in

Ditraktir Makan di Medan Kerang

IMG 20180311 051902 462

Oleh: Mita Hairani

Malam itu seperti biasanya aku sebagai guru les privat mendatangi rumah tempat aku mengajar. Namun di perjalanan, aku bertemu dengan keluarga tersebut. Mereka mengajakku untuk ikut makan malam di luar bersama. Aku sudah sempat menolak karena memang aku baru saja makan, namun mereka tetap mengajakku dengan alasan jalan-jalan.

Aku tak tahu ke mana mereka, karena memang aku tidak hafal jalanan ini. Yang aku tahu kami masuk di tempat makan seperti mitra kuliner. Di sana bukan hanya satu tempat saja, namun lebih dari satu stan.

Ketika kami sampai, kami berjalan melewati beberapa meja yang berada di ruangan terbuka. Menu di salah satu meja tersebut benar-benar membuatku tertarik. Bukan apa yang disajikan, namun bagaimana cara menyajikannya.

Kuliner itu disajikan langsung di atas meja yang dialasi dengan kertas nasi. Hidangan yang tampak banyak itu benar-benar terlihat istimewa di hadapan muda-mudi yang kelihatan asyik menyantapnya. Tanpa piring, tanpa sendok, namun tetap terlihat elegan.

Kami duduk di bagian belakang. Di samping kanan kami ada stan makanan yang bertuliskan medan kerang. Aku melihat keranjang-keranjang berukuran sedang disusun rapi di dekat kasir. Di depannya terdapat keranjang besar setengah penuh. Ada yang mengangkat sesuatu dari keranjang itu, ternyata yang diangkatnya adalah seekor kepiting berukuran besar yang masih hidup.

Kakinya tampak bergerak perlahan saat diangkat. Pria yang mengangkatnya tampak mengobrol sebentar dengan seorang pria lagi yang sedari tadi standby di sana. Setelah itu ia pergi dan digantikan dengan orang lain. Ternyata pengunjung dapat memilih bahan dasarnya sendiri, seafood yang telah dipilih kemudian ditimbang dan langsung dibayar, cash or with e-money.
“Mau pesan apa Mbak, ada….” ujar seorang gadis yang sepertinya seumuran denganku menawarkan menunya.

Tak berapa lama, ada lagi gadis berbeda yang menawarkan menu yang berbeda pula. Ayah Alif (anak didikku) ternyata sedang memesan makanan di Medan Kerang. Tak lama setelah ia kembali, tampak seorang pemuda menempelkan kertas nasi di sepanjang meja yang kami tempati. Aku, Bunda Alif, Bude, dan ayah Alif sempat mengobrol sebentar dan kemudian hidangan kami pun sampai.

Satu teflon besar kerang kepah besar, ale-ale, jagung manis dan udang yang berukuran cukup besar dari sebuah teflon sedang yang hampir penuh pun langsung dituangkan di hadapan kami.

Hidangan tersebut seakan memenuhi meja dan seketika mengalihkan perhatian kami. Saos kental yang menyelimuti hidangan tampak menggugah selera, ditambah nasi yang diletakkan di kiri dan kanan hidangan. Aku merasa menyantap makanan spesial di restoran yang biasanya aku lihat di televisi.

Namun tak hanya itu, Ayah Alif juga memesan 2 porsi kepiting besar, salah satunya kepiting saos telur asin. Kami diberikan semacam penjepit untuk memecahkan kulit kepiting yang keras. Saos telur asinnya tidak seperti biasa, aku bahkan tak tahu itu saos telur asin karena warnanya agak kehijau-hijauan.

“Bambunya curahkan di sini yak Mas,” seru ayah Alif kepada seorang pemuda.

Pemuda itupun mencurahkan sesuatu yang tampak seperti sulur bambu yang kecil, bahkan lebih kecil dari bambu terkecil yang pernah aku lihat. Bambu itu dilumuri dengan saos telur asin.

Namun setelah kupegang ternyata luarnya keras dan isinya lunak seperti kerang.

“Itu kerang bambu, biasanya pesan langsung dari luar Kalimantan,” ucap ayah Alif menerangkan.

“Ooh, kira kira satu porsinya berapa ya Bang?” tanyaku.

“Sekitar 30-40 ribu lah”.

“Kalau hidangan yang ini?” tanyaku kembali melirik kerang saprahan dan dua kepiting yang sebelumnya kami makan.

“Sekitar 380 ribuan, kami dapat diskon 10 %, ” balasnya menerangkan.

“Fantastis,” ucapku dalam hati.

Memang jumlah yang sangat fantastis menurutku. Namun mungkin untuk kalangan menengah ke atas, sesuai dengan sensasi makan yang ditawarkan.

Setelah aku lihat lagi, memang rata-rata orang yang makan di sini tampak berasal dari kalangan menengah ke atas. Ayah Alif pun membenarkan spekulasiku.

“Kalau makan di sini rasanya tak terasa sudah berapa banyak nasi yang kita habiskan,” ujar bunda Alif.

Kami pun menambah nasi lagi.

“Kalau ingin melihat kualitas rumah makan Melayu kita bisa lihat dari ramai tidaknya pengunjung Tionghoa yang datang”.

Aku hanya manggut-manggut.
Rasa yang ditawarkan memang enak, aku bahkan tak menyangka bahwa aku sudah makan terlalu banyak, padahal aku baru saja selesai makan. Makan di Medan Kerang menjadi sensasi makan seafoodku yang istimewa. (*)

Written by teraju

IMG 20180310 094742 816

Bang Ben, Tatung dan Sinyal untuk Kalbar

IMG 20180311 052915 036

Keleleng dalam Perladangan Masyarakat Punggur