in ,

Yudi Latif, sang “Pancasila Berjalan” sodorkan PERMA

Yudi Latif Badan Pengarah Ideologi Pancasila

Pukul 8 pagi lewat sedikit, 10/12, saya tiba di Rumah Melayu. Melompong. Lengang tepatnya. Tentu sebuah pemandangan yang agak mengecewakan. Padahal, coffe morning yang digagas Paguyuban seluruh etnis di Kalbar kali ini beda.

Ada Yudi Latif sebagai pembicara utama. Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Tempat berkumpulnya tokoh senior-senior bangsa—mungkin mirip Dewan Pertimbangan Agung, kala orde baru. Beliau mundur dengan sejuta misteri. Ini yang membuat saya sangat ingin mendengar ceramahnya.

Apalagi, Pancasila, Pancasila, Pancasila, Pancasila, Pancasila (5x nulisnya), terus didengungkan beberapa tahun terakhir. Dari berbungkus 4 pilar kebangsaan hingga riuhnya BPIP. Entah apa ada yang salah dengan penerapan Pancasila di bangsa kita selama ini. Sangat kentara 4 tahun terakhir. Riuhnya sosialisasi Pancasila ini bahkan menenggelamkan sejarah bahwa sang perancang lambang negara, Sultan Hamid II, belum mendapat pengakuan yang semestinya dari anak bangsa.

Kang Yudi, panggilan akrabnya, tidak sedikit pun menyinggung tentang BPIP, apalagi soal ribut- ribut gaji. Ia lebih seorang filosof yang sedang memberikan kuliah umum. Kedalaman ilmunya tampak. Secara berseloroh, saya berucap saat sesi foto bersama, Kang Yudi ini bak Pancasila berjalan.

Ia juga menyinggung pentingnya menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang bahagia. Tidak melulu berkutat kepada hal remeh temeh. Ia menawarkan formulasi yang disingkat PERMA. Meski bukan murni miliknya. Dari hasil googling, ternyata Martin Seligman telah menelurkan pemikiran ini sebelumnya. Tapi Yudi Latif membawa formulasi ini dalam perspektif luas, dalam kehidupan berbangsa.

Perma adalah Positive Emotions, Engagement, Relationships, Meaningfulness dan Achievement.

Dari lima poin tersebut, saya tertarik ulasan mengenai achievement. Ia pernah berbicang dengan Agum Gumelar, mertua pebulutangkis Taufik Hidayat. Ia bertanya mengapa prestasi pebulutangkis nasional cenderung menurun 10 tahun terakhir. Apa yang salah? Agum menjawab, “Tak ada yang salah dengan kemampuan teknis atlet kita. Tapi saat di lapangan, mentallah yang berbicara. Atlet kita, saat melawan atlet China misalnya, mentalnya langsung drop. Kalah sebelum bertanding.”

Secara tak langsung, Yudi ingin mengungkapkan bahwa pencapaian kita sebagai bangsa sangat mempengaruhi sektor lainnya. Kita laksana satu tubuh. Saling menguatkan. Alih-alih menjatuhkan.

Hm…. di sini masalah kita sebenarnya. Kita berebut saling menjatuhkan. Saling berprasangka. Tak merasa bahwa kita di perahu yang sama. Dengan tujuan yang sama. Ini yang saya rasakan beberapa tahun terakhir. Semoga saya salah. Tapi, rasanya tidak.

Written by Yaser Ace

propertipreneur | digitalpreneur | kulinerian

IMG 20191212 100532 391

Workshop Literasi Digital Kota Pontianak

Rafiuddin IAIN 1

Pengembangan Wisata Halal di Kalimantan Barat