in

Anak Punk-Yuka Kapuas

WhatsApp Image 2018 10 25 at 08.24.44
Anak baru gede bermain di bantaran Sungai Kapuas

Oleh: Sukardi

ATB. Begitulah ejaan yang diucapkan oleh remaja yang berusia 18 tahun, Arif. ATB merupakan singkatan dari “Atap Bocor”. ATB salah satu nama geng dari kelompok anak punk yang ada di tepian Sungai Kapuas.

Arif yang saya temui sedang beristirahat di dermaga. Letaknya di ujung Yuka, Kampung Jeruju. Arif mengaku mulai bergabung dengan anak punk sejak tahun 2014. Dia juga seringkali bergabung bersama anggota punk yang berasal dari semua daerah selain dari Kota Pontianak.

Arif menuturkan ada 5 daerah yang menjadi tempat mereka bertemu anggota punk, daerah tersebut yaitu Singkawang, Ketapang, Nanga Pinoh dan Kaltim. Khusus di Yuka ada tiga orang anggota punk yang ikut, dua cowok dan satu cewek. Cewek ini disebut dengan panggilan “lady’s punk”.

Arif anak kedua dari empat bersaudara. Seorang perempuan dan tiga laki-laki. Menurutnya, keluarganya tidak suka dia bergabung dalam kelompok punk. Banyak hal yang diingatkan mereka.

“Orang tua biasa mengingatkan saya untuk tidak bergabung. Begitu juga abang saya. Sering kali mereka mengatakan jangan ikut-ikutan anak punk, karena mereka suka minum minuman keras, ambil puntung rokok bekas orang di jalan, mencari makan di tempat tong sampah”.

Ibunya juga tidak setuju pada pilihannya. Ibu sering memberi nasehat, dan arif mengaku bila diberi nasehat hanya menjawab, “Iyelah…”.

Dia juga mengaku bahwa mereka sering kumpul secara rutin. Adapun tempat kumpul anak punk sering berpindah-pindah. Kadang di steigher. Kadang di taman.

Berkumpul apa yang dibahas? Mereka membahas anak punk yang baru. “Harus hafal kosa kata khusus anak punk,” kata Arif seraya mengaku sudah punya kegiatan di lain tempat.

Waktunya, kini, di kala sore mengambil upah mendorong gerobak di Pasar Flamboyan. Upah yang ia dapat Rp. 25.000 satu kali berangkat. Jika ia bekerja sampai pukul 12 malam, dia mendapat upah Rp. 50.000. Hasil kerja tersebut langsung diberikan kepada ibu dan ia tidak mengambil sepeserpun.

Sebelumnya, ia bekerja di Taman Alun Kapuas. Namun, sejak taman itu direnovasi, dia pindah kerja ke Pasar Flamboyan.

Ketika berangkat bekerja, Arif menggunakan jasa oplet. Sekali pergi biaya yang dikeluarkan Rp. 8000. Ongkos naik oplet ini diberikan ibu ketika dia sudah mau berangkat. Arif mengatakan bahwa ibunya tinggal di rumah untuk mengurusi adik serta menyiapkan makanan sekeluarga, sedangkan ayah bekerja di sebuah toko mebel. Keadaan inilah yang membuat dia harus membanting tulang ikut bekerja dan memberikan tambahan untuk adik-adiknya yang masih kecil seperti jajan di sekolah.

“Saya ikut anak punk juga karena ada masalah dengan keluarga dan tetangga. Untuk itulah saya mencari teman di punk. Kawan punk sendiri kalau sudah ngumpul biasa di daerah alun-alun Kapuas dan PSP, kita sering minum arak dan mencari puntung rokok dan mencari makan di tong sampah yang besar yang terletak di PSP juga”.

Diceritakan pula bahwa baru-baru ini salah satu teman Arif ada yang ditangkap oleh polisi dan belum dibebaskan. Hal itulah yang menyebabkan hingga saat ini anak-anak punk belum pernah kumpul lagi.
***
Gang Yuka tidak jauh dari Jalan Karet. Di depan gang terdapat beberapa orang berjualan pisang dan baju lelong. Yuka yang sering saya dengar adalah sebuah gang yang sangat banyak anak-anak nakal, konon sering dibilang tempatnya preman.

Ketika ada gang di sekitar Jeruju tidak aman, maka masyarakat sekitar selalu mengaitkan dengan preman yang ada di Yuka. Itu berita negatif yang pernah saya dengar mengenai gang Yuka. Selama ini saya hanya menjadi pendengar setia saja, tidak mencari tahu di mana Gang Yuka itu, seperti apa penduduknya, ramai atau tidak, dan sebagainya. Mungkin ini sudah menjadi tradisi masyarakat kita, selalu mempercayai omongan orang-orang tanpa ingin tahu bagaimana kebenarannya. Di sinilah ferivikasi diperlukan. Melihat kondisi objektif sesungguhnya.

Seperti yang saya lihat, Yuka tidaklah seperti orang-orang bayangkan, Yuka sama seperti gang yang lainnya, memiliki penduduk yang ramah-ramah dan ditambah dengan dermaga yang sangat indah, plus Sungai Kapuas yang menjadi objek pemandangan ketika kita berkunjung ke dermaganya. Indah.

Hari ini pertama kali saya masuk Gang Yuka. Depan gang tidak tidak ada nama, yang saya lihat hanyalah pakaian lelong yang menjadi pusat perhatian ketika belok untuk memasuki gang tersebut, selain itu ada lagi orang-orang yang berjualan pisang, maka dari itu saya tidak memperhatikan ada atau tidaknya plang nama jalan.

Setelah melewati sederet jualan pakaian lelong dan pisang, saya tetap melaju ke arah laut yang mengarah ke sungai, sesekali saya melihat di gang ini ada lagi gang dan jalur bahkan terdapat juga sebuah bangunan sekolah. Tidak butuh waktu lama saya mengendarai motor, saya pun sampai di dermaga.

Setelah memarkir motor, saya memutuskan untuk jalan kaki, menyusuri dermaga yang mengarah ke jalur-jalur gang. Untung saja hari tidak terlalu panas sehingga mempermudah untuk berjalan dengan santai, sambil sesekali melihat kapal-kapal yang ada si seberang sungai.

Saya terus berjalan tanpa ada tujuan mau ke rumah siapa. Tampak di ujung dermaga saya melihat seorang yang sedang memperbaiki sampan, ia bernama Yakub. Yakub bukan asli warga Jeruju, melainkan warga Teluk Pakedai yang kini sudah dua tahun menetap di Pontianak.

Pria paruh baya berada di bawah teriknya panas matahari tanpa menggunakan baju menambal perahu yang sudah bocor. Perahu ini dulunya ia beli Rp. 1.500.000. Dia menambal perahu menggunakan serbuk damar, kemudian serbuk tersebut diberi minyak goreng agar lengket serta bisa menempel kuat pada kayu perahu yang mulai rapuh dan bocor. Gale-gale nama perekat itu. Gale-gale menjadi alternatif bagi bapak dua anak ini, agar perahunya bisa dipakai dengan aman.

Pak Yakub mengaku memiliki perahu bukanlah satu-satunya untuk mencari nafkah. Melainkan hanya mengisi waktu kosong kalau sudah tidak ada pekerjaan sebagai buruh bangunan. Yakub menceritakan membenahi perahu sengaja karena kalau beli baru harganya sudah naik. Tidak bisa dijangkau kembali sebab faktor kayu yang berkualiatas bagus sudah jarang ditemui.

Angin pun berhembus dengan kencang menghantam tepian Sungai Kapuas. Yakub menerawang program pemerintah membangun pelabuhan di area sekitar Yuka. Mencari kerja, kemungkinan terkait pelabuhan, atau tetap menghuni bantaran Sungai Kapuas seperti saat ini.

Bila kita melihat keberagaman masyarakat hilir Sungai Kapuas rasa-rasanya belum puas kalau belum berinteraksi dengan mereka yang kendati punk, buruh, atau penambang sampan, ternyata baik-baik. Jauh dari kesan “Yuka kampungnya para preman”. Datang ke Yuka justru menyenangkan. Di bantaran Kapuas kita bisa melihat pemandangan indah, bahkan berenang.

Sungai Kapuas meskipun tidak jauh berhadapan langsung dengan laut lepas, tetapi kondisi air tidak terasa asin sehingga membuat anak-anak leluasa mengekspresikan semua kepandaiannya bermain di dalam air.

Pepatah Pontianak memang mengajarkan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Selama kearifan lokal ini kita praktikkan, harmoni hidup selalu terpelihara.

Kalau saya tidak berinteraksi dengan masyarakat Yuka, melakukan verifikasi, yang saya tahu adalah hal-hal negatif. Ini tak ubahnya kabar palsu alias hoaks. Hoaks ini yang kini menjadi penyakit kronis di negeri ini. Padahal obatnya ada di kampung halaman sendiri: ingat pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kita mesti hadir dan mengalir bersama-sama. Hidup dalam kebersamaan. *

Written by teraju

WhatsApp Image 2018 10 25 at 06.03.11

Tak Sekedar Ikon dan Konservasi, Tangkap Perdagangan Enggang Gading

WhatsApp Image 2018 10 25 at 08.49.45

Cegah Terorisme Melalui Komunitas dan Organisasi Anak Muda