in ,

Persaudaraan Dayak-Melayu dalam Memori Kolektif Orang Melayu

melayu dayak kalimantan barat

Oleh: Dr Hermansyah *

Tulisan ini adalah refleksi penulis sebagai orang Melayu yang nenek moyangnya adalah orang lokal. Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis yang dibesarkan dalam keluarga Melayu yang sering mendengar cerita tentang asal-usul keluarga. Oleh karena itu tulisan ini bersifat superfisial dan subjektif.

Sebelum orang Eropa datang ke Kalimantan Barat, istilah Dayak dan Melayu tidak dikenal untuk mengidentifikasikan orang lokal. Identifikasi lokal yang populer adalah nama-nama suku tradisional yang secara sepintas dapat dikesani banyak di antaranya berasosiasi pada tempat asal seperti nama kampung atau nama sungai dan bahasa. Dalam batas-batas tertentu, identifikasi ini masih digunakan sampai sekarang sebagai penanda asal-usul seseorang.

Isu masuk Islam masuk Melayu bagi masyarakat lokal di Kalimantan Barat sudah muncul setidak-tidaknya sejak hampir 200 tahun yang lalu. Sebagai contoh Veth (1854: 54) melaporkan tentang penduduk Embau (sebuah kawasan sungai di Kapuas Hulu). Menurutnya keislaman seseorang berarti menyandang gelar nama suku Melayu. Dengan tegas Veth (1854 : 54) mencatat; Daar zij voor eenige jaren den islam hebben aangenomen thans tot de malaijers kunnen gerekend worden. Maksudnya, di sana beberapa tahun sebelum ini mereka (penduduk Sungai Embau) telah memeluk agama Islam, maka mereka boleh dihitung sebagai orang Melayu.

Proses identifikasi Melayu-Dayak terhadap masyarakat lokal berdasarkan kepercayaan yang dianut pemeluknya dalam konteks ini jelas demi kepentingan kolonial. Masing-masing kategori ini diberikan citra tertentu. Citra ini secara perlahan tetapi pasti mempengaruhi orang lokal. Karenanya proses identifikasi yang membedakan Melayu dan Dayak semakin kuat. Akibat lebih lanjut hubungan kekerabatan yang sebenarnya sangat kuat karena hubungan darah semakin renggang.

Pemisahan itu semakin kuat ketika pada masa-masa berikutnya kebanyakan orang yang disebut Dayak itu kemudian memilih Kristiani sebagai agama formalnya. Sebaliknya, beberapa orang Dayak yang masuk Islam masih tetap dianggap masuk Melayu. Dalam konteks ini konsep kolonial tersebut terus dipakai. Peneliti belakangan masih melaporkan hal yang sama seperti Sellato (1992) yang menulis: Gradually over time religious conversion would result in a reclassification of the Dayak converts as Malay; the local Malay term for this process is masok Melayu (to become Malay or to enter Malaydom) or sometimes turun Melayu (to come down [and become] Malay.

Kondisi ini diperparah lagi oleh segelintir orang menjadikan identitas Melayu-Dayak sebagai alat politik. Dalam beberapa kasus kedua konstruksi identitas kolonial ini dihadap-hadapkan.

Walaupun begitu, kesadaran perasaan persaudaraan terhadap orang Dayak di kalangan orang Melayu tidak sepenuhnya luntur. Dan saya yakin kesadaran itu juga ada di kalangan orang Dayak. Kesadaran semacam ini telah berhasil merekatkan solidaritas sosial orang Dayak dan Melayu di kampung-kampung. Ini merupakan modal bagi masyarakat Kalimantan Barat untuk menjaga harmoni sosial.

Ada berbagai hal yang tetap mengingatkan orang Melayu akan asal-usulnya yang menjadi memori kolektif mereka, antara lain: Aspek kepercayaan, warisan, hubungan sosial, dan kesamaan budaya. Memori kolektif ini telah diwariskan beberapa generasi. Sayangnya, belakangan ini memori kolektif mulai terhapus perlahan-lahan baik secara sengaja atau tidak. Untuk melawan lupa makalah ini dihadirkan.

Memori Kolektif
Setiap komunitas di dunia ini memiliki masa lalu. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Robert N. Bellah, apa yang disebut komunitas pun ditentukan oleh apa yang terjadi di masa lalu mereka. Ia berpendapat, bahwa komunitas sejati adalah komunitas ingatan-ingatan, yakni komunitas yang berpijak pada masa lalunya, dan tak pernah melupakannya.

Untuk melestarikan masa lalunya, sebuah komunitas, demikian kata Bellah, membutuhkan sebuah cerita. Mereka menciptakan cerita yang berisi nilai-nilai yang dianggap bermakna bagi komunitas tersebut. Cerita-cerita semacam ini amatlah penting untuk melestarikan sekaligus mengembangkan identitas kolektif komunitas tersebut. Namun, yang diceritakan tidak hanya cerita-cerita tentang kebaikan dan keberhasilan masa lalu, melainkan juga cerita-cerita yang berisi tentang peristiwa-peristiwa menyakitkan, serta kegagalan-kegagalan yang bisa dijadikan bahan pembelajaran. Cerita-cerita tentang peristiwa negatif dari masa lalu justru bisa menjadi perekat identitas kolektif yang kuat, dan menciptakan rasa kebersamaan yang dalam. Dan jika sebuah komunitas sepenuhnya jujur, demikian tulis Bellah, mereka akan mengingat cerita-cerita tidak hanya tentang penderitaan yang diterima, tetapi juga penderitaan yang diakibatkannya- ingatan yang berbahaya, karena ingatan itu mengajak komunitas tersebut untuk mengubah kejahatan yang kuno (Reza, 2012).

Kepercayaan
Meskipun kepercayan/agama selain bahasa sebagai penanda utama perbedaan Melayu dan Dayak. Namun jejak kepercayaan lama masih dapat ditelusuri dalam kehidupan sehari-hari orang Melayu yang sama dengan orang Dayak seperti terdapat dalam upacara pemasangan ancak, kepercayaan yang berkaitan dengan upacara tolak bala, kepercayaan yang berkaitan pantang larang, kempunan, kepercayaan mengenai semangat, dan banyak lagi.

Selain itu dalam memori kolektif orang Melayu lokal sejak lama mereka mengaku memiliki hubungan kekerabatan dengan orang Dayak. Untuk membuktikannya biasanya mereka masih memiliki tembawang yang diwarisi oleh leluhur mereka. Pemilik tembawang tersebut terdiri dari orang Dayak dan orang Melayu. Tembawang adalah kebun lama yang ditanami berbagai tumbuhan buah seperti durian, manggis, rambutan, mangga, dan sebagainya. Pada musim berbuah, orang-orang Dayak akan berpesan kepada saudaranya yang sudah menjadi Melayu untuk mengambil buahnya atau kadang-kadang mengirimnya. Sebaliknya, jika orang-orang Dayak pergi ke kampung orang Melayu mereka akan diterima sebagai saudara dan diperlakukan dengan baik layaknya saudara. Pada masa lampau banyak contoh, orang-orang Dayak menyekolahkan anaknya dengan menitipkan pada orang Melayu. Bahkan makan, minum, dan uang sekolah menjadi tanggungan tuan rumah yang Melayu.

Di samping tembawang, orang Melayu (dan mungkin juga Dayak) diwarisi dengan cerita asal usul yang sama dengan orang Dayak. Di pedalaman hulu Kapuas terkenal cerita ini Demang Nutup sebagai nenek moyang semua orang Hulu, baik Melayu Maupun Dayak.

Selanjutnya ada warisan sistem berladang yang sama di kalangan orang Melayu dan Dayak. Secara keseluruhan sistem berladang di kalangan orang Melayu kegiatan berladang/berhuma yang merupakan kegiatan utama masyarakat desa di pedalaman sebagian besar sama dengan sistem berladang orang Dayak.

Selain itu ada juga magis yang disebut Ilmu (untuk menyebut kemampuan magis) di kalangan orang Melayu yang sebagiannya dapat dipastikan merupakan warisan leluhur mereka sebelum Islam. Hermansyah (2010) melaporkan sejumlah Ilmu menunjukkan bahwa kesan warisan nenek moyang. Selain adanya unsur Islam dalam Ilmu, ada pula unsur lokal yang menunjukan warisan tradisi antara lain kepercayaan yang mirip atau bahkan sama dengan kepercayaan yang ada di kalangan Dayak. Sebaliknya juga, orang Dayak menerima pengaruh Melayu dalam mantranya. Orang Dayak mempertahankan unsur lokalnya sebagaimana di kalangan orang Melayu, dan menerima pengaruh Melayu, lebih tepatnya lagi Islam dalam mantranya seperti laporan Hermansyah (2003).

Demikian juga dalam menjaga hubungan sosial dan menghormati saudara Dayaknya, orang Melayu memilih menyebut mereka sebagai orang Darat. Bahkan ini dilakukan ketika mereka sedang membicarakan orang Dayak sebagai orang ketiga. Sebab pada masa itu Dayak memiliki konotasi yang negatif. Sementara di kalangan orang Dayak di Melawi dan Sintang menyebut saudaranya yang muslim sebagai senganan (Fatmawati, 2011) yang artinya sebelah kanan dalam makna masih saudara dekat. Dalam kenyataannya, muslim senganan ini masih meneruskan adat istiadat Dayak yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan ajaran Islam.

Dalam konteks hubungan antara orang Dayak dan Melayu terdapat kebiasaan yang baik dan terus dipelihara sampai sekarang, terutama di pedalaman. Di kampung-kampung Dayak tertentu, terdapat kebiasaan khusus melayani tamu yang beragama Islam. Dalam rangka menghormati tamu yang beragama Islam mereka menyiapkan alat makan dan alat masak khusus yang tidak mereka gunakan. Selain itu kadang-kadang tamu yang datang juga diberikan bahan makanan yang belum dimasak. Dengan begitu, tamu Muslim dapat mengolah makanan sendiri tanpa merasa was-was sebagaimana jika memakan makanan yang sudah dimasak. Oleh karena itu, orang-orang Muslim yang datang ke perkampungan Dayak merasa berada di tempat sendiri.

Ingatan terbentuk di masa kini seperti juga di masa lalu dan merupakan sesuatu yang tidak tetap. Ingatan merupakan sesuatu yang hidup dalam dinamika baik pada level individu maupun kolektif. Ingatan itu dipelihara atau dihilangkan sangat tergantung kepada keperluan mereka. Untuk menjaga harmoni sosial di Kalimantan Barat elok kiranya kita mengingat masa lalu yang ternyata telah terbukti merekatkan berbagai elemennya. Terlalu mahal biaya demi kepentingan sesaat mengorbankan masa depan. Mari kita melawan lupa.

(Penulis adalah Wakil Rektor 1 IAIN Pontianak)

Written by teraju

IMG 20170518 133103 222

Sikap Intoleransi akan Luntur dengan Sastra, Hidup Harmonis akan Subur dengan Sastra

IMG 20170519 202731 996

Polda Siapkan Protap Pengamanan Gawai dan GBU 205