in

Lamaran kerja Bêdjo diterima

leo

Oleh: Leo Sutrisno

Di kalangan masyarakat Jawa tradisional nama seseorang mengandung makna dan sekaligus cerminan latar belakang status sosial-ekonomi keluarganya. Tidak terkecuali si Bedjo yang sedang berkunjung ini.

Kata ‘bedjo’ mengandung makna keberutungan. Sebuah kata harapan dari kedua orang tuanya.

Namun, harapan itu ternyata tidak diterimanya serta merta. Pada usia lima haun ayahnya meninggal. Sebagai penebang pohong sering dimintai tolong orang sekitarnya. Ia jatuh dari pohon kenanga yang akan dipotong beberapa dahannya.

Bedjo menjadi sebatang kara pada usia lulus sekolah dasar. Emboknya meninggal dunia karena tabrak lari ketika pulang dari pasar.

Untuk menyambung hidupnya, ia melanjutkan usaha emboknya. Setiap hari ia menjajakan sayur-mayur dari desa ke desa sepanjang rute emboknya dulu. Para pelanggan juga senang. Termasuk anak-anak kecil mereka. Bejo sering membagikan jajanan kecil-kecil kepada anak-anak itu.

Pada suatu hari, pak guru Darmo yang sedang ‘mudik’ mengajak Bedjo ke kota. Singkat kata, mulai hari itu, Bedjo ikut keluarga pak Darmo.

Namun, ia juga disekolahkan hingga lulus sarjana, tahun lalu. Awal bulan ini, Bedjo minta ijin Pak Darmo untuk mencari kerja. Jumat kemarin Bedjo mengikuti tahap wawancara.

Setelah memarkirkan sepedanya, Bedjo menuju pos jaga, menanyakan lokasi wawancaranya.
“Mas masuk lewat pintu itu. Ikuti saja arah anak panah yang sudah saya tempel. Tentu sampai di ruang direktur. Semoga sukses, ya” Kata Satpam.

Di depan pintu utama, ada sebatang sapu ijuk yang disandarkan di daun pintu. Bedjo memindahkannya sapu tersebut ke dinding sebelah kiri pintu. Agak di pojok.

Di lorong, di lantai dekat ujung bawah anak tangga ke lantai dua, ada banyak ceceran air. Bedjo menengok ke kolong bawah tangga, ada kain pel. Sebelum naik Bedjo menyempatkan diri mengepel air tersebut.

Sambil menaiki anak tangga lantai dua, Bedjo memunguti beberapa tisu bekas yang terserak di tangga. Ia terpaksa kembali ke bawah karena di lorong lantai tiga tidak terlihat kotak sampah.

Di tangga menuju ke lantai tiga, dengan tisu basah yang dibawa dari rumah, Bejo membersihkan tempelan permen karet. Sebenarnya, tisu itu akan dipakainya untuk membersihkan muka, sebelum diwawancara.

Persis di depan pintu ruang direktur, Bedjo menyempatkan diri mencuci tangan di wastafel yang ada di samping kiri pintu. Tidak lupa memutar lebih kuat kran yang sudah sedikit aus.

Tadi, sebelum Bedjo, mungkin ada yang menggunakannya tetapi kran kurang terik. Air masih banyak yang menetes.

Di ruang wawancara, sudah banyak calon yang antri menunggu giliran. Nasib sial atau nasib baik, Bedjo dapat nomor terkahir. Dengan gelisah, Bedjo menunggu giliran.

“Bedjo!. Anda tahu arti kata itu” Kata direktur kepada Bedjo di awal wawancaranya. “Pengalaman kerja, heeemmm. Sepuluh tahun lebih enam bulan sebagai pembantu rumah tangga” Guman direkur pelan seolah dengan dirinya sendiri. “Sangat kuantitaif!” Lanjutnya.

“Riwayat pendidikan. Sekolah dasar di desa. SMP, SMA di kota. Juara ketiga dan pertama tingkat porpinsi. S-1 jurusan humaniora. IPK terkahir 3,76. Mengesankan”. Lanjut direktur juga masih seperti berbicara pada diri sendiri.

“Seandainya saya terima, Mas Bedjo meminta gaji berapa?” Tanya direktur.

Bedjo tergagap. Tidak menduga pertanyaan pertama seperti itu.

“Saya tidak tahu, Pak. Hidup saya susah sejak dari kecil dulu. Kebaikkan keluarga Pak Darmolah, saya bisa ketemu Bapak saat ini.”

“Mereka memperlakukan saya seperti keluarga sendiri. Hanya saja, saya yang harus tahu menempatkan diri” Jawab Bedjo sambil meneteskan beberapa butiran air mata.

“Walau mereka selalu mengajak bersama di dalam mobilnya, saya ke sekolah tetap menggunakan sepeda tua Pak Darmo. Ke sini tadi pun saya naik sepeda itu, Pak”. Berhenti sejanak.

“Maaf kalau bau keringat saya menggangu Bapak. Jadi, intinya, saya tidak dapat menjawab pertanyaan Bapak” Lanjut Bedjo sambil melepaskan napas, lega. Isi hatinya pertama kali tertumpahkan. Walau, kepada seseorang yang baru dijumpainya.

“Baik, wawancara selesai. Tunggu kabar dari kantor, ya” Kata direktur.

Bedjo pulang dengan segudang pertanyaan. Tetapi, jawabannya sudah ada pada tampilan CCTV di meja direktur.

Setelah Bedjo menerima panggilan, Pak Darmo membelikan motor seken untuknya.

Kelak, beberapa tahun kemudian, Bedjo menjadi partner kerja yang handal direktur ini. Tetapi, ke kantor tetap mengendarai motor itu dan tetap tinggal di keluarga Pak Darmo

Setelah berkeluarga, Bedjo membangun rumah minimalis dari kontainer di sebuah kapling 10mx10m. Ia membeli kapling itu dari tabungan gajinya.

Bedjo sungguh ‘bejo’. Benarkah keberuntungan memang berpihak pada Bedjo. Atau, ….?

Pakem Tegal, 20-9-2020
Leo Sutrisno
Kisah ini ditulis sambil mendengarkan lagu “Positive Morning JAZZ – Happy Autumn JAZZ For Daily Routine – Lounge Radio”

Written by Leo Sutrisno

credit union

CU – Bank Dayak

Dara Kenyah Miss Word Malaysia

Cermin Dayak “Smart People”