in

Konser 25th ARWANA Tribute to Sultan Hamid II

Spirit Nadi Khatulistiwa antara Arwana, Max, dan Sultan Hamid II

konser 25 th arwana tribute to sultan hamid II

By: Anshari Dimyati
Ketua Yayasan Sultan Hamid II

Jalan juang ini membuat kami berjumpa banyak orang, dalam rentang waktu yang cukup panjang. Saya “si bungsu” di Institusi kami ini, bersyukur pernah dididik oleh banyak mentor dengan segudang pengalaman, dengan banyak timbunan pengetahuan. Max Yusuf Alkadrie, Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II (1967-1978) adalah salah seorang mentor, guru, dan ayah yang tak padam sabar menghadapi kobaran api seorang Anshari Dimyati, kala kehormatan Sultan Hamid II terinjak oleh beberapa kalangan pendendam, kala itu.

Gelas jatuh, air tumpah. Memori tak terlupakan, waktu kami presentasi soal Sultan Hamid II di Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia (RI). Itu panggung formal pertama saya di awal tahun 2012, sesudah saya menyelesaikan Tesis tentang kasus Sultan Hamid II. Selanjutnya membawa saya kepada babak lanjutan, estafet perjuangan. Hingga sekarang. Barangkali banyak orang menganggap ini ringan, remeh, bahwa bicara ‘api sejarah’ hanya nyala yang barangkali sebentar padam.

Tidak bagi kami, ada kehormatan (dignity) yang kami perjuangkan. Kehormatan itu bukan milik segelintir orang. Itu milik kita semua. Tak malu-kah kita ketika bertandang keluar kampung halaman, kemudian dikatakan bahwa pahlawan kita seorang pengkhianat bangsa? Apakah tak jatuh harga diri atas orang yang kita hormati, sedangkan di luar sana orang lain menunjuk ajar dalam sudut pandang beda tak beretika?

Ya! Kita orang Kalimantan Barat (Kalbar), mengaku lahir di Kalbar, dan sosok bumi putra peletak dasar pertama wilayah ini, dikatakan pengkhianat bangsa? Ini soal apa kata generasi penerus kita?, kalau tak mengubah dan meluruskan persoalan yang tak kunjung usai berpuluh tahun lamanya.

Simpul kusut itu, akhirnya, lima tahun belakangan berhasil kami urai! Sultan Hamid II diakui sebagai perancang lambang negara secara resmi oleh Negara, dengan dimasukkan muatan materi sejarahnya dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan pada tahun 2016 oleh Kemenristekdikti RI. Sedangkan di tahun sebelumnya, 2015, Lambang Negara Asli rancangan Sultan Hamid II, Garuda Pancasila disahkan menjadi benda cagar budaya peringkat nasional oleh Kemendikbud RI.

Kedua-duanya adalah pengakuan resmi Negara, melalui pemerintah yang ada, bahwa Sultan Hamid II telah berjasa besar terhadap negara. Di sisi lain, kita tak memungkiri peran yang begitu besar Sultan Hamid II pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, yang membawa Indonesia sebagai sebuah negara yang Berdaulat. Penuh. Kalau tidak, entah berapa lama waktu lagi, kita harus berperang melawan kolonialisme barat. Itu fakta yang terbentang, membawa kita sebagai Putra Kalbar bangga akan keberadaan Sultan Hamid II.

Terungkap tajam posisi sejarah ini, membawa spirit baru bagi Kalbar, bahwa kita pernah punya pahlawan dan bapak bangsa, atau tokoh sentral yang berkiprah secara nasional maupun internasional. Bahwa wilayah kita pernah menjadi “Special Territory” bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1947-1950. Lihat fakta di dalam Pasal 2 Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat).

Bahwa daerah kita bukan daerah terbelakang dari daerah lain, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah ke 5 di Indonesia. Bahwa kita pernah punya sejarah peradaban dan intelektualitas manusia yang maju, beradab, dan berkualitas. Bahwa kita bisa lebih maju dari sekarang, kalau tak dikekang proses kemajuan itu dari telunjuk Jakarta sebagai pusat kebijakan.

Memori ini yang sudah sepatutnya mengembalikan spirit kita, untuk terus maju membangun Kalbar dari berbagai aspek. Pemikiran itu sudah sejak lama ada dibangun oleh Sultan Hamid II.

Hutan Belantara Nadi Khatulistiwa

Dulu kata sebagian orang, macam mencari jarum di dalam jerami, mencari cara agar Kalbar bisa maju berdiri sejajar Provinsi besar seperti lainnya. Untuk sama dan setara agar keadilan itu dibentangkan sesama anak bangsa. Pontianak Timur, kampung halaman saya. Dia distereotipekan sebagian orang pula, sebagai wilayah yang ‘buruk’, dengan perilaku orang-orangnya yang tak menggambarkan peradaban tua.

Padahal, Pontianak berawal dari sana. Tak mungkin, asal pancang Masjid yang berdiri pertama di Kota ini menghasilkan para pemabuk, pengguna narkoba, pencuri, dan tindakan amoral lainnya, kalau tak dibiarkan oleh sistem yang berantakan? Siapa yang membangun infrastruktur kita, sesudah Sultan “menyerahkan” kedaulatannya itu kepada Pemerintah selanjutnya?

Hulu kabupaten-kabupaten cuma menerima ampas para perusahaan sawit dan lainnya, berbagai cara dilakukan sekadar dapat izin melakukan eksploitasi hasil alam yang ada di sana. Kayu ditebang, hutan lindung diperlakukan tak layak sebagaimana mestinya. Banjir melanda setiap daerah. Alam marah. Bukan karena kita tak mau kearifan lokal itu ada, melainkan karena kehadiran para tangan tak bertanggung jawab. Pembangunan tak terhambat. Bukan karena tuduhan raja-raja kecil di setiap daerah, melainkan semua izin masih banyak berada di pusat kekuasaan.

Tak ayal, Kalimantan Barat merayap maju membangun potensi sumber dayanya, yang sebetulnya kaya akan ide yang brilian, daya cipta terbaik, dan energi manusia serta alam yang berlimpah ruah. Tinggal remah. Di tengah hutan belantara sebagai jantung dunia, terus berbondong datang para pencari pundi keuntungan dalam sudut nadi khatulistiwa. Itu tidak adil! Dimanakah keadilan, kalau tuan cuma memandang persoalan dari sebelah mata?

Sedangkan untuk maju, baik birokrasi, politik, atau kemajuan pembangunan manusia kita butuh restu dari Pusat-Jakarta. Ini realitas persoalan, yang harus tuntas dijawab dengan kebijakan. Namun, spirit, tak mungkin sejajar dengan kepentingan. Kita tak banyak punya tokoh nasional, kalau tak mampu bertarung di Jakarta. Atau bukan berasal dari kaki yang menginjak tanah berbeda.

Tak serumit seperti contoh dalam kondisi geopolitik dan demografi kita pada hari ini. Hal yang lebih sederhana adalah kemajuan dalam hal infrastruktur, pendidikan dan industri, atau aspek lainnya, belum mampu kita capai secara maksimal. Contoh konkretnya adalah musik. Industri Musik. Sudah banyak kah putra bangsa asal Kalbar sukses dalam Industri Musik di Indonesia? Kalau tak merantau ke Jakarta, anda tak mungkin bisa sukses menembus angka Nasional bila kaki tetap berpijak di kampung halaman!

Arwana contohnya. Grup musik satu-satunya asal Kalbar yang cukup bertahan lama dalam pentas musik nasional. Sejak bertahun lamanya dia butuh menyeberang untuk mendapatkan kualitas recording musik yang mumpuni supaya didengar nyaman oleh pendengar. Mendapatkan produser musik yang mumpuni agar dapat diterima di antara persaingan keras industri musik Indonesia. Tak bisakah dia dikenal baik, dulu atau hingga hari ini, tanpa harus bertandang ke Jakarta? Barangkali tidak.

Arwana, Sungai Tua, dan Kapuas Kita

Di tengah perjalanan kami berjuang mengungkap fakta sejarah Sultan Hamid II dan Lambang Negara, Garuda Pancasila. Kami berjumpa banyak orang hebat dalam perjalanan atau karir hidupnya. Mulai dari ilmuwan cemerlang, politisi berkulitas baik hingga terburuk, seorang budayawan tua renta yang tak lagi dihargai koleganya yang sukses menjabat birokrasi negara, sosiolog dermawan mendermakan ilmunya, anak-anak muda berprestasi tanpa tendensi mengenal uang, sampai musisi-musisi rendah hati, kawan kami membuat konser musik sebagai bentuk hormat kepada Sultan Hamid II.

Menurut saya, musik lahir dari keyakinan seseorang terhadap apa yang dia rasakan. Musik patut disertai rasa, tak mungkin didengar kalau dia hampa. Musik juga sebagai karya yang lahir karena perjuangan, perjuangan perihal apa saja yang patut disampaikan. Musik ada karena proses berpikir manusia akan realitas hidup dan cita-cita. Pun Sastra dan Budaya, dia juga lahir dari rahim pemikiran yang tak mungkin henti, karena semua adalah hasil dari kejujuran. Kami yakin, bahwa perjuangan itu juga mengikutsertakan musik dan sastra di dalamnya.

“Assalamu’alaikum. Bang Yudi. Salam hangat dan hormat. Saya Anshari Dimyati. Ada yang mau saya diskusikan terkait rencana kami mengadakan agenda musik dan sastra untuk Sultan Hamid II”. Lalu Yudi Chaniago “Arwana” ini menjawab “Siaaapp.. saya mengikuti berita. Mantaaapp.. Ini yang saya tunggu untuk membuka sejarah beliau. ARWANA ada juga berkat spirit beliau”. Lalu komunikasi kami berlanjut dengan bertukar nomor WhatsApp dan saling telephone.

Yudi adalah salah seorang personil grup musik ternama asal Kalbar bernama Arwana. Penggebuk Drum kelahiran Pontianak ini ternyata masih aktif bermusik setelah Arwana cukup lama tak lagi terdengar oleh sebagian penikmat musiknya. Kemudian perjumpaan kami berlanjut beberapa kali. Maksud saya, menghubungi Yudi pada saat itu adalah untuk meminta bantuannya berkontribusi dalam agenda Konser 107th Sultan Hamid II yang kami selenggarakan pada 26 Juli 2020 lalu.

Sejalan sepaham, ternyata semua pintu terhubung dalam ruang dan waktu. Yudi adalah seorang yang cukup dekat dengan mentor saya yang merupakan seorang pendiri Yayasan Sultan Hamid II, Alm. HM. Max Yusuf Alkadrie. Termasuk Istri almarhum, H. Yetti Alkadrie. Mereka dulu cukup dekat melakukan interaksi di Jakarta. Yang bahkan membuat saya cukup terkejut, bahwa Alm. Om Max lah yang memberikan penamaan “Arwana” sebagai nama grup musik yang tenar mulai 1990an akhir itu.

Spirit Arwana, Max, dan Sultan Hamid II kemudian saya simpulkan berkelindan bertahun lamanya, beralih jaman. Hingga sekarang. Tak ayal membuat saya ingin lebih jauh menggali hubungan lama itu. Saya berdialog panjang bersama Yudi. Arwana resmi terbentuk bulan Oktober tahun 1995. Dimulai dari Yudi Chaniago, Hendri Lamiri, dan Yan Mahmud. Dari mereka, Yudi orang yang pertama, kala itu yang merantau ke Jakarta tahun 1988 atau 1989an, sampai dengan tahun 1992an selesai sekolah.

Yudi keliling bersama dengan Band lamanya sebelum Arwana, perjalanan panjang sampai ke ke negara-negara Asean. Setelah pulang dari keliling Asean, Yudi bertemu dengan Hendri dan Yan, penggesek biola masyhur Indonesia dan sang vocalis Arwana. Mereka “main” dari cafe ke cafe. Kemudian hadir niatan Yudi untuk mengumpulkan musisi-musisi Pontianak untuk membuat suatu grup musik atau grup Band di Jakarta.

Menurutnya, pada saat itu belum terpikir membuat band atau grup musik untuk industri musik, lebih pada niatan agar kawan-kawan seperantauan dari Pontianak ini bisa bersama manggung di sebuah cafe. “Jadi pada saat itu kalau di Jakarta, kalau sudah bisa main di cafe artinya sudah punya kelas atau greed. Itu di tahun 1994..” ujar Yudi kepada saya. Kemudian setelah kumpul bertiga, Yudi kemudian pulang ke Pontianak untuk mengajak Nono (Bass) dan Wansyah Fadli (Gitar). Kemudian Delsi Ramadhan (Keyboard) menyusul, dibawa oleh Dr. Oesman Sapta Odang, tokoh masyarakat Kalimantan Barat. Semua sepakat untuk membuat Grup musik atau band.

Mereka juga main di salah satu Cafe terkenal bernama News cafe, standar musisi nasional, bahkan band-band cafe nasional itu mainnya di News cafe di Jakarta, kata Yudi. Banyak sekali artis yang lahir dari news cafe seperti Reza Artamefia, Indro, Tohpati, bahkan Sheila on 7 juga pernah disitu. Jadi setelah satu tahun main di cafe di jakarta, kemudian mereka berenam mencoba menjejakkan kaki ke dunia industri recording (rekaman) pada tahun 1995.

Ada kawan yang mau meminjamkan uang sebagai dana awal perjuangan mereka, dalam pembuatan master. “Berkah bagi Arwana, Arwana selalu dapat nomor satu, mulai dari cafe, kemudian modal awal, hingga studio rekaman di tempat nomor satu berkualitas di Indonesia, yaitu “Ins Studio” di daerah Biak, Jakarta, milik orang Brunei yang berinvestasi di Indonesia. Band-band terkenal lainnya juga pernah rekaman disitu, seperti Slank, markas Dewa, dan macam-macam band yang hebat ada disitu, termasuk Krisdayanti”, lanjut Yudi dalam dialog kami.

Kemudian dibuatlah Album pertama Arwana, yang awalnya menurut yudi, merupakan awal yang kaku dan tidak punya arah, karena yang berpengalaman di industri rekaman hanya Yudi dengan band lamanya. “Jadi pada saat mengaplikasikan awalnya bersama Arwana agak sulit mencari benang merah. Karena masing-masing personil punya idealisme dalam bermusik. Karena sebelumnya mereka seringkali membawakan lagu orang dan bukan lagu sendiri, jadi kendalanya sulit untuk menemukan benang merah dalam membawakan lagu sendiri pada saat itu. Jadi harus kemana kiblat Arwana?”.

Akhirnya Yudi memutuskan kiblat Arwana harus ke Melayu. Personil lain sempat protes, “..kenapa harus Melayu bang?”, sedangkan pada jaman itu yang sedang musim dan trend adalah musik rock. Ada Boomerang, Slank yang sedang “up..up..up..” semua. Tiba-tiba ada Arwana yang membawakan genre etnik dan musik melow. Itu pemikiran anak-anak Arwana, tapi kata Yudi buat saja. Semua itu terejawantahkan dalam lagu Kunanti, Kepang Kampung, Angsa Putih, ASA, yang diciptakan Yudi pada Album Pertama Arwana. Ternyata semua meledak, semua pendengar musik menghormati karya Arwana.

Banyak orang atau pemerhati musik barangkali berfikir kenapa harus mengeluarkan ‘peluru’ sedemikian banyak. Jawaban Yudi pada saat itu, bahwa Arwana harus melawan banyak Band-band hebat dengan karakteristik yang kuat di genrenya masing-masing. Kalau Yudi dkk hanya mengeluarkan lagu-lagu terbaiknya hanya satu dua saja, maka Arwana akan kalah dengan band yang mengeluarkan lagu hitsnya.

Arwana dan Sumbangsih Max Yusuf Alkadrie

Arwana adalah Artis Sony Musik pertama di Indonesia, atau Artis Sony Musik Asia pertama. Pada saat itu, Sony Musik adalah Perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) dan Label yang terkenal di dunia, adalah label yang sangat-sangat diimpikan oleh Arwana, dan juga artis musik atau band lainnya. Toni Mantoya yang punya pada saat itu, suaminya Mariah Carey. Dan itu terjadi, untuk Arwana. Album pertama yang diterima Sony Musik pada saat itu tahun 1997.

Pada tahun 1997 awalnya Arwana mempersiapkan master sampai bulan Juni, kemudian rilis pada bulan Oktober. Album tersebut bernama ASA, dengan hits singlenya “Kunanti”. Arwana total mengeluarkan 4 album hingga hari ini, yaitu Album ASA, Album Nadi Khatulistiwa, Album Patah Tumbuh Hilang Berganti, dan Album keempat Kapuas. Lantas siapa yang memberikan nama Arwana?

Setelah diterima oleh Sony Musik, Yudi dan kawan-kawan harus memberikan dua atau lebih, nama yang pas untuk grup musik mereka. Kemudian Yudi dan lainnya mengajukan beberapa opsi nama seperti X-Bat, Khatulistiwa, dan banyak lagi pilihan nama lainnya yang identik dengan Kalimantan Barat atau Pontianak untuk diajukan. Tapi dari sekian banyak nama, 5 s/d 10 nama yang sudah diajukan, tidak diterima oleh Sony Musik. “Coba dicari lagi, kata Sony Musik.” Dan Yudi diberikan deadline satu hari lagi (besoknya, pukul 9 pagi) untuk menentukan nama terbaik, kalau tidak nama grup mereka akan dipilihkan oleh Sony Musik itu sendiri.

“Tapi karena saya punya guru, punya orang tua, atau saudara yang kami sangat akrab, yaitu orang Pontianak, dia adalah seorang Jurnalis senior, pengamat musik, dan tokoh masyarakat Kalimantan Barat yang berdomisili di Jakarta, yaitu Pak Max Yusuf Alkadrie”, ujar Yudi.

Max Yusuf Alkadrie adalah tokoh masyarakat Kalimantan Barat, Jurnalis Senior, Pemerhati sejarah dan sosial masyarakat, yang merupakan seorang Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II pada tahun 1967-1978. Max juga merupakan pendiri Yayasan Sultan Hamid II. Beliau wafat pada tahun 2019 lalu. Orang yang pertama teriak lantang mensosialisasikan tentang Sultan Hamid II dan Lambang Negara RI Garuda Pancasila adalah Max Yusuf Alkadrie.

Pada tahun 1997, sekira bulan Agustus atau September, Yudi ke rumah jeruk purut, Rumah Max Yusuf Alkadrie yang juga merupakan kantor Yayasan Sultan Hamid II pertama kali. Yudi bertandang pukul 10 pagi. Seperti biasa, dengan logat Pontianak, Max menyapa Yudi, “Aaaa ngape kau kesini nii, ape cerite..?” Yudi datang ke Max bermaksud untuk meminta bantuan pemberian nama grup band tersebut karena memang belum ada yang cocok.

“Memangnye kau tadi kasi name ape..?” Disebutkanlah nama-nama yang ditolak itu. Max menanyakan uraian karakteristik nama grup band yang diminta seperti apa, Yudi menjelaskan bahwa penting untuk memasukkan muatan ciri khas atau identik dengan Kalimantan Barat yang memang merupakan wilayah asal personil grup band ini. Kemudian setelah beberapa lama diskusi santai sambil menikmati hidangan kopi dan kue, Max masuk ke dalam rumah, kemudian keluar dengan menenteng sebuah buku.

Buku tersebut menampilkan gambar ikan pada cover-nya, dengan bertuliskan “Arowana”. Max menawarkan kepada Yudi, untuk menggunakan nama ikan khas Kalimantan ini, yaitu Arwana. Yudi belum begitu paham awalnya, karena ikan Arwana ini di Kalbar dikenal dengan sebutan ikan silo’. “Cobe yak kau pakai name ikan ini.. Arwana.. ini jarang orang pakai name ikan ni..”

Pertimbangannya menurut Max, adalah ikan ini identik dengan Kalbar, nilainya tinggi, di beberapa kalangan dianggap “hoki” atau “pembawa keberuntungan”. Kemudian grup band ini juga berasal dari Kalimantan Barat. Keesokan harinya pukul 9 pagi Yudi membawa buku yang diberikan Max tersebut ke kantor Sony Musik, beserta dengan gambar dan nama tersebut. “Akhirnya setelah berjumpa dengan Pak Bens Leo, Pak Yan Johana, dan beberapa wartawan, karena diminta voting untuk menentukan namanya. Kemudian disitulah mayoritas memilih Arwana.

Kemudian diputuskanlah nama Arwana sebagai nama band itu, untuk selanjutnya dilakukan proses desain nama dan gambar (logo) grup band tersebut, yang identik hingga hari ini.

Setelah penamaan tersebut, Arwana terbang ke Australia untuk mixing dan mastering album pertama mereka. Menurut Yudi, kala itu jarang ada band di Indonesia yang berkesempatan mixing dan mastering album musiknya sampai ke luar negeri. Alasan Sony Musik pada saat itu, karena standar yang mereka miliki adalah standar internasional. Untuk sound system, dan lainnya harus standar internasional. Jelas ini merupakan prestasi di awal terbentuknya grup musik.

Yudi menambahkan, Max Yusuf Alkadrie memiliki jasa atas proses terbentuknya dan perjalanan Arwana sejak awal. Max adalah orang tua bagi mereka, dan seniman-seniman pada umunya, karena banyak sumbangsihnya. Max menurut mereka selalu memberi ilmu, termasuk ilmu untuk hidup di dunia entertaint. Max seringkali memberikan nasihat-nasihat, memberikan filosofi-filosofi hidup sebagai entertainer, sebagai anak daerah, dia menuntun banyak anak Kalbar agar bagaimana bisa survive, bersikap, dan untuk sukses dalam hidup di Jakarta.

Max sungguh bangga karena ada anak-anak Kalbar yang ikut dalam pentas nasional, sukses berkarya dalam bermusik di Jakarta. Dia meneteskan air mata, karena ikut bangga dengan keberadaan Arwana. “Dia yang memulai 30 tahun sebelum saya lahir, belum ada lagi satu band pun bisa membuat bangga kalimantan barat.”

25th Arwana, Sultan Hamid II, Spirit Bersama Kebanggaan Bangsa

Cita-cita Sultan Hamid II soal majunya Kalimantan Barat, berada tegak sejak dulu. Sultan Hamid II memiliki gagasan Kalimantan Barat yang modern, terhubung satu dengan lainnya dengan infrastruktur yang baik. Semua aspek hidup berkembang layak dalam persatuan Indonesia, Kalimantan Barat di dalamnya.

Tak ubahnya dengan Arwana. Mereka memiliki idealita tentang majunya musik dan musisi di tanah Khatulistiwa, Kalimantan Barat. Kualitas musik Kalbar akan seiring berjalan dengan pembangunan semua lini yang merata pula. Tak bertanya kah kita mengapa Kalbar tak punya Sekolah Musik (Perguruan Tinggi) yang mampu bersaing, barangkali, dengan IKJ, ISI, atau lainnya?

Ini persoalan dan tantangan ke depan yang harus kita pecahkan bersama. Kita percaya kita mampu untuk menghadirkan itu semua, peralatan murah dan canggih untuk recording, alat musik yang lengkap, atau gedung musik besar milik pemerintah kota atau provinsi Kalimantan Barat. Cita-cita itu tentu milik kita bersama.

Oktober 2020 Arwana menginjak umur peraknya 25 tahun. Berkah bagi Arwana hingga sampai ke titik ini, 25 tahun bersama dalam satu grup. “Saya mengetahui tentang Sultan Hamid II ini merupakan seorang pencipta Lambang Negara, yaitu Garuda Pancasila. Kemudian setelah saya baca buku dan mengetahui informasi dari sumber lainnya, bahwa ternyata Sultan Hamid II adalah orang yang berjasa terhadap perjalanan sejarah bangsa dan negara ini secara nasional, bahkan tercipta, merdeka, dan berdaulatnya negara ini, beliau terlibat”, kata Yudi, dan kawan Arwana lainnya.

Beliau adalah pahlawan yang berasal dari kampung kita sendiri, Pontianak – Kalimantan Barat. Beliau inilah kebanggaan anak-anak Pontianak sesungguhnya, anak-anak Kalimantan Barat. Bahwa selama ini Kalimantan Barat sedikit sekali orang mengenal ceritanya. Orang hanya tau tentang geografis wilayah ini sebagai sungai terpanjang, tugu khatulistiwa, dan lainnya.

“Kalau sosok beliau ini muncul, saya rasa akan menambah daya tarik, daya jual Kalimantan Barat. Bahkan dengan statusnya kemudian menjadi kebanggaan bagi Kalimantan Barat yang sejak dahulu sudah beragam (multi) etnis, yaitu suku, adat, dan budaya. Keberagaman sudah ada sejak dulu di Pontianak – Kalimantan Barat. Dan Sultan Hamid II yang mengajarkan tentang keberagaman dan mengajarkan untuk merawat kebhinekaan di tanah Kalbar ini. Saya dan kawan-kawan Arwana dan pencinta musik di Kalimantan Barat tentu mendukung Sultan Hamid II. Secara pribadi saya membuat lagu secara khusus yang berceritakan tentang Sultan Hamid II, berjudul “Elang Khatulistiwa (The Eagle of Equator)”, tambah Yudi dalam dialog kami.

“Saya bersyukur sekali mengikuti dan ikut masuk menjadi bagian dari perjuangan ini, semenjak dikontak oleh bang Anshari Dimyati Ketua Yayasan Sultan Hamid II. Lagu ini saya dedikasikan untuk Sultan Hamid II, beserta perjuangan-perjuangan selama ini yang telah dilakukan. Setelah 20 perjuangan Yayasan Sultan Hamid II akhirnya berjodoh untuk berdampingan berjuang bersama. Saya katakan kepada bang Anshari Dimyati, saya barangkali orang terakhir yang ikut dalam perjuangan ini, namun saya mencoba maksimal dengan apa yang bisa saya berikan terhadap ini semua. Di menit-menit terakhir persiapan live concert 107th Sultan Hamid II tempo hari lalu. Sebagai seorang songwriter, pencipta lagu, sudah menjadi tugas saya sebagai putra Kalbar ikut berjuang di bidang saya untuk ikut membantu mensosialisasikan atau menggelorakan perjuangan ini. Sedangkan di sisi lain, banyak lagu juga sudah saya ciptakan di Arwana maupun lainnya. Kenapa saya tidak bisa menciptakan lagu pahlawan saya sendiri, guru saya, panutan saya. Ini karena tuhan, karena Allah SWT, meringankan dan memudahkan saya, kemudian bisa membuat lagu Sultan Hamid II ini dalam tempo waktu singkat.”

“Bagi 25 tahun Arwana berkarya, lagu Sultan Hamid II ini adalah suatu masterpiece yang bisa saya berikan, untuk pahlawan kita. Ini karya cipta terbaik yang saya ciptakan, dan Arwana berikan untuk mengenang jasa Sultan Hamid II. Konser ini harus diikuti oleh seluruh anak bangsa di Kalimantan Barat maupun Indonesia. Siapapun orangnya, apapun kelompoknya. Kita bangga sebagai masyarakat Kalimantan Barat punya pahlawan bangsa seperti Sultan Hamid II. Dan karena Sultan Hamid II inilah spirit bermusik kawan-kawan Arwana tercipta kembali. Untuk mengembalikan semula greed musik berkualitas di tanah air yang telah diciptakan oleh Arwana. Harapan Arwana dalam umur 25 tahun ini, di dalam spirit Sultan Hamid II ini, grup-grup musik berkualitas bisa terus lahir menasional bahkan internasional, berasal dari Kalimantan Barat. Melalui sosok dari Arwana dan Sultan Hamid II”, tutup Yudi.

Dialog panjang ini menjadi spirit kita, dan tentu saya, untuk terus mengaktualisasikan jati diri bangsa dengan benar, arif, dan jujur. Kita tak perlu terkungkung dengan semua hambatan, selama terus dapat berkarya. Selama terus dapat menjaga kehormatan (dignity) tanah asal kita.

Selamat konser, dan selamat HUT ke 25 tahun Arwana, grup musik Kebanggan Kalimantan Barat, Indonesia.

Salam hormat,
29 Oktober 2020
AD.

Written by Anshari Dimyati

mh

MAHASISWA MAGISTER HUKUM 2020 PEDULI PENCEGAHAN COVID 19 KEGIATAN HUT PONTIANAK 249 DIRUMAH ADAT MELAYU

IMG 20201030 073353 451

Balai Bahasa Umumkan Hasil Lomba Blog