in

Kuncinya Ikhlas

embun pagi

Oleh : Khatijah

Suasana siang ini cukup panas, hal biasa di kota Khatulistiwa, dan lebih biasa lagi mahasiswa di kontrakan masih belum beranjak mandi meski telah menyelesaikan aktivitas pagi memasak bahan yang tersisa di dapur biar perut tetap terisi. Agar tetap sehat jasmani meski batin hampir hilang ke-warasannya karena masalah dan beban yang ditampung sendiri dengan alasan agar orangtua tidak repot dan susah mendapati anaknya dirantau bermasalah dengan segala hal baik masalah kuliah yang semakin meraja rela, uang belanja yang semakin hari semakin naik (belum lagi masalah hati yang tak akan membaik).

“Tuhanku .…”

“Tuhanku .…”

Teriakan tetangga kontrakan temanku, sebenarnya bukan hal yang aneh lagi menurutku karena memang aku sudah terbiasa mendengarnya bahkan terkadang jika aku kekontrakan temanku tidak mendengar suaranya aku bertanya-tanya.

“Kemane urang samping ni, kan sanyap lalu?”

“Insaf dah die, kallak oo magrib mulailah agek”.

Baiklah, agar tidak menjadi penasaran karena rontaan pria bertato, berbadan besar, gagah, berkulit putih, pendiam, dan sangat baik hati itu, aku akan menceritakan kenapa dia berteriak memanggil-manggil tuhan. Iya jelas sekali dia bukan muslim, masalah yang dihadapinya tentang trauma yang berkaitan dengan hati. Kata tetangga yang sudah lama mengenalnya.

“Calon istrihe meninggal Dek, makehe die gituk”.

Masalah hati memang sangat berat, satu gumpalan daging yang mempengaruhi seluruh anggota badan mengikutinya, jika ia merasa sakit maka tersiksalah seluruh badan, jika ia bahagia bergembiralah anggota badan. Hah, betapa sempurna Sang Maha Kuasa menciptakannya, hanya saja terkadang pikiranku menjauh dari kewarasannya, bagaimana tidak kusebut menjauh dari kewarasan, otakku selalu menimbulkan pertanyaan yang kata dosenku, pertanyaan yang tidak perlu dicari jawabannya seperti mengapa salat berbeda-beda rakaatnya, kenapa Subuh hanya dua rakaat, Magrib tiga rakaat, dan seterusnya. Bukankah itu memang hal konyol yang melayang-layang di sekeliling kepalaku.

Sudahlah karena jawaban dari semua pertanyaan itu pasti akan berakhir dengan kalimat, “Sabar, itu ujian. Kan Tijah belum tahu apa balasannya nanti,” ucapan dari Pembina yang selalu bergema di telingga jika benak sudah memberontak untuk menghentikan semua proses ini. Yaah apalagi jika bukan ikhlas kuncinya. Begitu juga dengan bapak samping jika dia ikhlas aku yakin Tuhannya sudah mempersiapkan segala keindahan dari segala ketersulitannya. Sekali lagi kuncinya ikhlas.

Pontianak, 20 Januari 2018

Written by teraju.id

sahabat putih abu abu

Mencari Jati Diri Bersama Sahabat Putih Abu-Abu

IMG 20180121 054524 338

Senandung Rhoma di Rumpun Padi