in

3 Jam Bersama Dirjen Ziswaf: Figur Jago Pantun dan Maestro Memancing Ikan

workshop bwi


Oleh: Nur Iskandar

Perkenalan kami di forum Workshop SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) pada Kamis, 26/11/20 kemarin. Hanya 3 jam, tetapi akrab serasa telah kenal bertahun-tahun lamanya. Kenapa? Karena Pak Dirjen orangnya “gaul” dan pencerita. Dengan gayanya yang santai atawa kata anak muda sekarang “santuy” ia mudah diterima berbagai kalangan. Terlebih awak media seperti saya. Duduk bercengkerama sambil menikmati juadah plus kopi di serambi Hotel Neo tempat workshop diselenggarakan. Pak Dirjen Zakat, Infak, Shadaqah dan Wakaf (Ziswaf) ini makin cepat melebur karena dia juga suka berpantun. Di mana dia tidak boleh dipancing sedikit dengan pantun, maka dia akan menjawabnya “bertuik-tuik”. Misalnya pantun pembawa acara yang mempersilahkannya dengan pantun nasional: //Awak datang-kami sambot// kecik-telapak tangan-nyiru kami tadahkan//Pak Dirjen telah datang mari kita sambot//Penyajian materi, mari kita dengarkan//

Pria kelahiran Kepulauan Riau dengan aksen Melayu yang kental seraya serak-serak parau pun menjawab lekas:// Gunung Galunggung–Gunung Semeru//Sebelum penyajian materi–perkenankan saya ucapkan assalamu’alaukum warahmatullahi-wabarakatuh// Dan 20 peserta SKKNI pun terkesiap. Lalu Pak Dirjen menambahkan lagi beberapa bait pantun sehingga peserta tergelak-gelak dan disempurnakan dengan tepuk tangan yang meriah. Suasana mengantuk di siang hari selepas makan kenyang di resto lantai 11 pun jadi pengikat urat mata untuk tidak tertutup barang sekejabpun.

Foto kami kasih lambang W yang berarti Wakaf
Foto kami kasih lambang W yang berarti Wakaf, Posisi paling kiri adalah Ketua BWI Kalbar: Prof Dr H Kamarullah, SH, MH

Pak Dirjen yang tampil mengenakan batik sasirangan Kalimantan Selatan itu menampilkan sejumlah slide penting. Misalnya, dari seluruh nazir yang bertindak sebagai “General Manager” di atas tanah atau bangunan wakaf, hanya 16 persen yang bekerja penuh waktu. Artinya mereka mendedikasikan dirinya untuk profesional penuh rasa tanggungjawab membina dan mengembangkan aset wakaf sehingga tercapai amal sosial yang melimpah ruah sangatlah kecil. Belum seperti yang diharapkan ideal 100 persen. Sisanya dari 16 persen itu, nazir hanya bekerja paruh waktu. Waktu-waktu sisa saja. Dan bahkan ada nazir yang tidak peduli sama sekali pada tanggungjawab kenazirannya akibat ketidak-mengertiannya tentang peran penting seorang nazir sebagai “GM” atas amanah perwakafan. Padahal, GM bisa digaji profesional dari 10 persen produktivitas wakaf yang dikelola. Misalnya 1 miliar, ada 100 juta yang bisa digunakan sebagai gaji nazir! Jika 1 trilun, bisa 100 miliar gaji nazir! Begitulah hebatnya wakaf saudara-saudara….

Sesi mengalir dari slide ke slide diiringi tanya jawab. Saya acungkan jari pula dan dapat kesempatan mengajukan dua masalah lapangan yang saya temukan berdasarkan tugas Badan Wakaf Indonesia (BWI). Pertama adanya lahan wakaf yang masih difungsikan dengan surau di pinggir Sungai Kapuas, namun siapa wakifnya dan siapa nazirnya, sudah terputus akibat tidak tercatat dalam ikrar wakaf. Pejabat RT dan Ustadz telah mencari siapa nazir dan wakif bahkan ahli warisnya, pun tidak dapat. Bagaimana menyelesaikan masalah wakaf seperti ini? Pak Dirjen sempat mengernyitkan jidat lantaran belum dia pernah tangani kasus seperti ini di Indonesia. Finally, Pak Dirjen bertanya kembali kepada saya. “Benar-benar putus?” Iya Pak. “Kok bisa begitu yah?” Akibat tidak tercatat Pak. Pak Dirjen geleng-geleng kepala, lalu menyatakan begini. “Yah sudah. Kumpulkan pejabat pemerintah setempat, dibuatkan akta ikrar wakaf yang baru dengan wakif pemerintah. Lalu tunjuklah nazirnya yang baru.”

Demi mendapatkan jawaban itu, kini saya yang manggut-manggut. Rupanya begitulah cara penyelesaian masalah wakaf yang tidak tercatat dan putus pengetahuan umat terlebih kasus penyerahan wakaf itu telah berpuluh-puluh tahun, dan kasus yang saya temukan diperkirakan lebih dari seabad tuanya. Dalam teritori wakaf sesuai UU Wakaf No 41 Tahun 2004, ikrar wakaf teramat sangat penting. Perlu dicatat dan didaftar dalam Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) di Departemen Agama agar mudah mengelolanya secara profesional. Begitupula pembinaan nazir selaku GM-nya. Saya berharap kasus tanah wakaf yang mirip-mirip case-nya dengan soalan di atas bisa klir solusinya di seluruh Indonesia.

Foto lain adalah tampilan slide saat Dirjen menyajikan materinya secara kocak
Foto lain adalah tampilan slide saat Dirjen menyajikan materinya secara kocak

Pertanyaan kedua saya adalah case lapangan di depan Pelabuhan Pontianak di mana Lazismu hendak tukar guling dengan unit usaha perbengkelan mobil karena sudah tidak memungkinkan untuk dipergunakan secara produktif. Lahan bekas kebakaran meninggalkan petak kosong dan sempit. Ukurannya hanya 4 meter kali 20-an saja.

Nyaris tidak ada lahan parkir. Banyak pula aturan membangun di pinggir jalan raya depan Pelabuhan Indonesia. Untuk membangun bangunan baru pun Lazismu butuh merogoh isi kocek dalam-dalam. Dana membangun pun miliaran. Sementara pihak bengkel melamar tanah itu karena berbatasan dinding dengan bangunannya. Pihak bengkel sedia menggelontorkan dana rehab plus tanah dan gedung rumah-toko-kantor tiga lantai di belakang tanah tersebut. Luas tanah dan bangunan berkali-kali lipat ketimbang tanah pertama. Tersedia lahan parkir yang luas. Keren abiz untuk perkantoran seperti kehendak Lazismu yang belum punya kantor tetap–sementara masih menumpang di Perguruan Muhammadiyah Cq SD Jalan Ahmad Yani dekat Mesjid Raya Mujahidin. Bagaimana kasus tukar guling wakaf ini? Pak Dirjen cepat menyanggupi dengan kata dan kalimat berikut ini, “Ruilslag saja. Tetapi sejengkal pun ukurannya, jika bukan untuk kepentingan umum seperti untuk bandara atau jalan, yakni untuk bisnis, izinnya mesti dari Menteri Agama. Ajukan saja. Pasti akan sampai pula ke meja saya.” Dirjen menambahkan, “Terpenting nilainya sama atau bahkan lebih tinggi. Pasti disetujui dan cepat prosesnya.”

Demi mendapatkan penjelasan Pak Dirjen Ziswaf, Drs H Tarmizi Tohor, MA seperti itu saya puas. Ketika dia ambil meja rehat di serambi lantai 2 Hotel Neo saya ikut ngopi mendampingi Ketua BWI Kalbar, Prof Dr H Kamarullah, SH, MH. Di meja kecil ditambah nazir dari Perguruan Islamiyah kami saling berbagi cerita. Cerita Tarmizi Tohor tentu paling menarik di mana kami merespon saja di mana bisa menyela. Tetapi kami tergelak-gelak melebihi forum Workshop SKKNI tadi.

Tarmizi Tohor mengaku anak Republik. Dia lahir di anak seribu sungai. Sejak kecil sudah terbiasa berlayar ke laut lepas. Bahkan dalam tugasnya selaku Dirjen, melarung tantangan hantu laut pun dia hadapi. Nama hantu itu Bono si hantu ke-7 yang paling seram. “Hantu laut itu tinggal enam, mau tahu apa sebabnya? Sudah ditembak Belanda. Kini sisa 6 dan Bono yang paling ditakuti Kepulauan Riau!” Ketika berlayar di saat Bono mengamuk, semua anggota seisi perahu muntah kuning, hanya Tarmizi Tohor yang menjadi Laksamana Raja di Laut. Anak Pantai…Dia yang ambil kemudi dan atur posisi tebing layar. Dengan teknik sentak menyentak tali tambang, dia berhasil membawa biduk bahtera selamat kembali ke desa. Pria yang perokok berat dengan suara berkarat ini hobi berat pula memancing dan menikmati ikan. Semua jenis ikan laut dan sungai ia kuasai. Termasuk cara memancingnya dan juga mengolahnya. Saya tak sanggup menceritakan detilnya satu per satu sebab bisa menjadi satu novel atau buku yang seru. Tetapi cukuplah saya nukilkan bahwa saat STQ Nasional di Pontianak tiga tahun lalu, Tarmizi Tohor yang mantan Kakanwil Departemen Agama Kepri adalah Ketua Umum Nasional. Di sela kesibukannya selaku ketua, dia sempatkan memancing ke Istana Qadriyah dan Jami’ Abdurrachman Alkadrie. Sesuatu yang warga lokal pun hampir tadak suah melakukannya. “Sambil ngopi saja sejam dua jam saya dapat 65 ekok ikan. Besar-besar!” Tohor mengenang decak kagum Sekretaris BWI Kalbar, Drs H Kaharuddin saat itu bersamanya. Pak Kahar dan kru Departemen Agama pula yang kemas ikan-ikan ini untuk naik pesawat pulang ke Jakarta. Melumurinya dengan es dan plastik kontainer gabus agar tidak bocor dan menebar bau tidak sedap seantero ruang pesawat. Ikan Kapuas saat pasca STQ itu pun selamatlah sampai ke ibukota, Jakarta. Kisah yang langka punya wa. Ho-a. Di rumahnya, Tohor punya empang dan kolam. Dia merawat berjenis-jenis ikan dan ribuan jumlahnya. Sesiapa staf dan tamunya yang mau, tinggal ambil. Demi mengusir sepi, kadang Tohor memancing di empangnya sendiri. Sebegitu hobinya dia memancing dan berinteraksi dengan ikan.

“Di mobil saya selalu ada pancing. Dan sopir saya setiap menengok kolam selalu menyentil, ‘Pak mancing di sini kerrren abizz ini’ tantang sopir,” cerita Tohor wira-wiri. “Hanya saya yang bisa mengajak Menteri Lukmanul Hakim untuk memancing dan dia mau.” Saya bertanya hasilnya? “Hasilnya?” Tohor menambah, “Pak Menteri nyaris tadak dapat satu pun. Tapi akhirnya setelah berjam-jam dapat pulak, cume kecik! Bininye yang dapat 8 ekok. Hahahaha. Sampai ari ini kalok bininya jumpa selalu bilang, ‘Pak Tohor 8 ekor!” Tarmizi Tohor terkeruk-keruk sambil menjentit abu rokoknya.

Aksentuasi Kepri Tarmizi Tohor nyaris sama dengan Melayu Pontianak. Dan tempo hari Tohor tidak sempat wira-wiri untuk memancing lagi di Sungai Kapuas, Pontianak, padahal dia sudah merencanakan buat memancing bersama kawan-kawan BWI dan Kanwil Kemenag. “Pak Menteri tadak kasih izin saye sampai besok balek. Mesti ini ari jugak. Besok pagi ade pertemuan di Bandung. Jadi tadak sempat mancing di sini mungkin mancing di Bandung yaklah hehehehe.

Buat Pontianak laen kali agik,” kisah Tohor yang seantero Dirjen dialah yang paling kesohor akibat profesional menangani Ziswaf, juga maestro pantun sekaligus maestro dalam ulah kanuragan memancing. “Memacing memang butuh kesabaran Pak, bagus untuk kite selalu fokus pade tujuan. Tapi kite tadak bise maju-maju. Ape sebabhe? Sebab kalok kite maju ye keceborlah. Tenggelam. Syukor kalok awak pandai berenang selamatlah. Kalok tadak? Tenggelam batu, wassalamlah hahahaha.” Pak Dirjen sungguh melebur sekaligus menghibur. (Penulis adalah pegiat Wakaf Literasi-Literasi Wakaf. Anggota BWI Kalbar Bidang Wakaf Produktif. CP-WA 08125710225).

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

masjid nurul hasan

“Welcome to Amsterdam!”

bang yaser memanah

Membidik Ketepatan Wakaf Produktif