dengan konstituennya, berhadapan dengan media, dan private sektor lainnya.

“Jadi Parpol memang membutuhkan kerangka etis. Kalau melakukan pelanggaran, Parpol tersebut bisa dilikuidasi untuk tidak ikut pemilu,” tambah Syamsudin.

Ada empat substansi dalam kode etik yang luncurkan itu, yaitu pertama tentang bagaimana masuk ke dalam dan menjadi bagian penting dari Undang-undang tentang parpol; kedua, naskah menjadi salah satu syarat mutlak apabila negara akan memberikan dana kepada partai politik yang uangnya berasal dari APBN; ketiga, Kementerian Hukum dan HAM menjadikan naskah ini sebagai bagian dari persyaratan mutlak untuk parpol yang mendaftarkan diri ke Kemenkumham; keempat, tekanan masyarakat pada artai-partai untuk menginternalisasi naskah ini ke dalam jiwa, pikiran dan tindakan para politisi dan parpolnya.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Wiranto tidak menampik tentang wajah politik Indonesia yang masih carut marut.

Menurut dia, itu karena Politik di Indonesia sudah mengalami proses reduksi sehingga politik hanya difahami dalam arti sempit oleh masyarakat. Yaitu bayar-membayar, kompas-mengkompas saat pemilu, jelek-menjelekan yang pada akhirnya melahirkan citra politik di Indonesia itu kotor.

Karena tidak ada acuan atau panduan yang jelas dalam melahirkan para politisi kata Wiranto, makanya banyak Parpol yang menggunakan berbagai cara untuk mengumpulkan suara dan simpati constituen-nya, termasuk merekrut para artis atau penyanyi dangdut menjadi anggota DPR.

“Semakin bahenol, semakin banyak suara terkumpul. Saya tidak mengatakan mereka buruk tapi ini soal kompetensi. Sebab tidak mungkin dengan waktu yang singkat dan belum matang lantas bisa langsung jadi pemimpin dalam partai Politik,” kata Wiranto.

Padahal menurut dia parpol-lah yang diberi “hak” utama untuk melahirkan pemimpin formal di Indonesia, baik sebagai presiden, gubernur, walikota atau jabatan lainnya.

Sebab itu dia menilai sangat tepat KPK dan LIPI membuat panduan etika para insan politik dan panduan bagaimana paprol melakukan suatu rekrutmen bagi para kadernya, dalam rangka melakukan perbaikan dan perubahan yang positif atas tata kelola Parpol di Indonesia.

Kedua naskah penting disusun melalui peroses yang cukup panjang. Mulai dari penelitian, konsultasi dengan para pemangku kepentingan dan berbagai pihak yang relevant. Program ini dilaksanakan di empat kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Makassar, Surabaya dan Medan.

Pada acara yang sama, juga dilakukan pengucapan ikrar para alumi terbaik pertama Kelas Politik Cerdas Berintegritas (PCB), yaitu mahasiswa dan pelajar SMA/sederajat, perwakilan sejumlah provinsi di Indonesia untuk membangun integritas bagi calon kader politik masa depan. Sayangnya tak ada di antara para calon politisi muda itu yang berasal dari Kalimantan Barat.

Written by teraju

IMG 20161124 102927 218

Pemkot Singkawang: Terjadi Letupan Kecil yang Bikin Riuh

IMG 20161125 064929 320

Gubernur, Kapolda dan Pangdam Keluarkan Maklumat Bersama