in

Mbah Kukuh

dr leo sutrisno
Dr Leo Sutrisno

Oleh: Leo Sutrisno

Dalam buku Bausastra (Kamus) bahasa Jawa-Indonesia, karangan S. Prawiroatmodjo, ada berbagai padanan dari kata ‘kukuh’ dalam bahasa Indonesia. Di antaranya adalah: teguh, tetap hati, keras hati, dan pasti.

Mbah Kukuh adalah seorang koster sebuah kapel kecil. Pekerjaan itu diperoleh sebagai ‘warisan’ dari almarhum kakeknya.

Layaknya seorang koster di desa yang jauh dari kantor paroki, mbah Kukuh selain melayani keperluan pastor yang sedang turne, juga merangkap sebagai satpam, tukang kebun, pesuruh, dan tentu saja sebagai ‘kepala rumah tangga kapel’.

Tidak terkecuali membunyikan lonceng tiga kali sehari yang memberi tahu umat sekitar bahwa saat itu adalah waktu berdoa Malaekat Tuhan.

Atas kesepakatan penduduk sekitar, lonceng kapel, karena bunyinya yang nyaring, juga digunakan sebagai tanda bahaya. Jika ada bahaya yang datang mengancam perdukuhan sekitar, mbah Kukuh akan membunyikan lonceng tiga-tiga beberapa kali. Itu kesepakatan penduduk setempat.

Konon, tanah kapel itu milik kakeknya yang diwakafkan kepada gereja. Oleh pastor paroki kala itu, kakeknya diijinkan menggunakan sebagian tanah di pojok belakang kapel untuk membangun pondok.

Kini, Mbah kukuh tinggal di pondok itu sendirian. Karena, memang tidak menikah. Dari umat, ia mendapat gelar sebagai ‘pastor tak berstempel’.

Siang itu, mbah Kukuh membunyikan lonceng tiga-tiga berulang kali. Banjir besar hampir mendekati rumah-rumah penduduk di sekitar kapel. Ada tanggul sungai yang melintas di bagian atas perdukuhan sekitar kapel bobol.

Penduduk sudah berlarian ke luar rumah sambil mengamankan beberapa benda berharga ke perdukuhan lain yang lebih tinggi. Beberapa orang sempat mengajak mbah Kukuh mengungsi.

Tetapi, ia selalu menjawab, “Maaf, imanku tidak setipis iman kalian. Tuhan pasti akan menyelamatkan orang yang tebal imannya”

Ia yakin akan hal itu. Karena, seluruh hidupnya telah digunakan untuk mengurus kapel dengan segala macam ‘thèthèk bengèk’-nya. Tentu ia juga tidak lupa selalu berdoa di bawah salib kapel.

Awalnya, ia memilih naik ke atas meja. Dengan harapan, air hanya akan setinggi meja. Namun, perkiraannya meleset. Air terus datang dan menggenangi perdukuhan. Permukaan air terus-menerus semakin tinggi.

Ketika ia berada di atas atap pondoknya, datang rombongan tim SAR dengan terahu karet dan membujuknya mengungsi. Namun, mbah Kukuh tetap bertahan dengan jawaban ajakan yang pertama.

Tampaknya, hujan di hulu belum juga berhenti. Sebaliknya, justru semakin lebat, ditambah dengan angin kencang. Ia pun berenang menuju bumbungan atap kapel.

Kembali tim SAR datang mengirimkan bantuan dan mengajak mbah Kukuh mengungsi. Namun, tim itu kembali dengan tangan kosong.

Menjelang magrib, belum ada tanda-tanda bahwa hujan akan berhenti. Ia pun berenang meninggalkan atap kapel yang sudah tergenang itu menuju pohon kelapa pekarangan tetangga.

Di puncak pohon, Mbah Kukuh merasakan angin besar mengguncang-guncang pohon itu. Ia menjadi ketakutan. Kemudian, ia berteriak lantang, “Tuhan, Kau tidak adil! Kekuranganku apa?! Seluruh hidup kugunakan untuk mengurus kapel dengan segala keperluannya. Bahkan, aku rela tidak menikah demi tugas itu. Tetapi, Kau tidak mau menyelamatkan aku”

Malam telah menutupi seluruh perdukuhan. Hujan belum kunjung berhenti. Bahkan, permukaan air justru merambati ketinggian pohon itu.

Selain diguyur hujan lebat. Angin kencang juga menerpa pepohonan. Tidak terkecuali pohon kelapa yang dipanjat mbah Kukuh.

Mbah Kukuh merasa lelah dan tentu saja lapar. Di antara sadar dan tidak, ia mendengar bisikan lembut, “Kukuh, kau menuduhKu tidak manolongmu. Selama hujan ini Aku sudah datang menolongmu tiga kali. Tetapi, kau berkeras hati, bertahan pada pendiranmu”.

Ketika banjir sudah surut, pagi berikutnya, penduduk sibuk mencari-cari keberadaan mbah Kukuh. Mereka hanya menemukan, ada sebatang pohon kelapa sebelah kapel yang tercabut terbawa hanyut.

Tak ada yang tahu dimana keberadaan mbah Kukuh. Tinggal kisahnya yang selalu muncul di kala bencana melanda perdukuhan itu.


Pakem Tegal 11 Januari 2021.

Written by Leo Sutrisno

Sriwijaya Air

SJ 182 “Pulang Kampung”

rs pku muhammaditah demak

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah-Demak Dibangun atas Wakaf Keluarga Hj Fatimah-Sulhan