in ,

Mereka yang Kau Beri Nasehat

nasehat hati

Oleh: Nings Lumbantoruan

Hujan bisa mengasikkan kalau sedang berada di rumah ditemani selimut, tempat tidur empuk dan perut yang berisi. Lalu kau mendengar rintik-rintiknya sebagai musik pengantar tidur. Tetapi hujan juga bisa sangat menyebalkan kalau kau sedang berada di suatu tempat dan hendak pulang. Yang kau miliki adalah sepeda motor, bukan roda empat. Jas hujanmu sedang dipinjam teman, belum dikembalikan.

Itu lah yang terjadi. Aku terjebak hujan di tempat kursus. Adzan menandakan waktu isya sudah berkumandang. Cleaning servis masih saja mendorong kain pelnya setelah sebelumnya dia sudah menyapu seluruh ruangan kursus bahasa Jepang ini. Masih akan ada kelas belajar hingga jam sembilan nanti. Yaitu beberapa orang yang katanya awal tahun akan berangkat ke Jepang. Untuk keperluan apa, aku tak tahu.

“Mbak tidak masuk?” Ibu clening servis berbicara padaku yang membaca koran.

Aku mengangkat wajah, tersenyum dan menggeleng. Kemudian kembali membaca. Ini hari senin. Ada banyak sekali jenis koran di tempat ini. Dari yang nasional hingga lokal. Aku membaca koran minggu dan senin. Judul yang tak menarik perhatianku seperti berita bola, langsung kuabaikan.

“Saya paling benci kalau orang besak masih kayak anak-anak. Anak-anak saja tidak sekotor orang besak. Sudah dibilang jangan bawa makanan, masih aja dibawa.Rasanya ingin saya biarkan. Tapi tak enak dilihat mata.”
Ibu itu memakai kata ‘besak’ untuk ‘besar’. Kata yang lazim digunakan di Pontianak. Aku melihat noda cokelat yang sedang digosok-gosok kain pel si ibu.

“Begitulah warga Negara kita, Bu. Kalau tidak begitu, kita sudah maju.” Aku tersenyum tipis. Dalam hati, sebenarnya aku kesal diganggu si ibu ini. Jarang-jarang aku dapat rejeki nomplok membaca koran sebanyak dan selengkap ini.

Kulihat dahi si ibu berkerut. Mungkin dia sedang bertanya, apa hubungannya kebersihan dan kemajuan suatu negara. Atau dia sedang berpikir membandingkan kalau orang-orang dewasa yang kursus di sini, masih bertingkah anak-anak sebab itu negara kita tak pernah maju. Sebab warganya tak pernah dewasa meski sudah tua. Entahlah. Aku tak berani menanyakan apa yang dia pikirkan. Aku bukan facebook.

“Mbak menunggu jemputan?” Dia kembali bertanya setelah aku menyelesaikan tiga judul berita.

“Nggak, Bu. Saya bawa motor sendiri. Saya tak punya mantel. Sebenarnya saya sedang menunggu teman, tetapi bukan jemputan.”

Aku memang sedang menunggu seseorang yang ingin bertemu. Namanya Ran. Siapa yang butuh, dialah yang harus menghampiri, bukan? Aku sengaja menyuruh Ran datang hujan-hujan begini. Aku akan sangat berterimakasih pada hujan kalau dia keberatan disuruh datang ketika hujan. Aku memang menghindarinya.

“Mbak suka bahasa Jepang?” Si ibu kembali mengganggu.

Aku mengangguk. Tersenyum lagi.

“Sensei orang Jepang itu, bagus ya dia mengajar?”

“Bagus. Kalau tidak bagus, tidak mungkin dipercaya sama atasan ibu.” Saya tertawa ringan. Dia mengahampiriku dan mengambil koran yang telah selesai ku baca.

“Tolong carikan saya artikel, Mbak. Artikel itu yang mana ya? Maklum lah, saya ini tidak sekolah. Saya tidak tahu yang mana yang namanya artikel. Anak saya minta dibawakan artikel untuk tugas sekolah.” Si ibu masih membolak-balik koran.

“Saya akan cari. Ibu lanjutkan saja pekerjaan ibu.” Ternyata dia punya tujuan kenapa sebelumnya mengajakku bicara.

Aku pun kembali membuka koran yang sudah selesai kubaca. Aku menyisikan judul yang adalah artikel. Tak lama kemudian Ran datang.

“Jadi mau tanya apa?” Tanyaku pada Ran.

“Semuanya.” Dia menjawab hampir cengengesan. “Bisakah kita pindah ke tempat lain?”

Aku menggeleng.“ Aku tak bisa lama. Semuanya yang mana?” Tanyaku kembali.

Aku ditugaskan oleh seseorang yang sangat kuhormati untuk membimbing beberapa calon penulis sebuah media berita online yang akan dilaunching tahun depan, Ran salah satunya. Minggu lalau dia berhalangan hadir ketika pertemuan. Aku memintanya untuk menanyakan tugas yang harus dikerjakan pada teman-temannya.

Dia mengiyakan dan hari ini dia meminta untuk bertemu.

“Jadi tugas yang mana yang kamu tidak mengerti?”

Dia diam.

“Kamu belum tanya kan teman-temanmu tentang tugas yang ingin dikerjakan?”

Dia menggeleng. Hampir cengengesan. Mungkin dia pikir, dia lucu.

“Kamu tahu tidak bedanya negara maju dan negara tidak maju?” Suaraku kupaksa sedatar mungkin walau sedang marah.

Dia melirik ibu cleaning servis kemudian menggeleng. Mungkin dia memberi isyarat jangan sampai aku memarahinya di depan cleaning servis.

“Perbedaannya terdapat pada rakyatnya. Kalau di negara maju, rakyat mengejar-ngejar ilmu. Di negara tak maju, rakyatnya dikejar-kejar ilmu. Sudah dikejar pun, mereka tetap berlari, tak ingin ditangkap oleh ilmu. Kemudian ilmu itu berhenti mengejar karena capek.”

Ran mengangguk. Dia melirik lagi ibu cleaning service.

“Aku kan sudah bilang. Bagi yang berhalangan hadir, tanyakan tugas pada yang lain. Kalau tak mnegerti, baru tanyakan aku.” Aku mempertegas kalimatku yang sudah kuulang entah berapa kali. “Sekarang kamu pulang saja, besok kalau sudah tanya pada temannya, baru ketemu aku lagi.”

Ran mengangguk. Aku melanjutkan mencari artikel di koran. Tak lagi mengindahkan keberadaannya. Akhirnya Ran pulang tanpa pamit.

Hujan pun mereda. Kukembalikan koran pada tempatnya. Koran yang berisi artikel kuberikan pada si ibu.
Sebelum aku membuka pintu tempat kursus, pesan singkat masuk ke HP-ku.

–Kau tahu kan, rumahku jauh. Malam ini juga HUJAN–

Sms itu dari Ran. Aku tak membalas. Aku pulang.

Besoknya Ran kembali mengirim pesan singkat.

–Aku sudah tanya yang lain tentang tugasnya. Aku tak mengerti semuanya. Nanti malam aku ingin ketemu. Jam 7.30 di warung kopi Mak Wae. Aku traktir–

Aku turuti keinginannya. Kurasa aku sudah terlalu keras pada Ran. Dia tersenyum dari kejauhan melihatku datang.

Aku duduk di depannya. “Bagian mana yang tidak kau mengerti? Tanyaku.

“Kau tahu kan kalau aku lebih tua darimu?”

Aku mengangguk. “Yang mana yang tak kau mengerti?”

Dia menarik napas. “Kita minum dulu. Mau pesan apa? Aku yang traktir.”

“Aku harus segera pulang.”

“Kemarin malam aku harus mengganti semua pakaianku karena basah kuyup. Semuanya. Tidak terkecuali kolor. Demi bertemu denganmu. Tapi kau mengusirku di depan cleaning servis.”

“Kau lebih tua dariku bukan karena umur. Tetapi karena kau cepat marah. Itulah ciri-cirinya.” Aku tersenyum. “Maaf soal kemarin. Terkadang nasehat yang kita sampaikan pada orang lain, lebih pantas untuk diri kita sendiri.”
Dia tersenyum kemudian memberikanku kertas berisikan tugas yang telah selesai dikerjakan. Rupanya Ran bukan tidak menanyakan temannya. Tak mungkin dia menyelesaikan dalam semalam.

“Kau harus mengoreksinya saat ini juga.”

“Akan kulakukan nanti. Di rumah. Ini bisa makan waktu satu sampai dua jam.”

“Tidak. Aku ingin kau melakukannya sekarang. Itulah hukumanmu.”

Aku menarik napas.

“Bang, apa kata orang kalau kita dekat. Adikmu adalah mantanku.”

“Dia sudah menikah. Apa peduli kita?”

“Jadi ini alasanmu kenapa ingin menjadi penulis di media itu?”

“Tadi kau panggil aku Abang. Kenapa tak kau lanjutkan memanggilku begitu?”

Aku diam. Memeriksa kertas tugasnya.

“Masih ingat tembak satu kena dua kan? Kalau aku bisa mewujudkannya, kenapa tidak?”

Aku tetap diam.

“Kalau semua orang di negara kita menerapkan prinsip tembak satu kena dua, menurutmu apa negara kita bisa maju seperti negara adidaya itu? Kalau sudah menerapkan prinsip itu, sudah termasuk orang-orang yang mengejar ilmu, belum?”

Aku tetap diam. Masih mengecek kertas yang berisikan tugasnya. Kalau dua orang yang berlainan jenis kelamin duduk berhadapan di sebuah warung kopi, mendiskusikan sesuatu dan mereka memiliki pendapat yang sejalan, mereka akan mudah untuk saling menyukai dan saling mengagumi. Aku takut kalau sampai itu terjadi. Kau masih ingat kan? Adik Ran adalah mantanku.

Written by teraju

IMG 20161129 201030 916

Tahun Depan, Pendidikan Lalu Lintas Jadi Pelajaran di Sekolah

tabrakan di Peniti Mempawah

Operasi Zebra 2016, Kecelakaan Lalu Lintas Menurun Signifikan