in

KOLABORASI BANYAK LEMBAGA DI KALIMANTAN BARAT

KORIDOR LABIAN-LEBOYAN (4):

koridor labian leboyan1

Oleh: Hermayani Putera

Selain dihadiri wakil masyarakat dari dua puluh kampung atau dusu yang ada di sepanjang Koridor Labian-Leboyan, pertemuan di betang Lubuk Bandung ini juga diikuti oleh pimpinan atau staf dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga riset serta jaringan dan konsorsium LSM di Kalimantan Barat.

Beberapa nama lembaga bisa disebut di sini, seperti Riak Bumi, Dian Tama, Gemawan, PPSDAK, Walhi Kalbar, Sawit Watch, Canopy, CIFOR, Aliansi Organis Indonesia (AOI), Non Timber Forest Product Exhange Program (NTFP EP), dan Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL), dan Jaringan Kerja Tungku Indonesia (JKTI).

“Banyak fenomena alam yang ditemui di lapangan yang mengarahkan bahwa kedua kawasan ini memang berhubungan erat secara ekologi. Beragam spesies burung, mamalia dan ikan menjadikan kawasan DAS Labian-Leboyan sebagai daerah lintasan antar kedua kawasan taman nasional. Sementara dari sisi hidrologi kawasan TNBK bagian barat merupakan penyedia air terbesar untuk kawasan TNDS. Dari sisi penyebaran vegetasi ditemukan berjenis-jenis spesies yang sama di kedua kawasan ini,” jelas Albert, salah seorang staf senior WWF, alumni Fakultas Kehutanan Untan yang menggeluti dunia biologi konservasi di WWF sejak 1995.

Saat ini, pengelolaan Koridor Labian-Leboyan memiliki tantangan cukup kompleks, mengingat kedua kawasan ini terpisah secara geografis yang rentangnya cukup panjang. Jika ditarik garis lurus, jarak kedua kawasan ini sekitar 30 km, sementara jika mengikuti alur sungai yang berbentuk meander, ciri khas sungai di Kalimantan, panjang sungai ini adalah 173 km. Kondisi ini mengakibatkan tantangan dan hambatan geografis yang cukup signifikan.

Dari sisi tata ruang, status lahan antara kedua kawasan ini pun bervarisi. Ada yang berstatus hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), maupun kawasan non-hutan. Di antara kedua kawasan ini membelah jalur jalan lintas utara yang menghubungkan kota Putussibau dengan beberapa kecamatan di lintas utara hingga ke perbatasan Indonesia-Sarawak di Badau-Lubok Antu.

Inisiatif pengembangan koridor ini sebenarnya sudah memiliki modal sosial yang cukup besar. Prakarsa membangun koridor ini sudah dimulai sejak tahun 2005 oleh berbagai LSM di Kalbar, termasuk kolaborasi Sawit Watch, Walhi, dan WWF dalam Nature and Poverty Program yang ikut didanai oleh IUCN Netherlands. Dalam program ini IUCN mengenalkan konsep Quality Management System (QMS), yang mencoba mengukur kualitas pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan instrumen yang sangat sederhana dan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat lokal. Hal ini berangkat dari keyakinan bahwa masyarakat tempatan mampu mengelola SDA di lingkungan mereka, termasuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kualitas pelaksanaan pengelolaan SDA tersebut.

Ada tiga perspektif yang coba dikawal oleh kolaborasi berbagai LSM ini di Koridor. Pertama, perspektif pengurangan kemiskinan, melalui peningkatan penghasilan masyarakat dari PSDA yang berkelanjutan dan meningkatnya kemampuan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.

Kedua, perspektif pengelolaan ekosistem yang lebih baik. Upaya yang dilakukan adalah memperkuat pemahaman para pihak agar memiliki wawasan lingkungan, kesadaran yang lebih baik, dan terlibat aktif pada setiap penentuan kebijakan. Selain itu, nilai-nilai kearifan lokal yang mendukung kelestarian sumber daya alam juga semakin meningkat, serta terbukanya akses masyarakat dalam ikut mengintervensi kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Koridor, dan kegiatan ekonomi yang mengancam kelestarian ekosistem semakin menurun.

Ketiga, perspektif kolaborasi untuk saling memperkuat dan saling melengkapi. Melalui perspektif ketiga ini, berbagai LSM ini merumuskan bentuk kontribusi yang jelas dari masing-masing pihak yang berkolaborasi, mengupayakan tersedianya dukungan sumber daya, kebijakan, teknologi, dan skema pendanaan lestari (sustainable financing) bagi keberlanjutan program. Selain itu, disadari pula pentingnya mengembangkan komunikasi yang efektif dan pembelajaran bersama untuk saling memampukan kapasitas pembelajaran bersama untuk saling memampukan kapasitas dan kompetensi pada setiap lembaga, termasuk tentunya pada staf yang bekerja di tiap LSM.

Dengan demikian, baik secara lokal, regional maupun global, Koridor Labian-Leboyan memiliki nilai penting dan strategis. Sebagai koridor yang terletak di wilayah Heart of Borneo (HoB) dan komitmen kuat oleh para pihak dalam mengusung prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan, koridor menjadi miniatur dari pengelolaan multi pihak dan model bagaimana sebuah kawasan dengan berbagai status dan fungsi yang beragam. Pelaksanaan pembangunan dan upaya mempertahankan fungsi perlindungan juga bisa dikelola secara berimbang, tidak harus dipertentangkan satu sama lain.

Kerja-kerja kolaborasi antara masyarakat dan didukung oleh para pendamping dari berbagai LSM di Kalbar ikut memperkuat semangat solidaritas dari masyarakat yang tinggal di sepanjang koridor yang terdiri dari empat kelompok etnis yang berbeda, yakni Iban, Kantu’, Melayu, dan Tamambaloh. Dalam satu kesempatan yang melibatkan para tokoh adat keempat kelompok masyarakat, Tumenggung Leo, wakil dari Tamambaloh melontarkan usulan, untuk menyingkatnya menjadi MIKE (Melayu, Iban, Kantu’, dan Embaloh/Tamambaloh). Usul ini diterima oleh yang lainnya, dan sejak itu nama ini dipakai untuk menyebut setiap pertemuan adat di koridor.

Salam Lestari, Salam Literasi

#MenjagaJantungKalimantan, #KMOIndonesia, #KMOBatch25, #Sarkat, #Day13, #hermainside, #SalamLestariSalamLiterasi

Written by teraju.id

ultah karol ke 38.2

Kue Ulang Tahun ke-38 Bupati Karolin untuk Sosok Tercinta

mesjid sulthan1

Semarak Kemerdekaan Indonesia di Halaman Mesjid Sulthon