in

Kiat Mengatasi Rasa Sepi

WhatsApp Image 2018 03 15 at 10.30.11

Oleh: Yusriadi

Seorang teman sedang memperjuangkan sebuah kebenaran. Selama ini dia nampak dan terdengar begitu gigih dan kuat. Saya katakan begitu karena saya beberapa kali sudah bicara dengannya, dan mendengar cerita orang lain tentangnya.

Beberapa hari lalu saya bertemu dengannya dan kami sempat berbicara tentang perjuangannya itu. Dia menceritakan langkah terbaru dan perkembangannya sejauh ini.

Dia katakan masih terus berusaha sekalipun tawaran “berdamai” dilakukan. Dia tidak mau berdamai karena ajakan berkompromi kononnya, hanya sepihak. Intinya, hanya dia yang diminta mundur dari perjuangannya, sementara orang sebelah tetap dengan karenahnya.

Dia juga ceritakan beberapa orang sudah tak bisa diharapkan. Ada yang nampaknya tidak semangat lagi. Ada yang sepertinya mundur.

“Ah, biarlah. Itu hak mereka. Mereka takut, masuk angin, biarlah. Saya tetaaaap,” katanya.
Saya tertarik pada nadanya.

“Mengapa?”

Rupanya dia menangkap pertanyaan saya.

“Ya, konsekuensinya. Sendiri, ditinggalkan, dijauhi… kalau diancam, tidaklah,” tambahnya.

Ooo…rupanya, kawan mulai rapuh. Semangatnya tidak seperti dahulu, tidak seperti “nampaknya”.

“Tenang saja. Pasti banyak orang baik yang mendukung kebenaran. Ingat, perjuangan untuk kebenaran akan mengangkat derajat kita. Ini ujian naik tingkat. Ini juga kesempatan untuk meninggalkan nama baik bagi anak cucu. Lebih baik dikenang karena hal itu, dibandingkan diingat sebagai pengecut, orang lemah, orang yang bersekongkol.

Mana integritas kita? Lebih baik tak punya apa-apa, dibandingkan tak punya integritas, harga diri”.

“Soal ditinggalkan, sendiri, ingatlah kata-kata bijak. Orang bijak, tidak pernah kesepian sekalipun dia sedang sendirian”.

Saya berpanjang lebar. Saya pernah merasakan situasi kurang lebih begitu.
Sering kali memperjuangkan kebenaran itu beresiko. Malah resiko besar. Butuh kesabaran, istiqamah, dan banyak lagi. Kadang lawan membujuk, kadang juga mengancam.

Soal sepi, itu juga dapat dimengerti. Seseorang sering merasa sepi kala sendiri, dan merasa tidak betah dalam situasi itu. Seseorang merasa sepi karena doa mebgharapkan sesuatu, dan harapan itu tidak terpenuhi.

Faktanya, ada yang menjauh karena tak ingin terlihat atau dilibatkan. Ada yang menjauh karena memusuhi.
Saya menyitir kata hikmah itu dengan harapan mengingatkannya. Jadilah orang bijak, orang yang selalu sibuk dengan hal bermanfaat, hal positif, sehingga dia lupa sedang berada di mana dan bersama siapa.

Dia yang bijak tidak mencari penghibur kala sendiri, karena di kala sendiri itu dia tidak pernah benar-benar sendiri. Dia bisa berdua dengan tuhannya. Dia bisa berdua, bersua pengalaman, masa lalu, bahkan dosanya. Dia bermuhasabah. Introspeksi diri.

Apalagi sekarang. Ada teman di media sosial. Ada buku dan sejumlah tulisan yang mengisi waktunya. Sekarang, ada henpon atau laptop yang mengawaninya: semuanya sekarang seolah-olah dapat hidup sebagai pengganti beberapa peran manusia.

Jadi jika pembaca masih merasa sepi, cobalah. (*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

WhatsApp Image 2018 03 15 at 06.03.09

Traditional Market “Pasar Flamboyan”

WhatsApp Image 2018 03 15 at 07.20.50

Generasi Micin