in

Angker

9

Oleh Qodja

Saat itu Kamis siang, saya bertolak dari Gontor 2 desa Madusari menuju stasiun Madiun dengan ojek bertarif 70rb. Ini pilihan transportasi tunggal untuk menjangkau stasiun. Setiba di stasiun, saya mengecek tiket kereta di mesin KIOS-K. Tidak ada tiket kereta untuk sampai Jakarta, semuanya penuh. Kemudian saya mengganti stasiun asal, ternyata dari Tugu Jogja ada untuk sampai ke Gambir. Itupun baru ada di Sabtu malam, harganya juga mahal : Kereta Bima kelas eksekutif.

Masih ada waktu untuk mengunjungi kawan lama di Solo. Sebelumnya Ustad Salim A. Fillah sudah memberi sedikit gambaran tentang Solo, kota satelit tempat bergolaknya berbagai pemikiran dan gerakan mulai dari ekstrim kanan sampai ekstrim kiri. Tapi saya masih penasaran. Ingin sekali main ke Taman Sriwedari, Pasar Kelewer, Keraton Surakarta dan Masjid Agung yang antik serta mencicipi kuliner bernama selat solo.

Perjalanan yang singkat. Saya tiba di stasiun Purwosari Solo. Sempat singgah di Balapan, stasiun yang dulunya saya kenal hanya lewat lagu Didi Kempot. Mas Bujo ( bukan nama asli) kawan lama sudah menanti, menjemput dan kemudian kami bersama-sama membelah malam kota Solo melintasi sungai begawan yang kering karena surut dan masuk ke Karanganyar.

Mas Bujo bercerita, “aku kerja di Solo tapi tinggal di Karanganyar. Jaraknya cuman 45 menit. Aku ngontrak di sebuah rumah yang cukup besar. Cuman 7 juta untuk 2 tahun.”

“Loh kok murah mas?” Saya bertanya.

“Itu rumah angker, tak ada yang mau mengontrak. Setelah lama kosong, baru saya yang berani menempatinya”

Saya lalu mengalihkan pembicaran. Informasi angkernya sebuah rumah yang akan menjadi tempat saya menginap malam itu bisa menganggu ketenangan untuk beristirahat.

Kami tiba dirumah. Saya diajak masuk ke ruang tengah. Ada TV di sana yang letaknya dekat bawah tangga. Saya lalu meraba dindingnya, ternyata lembab. Tak ada jendela untuk menyinari area sekitar bawah tangga. Di benak saya melintas sebuah anggapan, gelap dan basah. Sebuah area yang ideal untuk didiami hantu.

“Dir, di awal saya masuk sini, ada salip besar di dinding, catnya suram. Akhirnya saya ganti biar lebih cerah dan mengurangi kesan angkernya” kata Mas Bujo.

Lagi-lagi saya mengabaikan topik tentang rumah lalu bertanya seputar kehidupan Mas Bujo selama ini.

“Saya tidur di sini aja mas.” Sembari menunjuk area depan TV dekat bawah tangga.

“Jangan Dir, kamu istrahat di atas saja. Di lantai 2 sudah saya siapkan kamar untuk kamu” Jawab Mas Bujo.

“Gpp Mas, saya tidur di sini saja karena saya suka pipis tengah malam, jadi tidak perlu naik turun tangga.” Saya berkilah.

“Jangan Dir, di sini bau dekat WC. Kalau malam dingin. Nanti kamu tidak bisa beristirahat dengan nyaman. Kamu diatas aja ya.” Mas Bujo tak kalah sengit menegaskan ajakannya.

Kali ini saya menyerah, enggan berdebat. Sudah syukur saya mau dijamu. Saya lalu menurut dan naik ke atas menaruh barang. Di atas ada dua kamar. Sangat gelap. Keduanya tampak lama kosong dan memang tidak pernah dihuni. Satu kamar dijadikan gudang, satu kamarnya lagi untuk saya.

Di plafon kamar yang akan saya tempati ada lubang. Waduh kenapa nggak ditutup ya. Jujur saja, lubang seperti itu memantik imaji horor dibenak saya. Apalagi sebelum meninggalkan Pontianak, saya sempat menonton Conjuring 2, merekam sosok Valak.

Saya turun ke WC, mandi dan wudhu. Oh iya saya belum sholat Magrib-Isya. Saya menjamak dan sholat di kamar baru itu. Sengaja suara saya jaharkan. Upaya untuk melenyapkan suasana horror benar-benar serius saya jalankan dan sepertinya kurang berhasil.

Saya teringat sunnah mengibaskan kain ke tempat yang akan kita tiduri sebanyak 3 kali sembari membaca shalawat. Ini saya lakukan juga.

Badan yang masih kedinginan karena mandi malam, saya bungkus dengan jaket kemudian merebahkannya. Perjalanan hari ini melelahkan, semoga saya bisa tidur nyenyak.

Setengah jam saya memejamkan mata, sulit sekali untuk terlelap. Tak ada pilihan lain, saya butuh pengalih pikiran agar tidak berimajinasi macam-macam. Saya putuskan untuk membaca sampai tertidur.

Saya terbangun. Tidak biasanya seperti ini. Saya melihat jam, busyeet baru jam 12 malam. Saya pikir sudah masuk subuh. Ada apa ini !?!?

Diluar petir menggelegar, isyarat akan turun hujan lebat dan memang sekejap turun hujan deras. Saya baru sadar, bahwa jendela kamar itu tak bertirai. Saya langsung dapat melihat hujan diluar.

Harusnya kamar terasa dingin. Entah kenapa justru sebaliknya, saya merasa kepanasan.

Ini suasana tidak nyaman. Terbangun tengah malam dan kepanasan di sebuah kamar yang tak pernah berpenghuni sebelumnya. Saya putuskan untuk melawan nuansa mistik ini. Saya tidak ada pilihan lagi. Sudah berulang kali saya mencoba kembali tidur tapi gagal.

Seketika saya kesal dan marah terhadap entitas abstrak apapun yang mengusik istirahat malam itu. Saya menunggui dan menghadap jendela, berusaha menghadapi.

Setengah jam berlalu, hingga sejam tak ada apapun. Saya lalu putuskan untuk hanyut ke dalam bacaan yang belum tuntas sampai tertidur.

Esok harinya, Jumat seharian saya menjelajahi kota Solo dan di malam kedua tidur di kamar yang sama. Alhamdulillah, nyenyak tanpa gangguan apa-apa.

Sabtu pagi sesaat sebelum meninggalkan rumah itu saya bertanya ke Mas Bujo. “Kata Mas rumah ini angker, Mas pernah ketemu penunggunya?”

Mas Bujo lalu bercerita, “Ada Dir, waktu itu pegantian malam tahun baru. Saya tidak keluar tapi istirahat di ruang tengah sampai tertidur depan TV. Kemudian saya terbangun dan melihat sosok tinggi besar, kepalanya tak nampak, bersarung hitam dari lantai dua tempat kamu tidur semalam, menuruni tangga tanpa menjejak. Sosok itu lalu berhenti dan menghadap ke arah saya tidur. Segala macam doa dan zikir saya baca waktu itu sambil menutup mata. Suasana mencekam sekali.”

Saya lalu membenak sambil mengelus dada. Untung saja bagian cerita ini tidak saya dengar sebelum menginap di kamar itu.

Belakangan saya belajar bahwa melawan nuansa mistik bisa dimulai dari mengendalikan pikiran. Semacam diet pikiran. Alihkan sorotan kita maka dengan seketika keseraman akan sirna.

Jika tak pernah tahu historinya, seangker apapun suatu tempat akan tetap terjamah juga. Kadang keangkeran adalah suatu mitos yang diproduksi berulang hingga menguasai alam bawah sadar kita. Mengacaukan pikiran dan merusak keyakinan. Salimul aqidah, kekuatan imanlah yang membebaskan kita dari segala mistik yang menjajah pikiran dan perasaan kita.

Written by teraju

IMG 20180216 210923 980

Kelapa Muda Pak Mude

557ffdab e12f 46e7 b98e cb3a8234d86e

Greget