in

Walikota Buchary A Rachman di antara Wakaf dan Pantun

Buchary A Rachman

Oleh: Nur Iskandar

Dia dibesarkan di Kampung Wak Serang persis depan Pelabuhan Pontianak. Sejak kecil dididik dalam tradisi Melayu yang ekstra kental. Dia dokter alumni Universitas Indonesia yang tak sungkan mengenakan peci bin kopiah macam Bung Karno. Ia juga dikenal sebagai Direktur Rumah Sakit Daerah Dokter Soedarso yang menjadi Walikota Pontianak dua periode yang amat sangat lekat dengan pantun. //Ikan sepat ikan gabos// Makin cepat makin bagos// Itu pantun yang tak bakal dilupakan warga Kota Pontianak yang pernah hidup sezaman dengannya. Tak pelak, lawan bicara dokter yang pula akrab disapa Bang Bong ini pun tersenyum lebar. Di kala lawan bicaranya tersenyum lebar itu pulalah alumni SMPN 1 dan SMAN 1 Pontianak itu kembali menunjal dengan sebait pantun pelengkap bak berbalas pantun, //Ikan sepat, ikan gabos, ikan lele// Makin cepat makin bagos, jangan bertele-tele// Dus meledaklah tawa audiens yang berhadapan dengannya. Suasana kadangkala beku menjadi cair meleleh-leleh. Itulah keramatnya pantun. Itulah pula kekhasan Walikota Aloevera Bang Bong yang memimpin kota setelah Letkol RA Siregar dan setelahnya digantikan H Sutarmidji, SH, M.Hum (kini Gubernur Kalbar).

Ada pantun jenaka memang. Macam begini, “Jaka Sembung bawa golok// Nggak nyambung goblok!// Pantun yang kerap dihadirkan di radio lawas kawula muda. Sampai kini masih trending topik di udara perpantunan.

Ada juga pantun nasihat. Kali ini bertubi-tubi datangnya sejak tempo doeloe hingga zaman now. Misal, “Asam kandis asam gelugur// Kedua asam riang riang// Menangis mayat di pintu kubur// Melihat badan tidak sembahyang//

Pantun beraneka ragam banyaknya. Ada pantun anak-anak, remaja dan dewasa. Ada pula pantun beraneka etnis di Indonesia bahkan dunia. Kalau saja dr H Buchary Abdurrachman masih hidup, pastilah dia bersemangat agar pantun masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Unesco. Unesco adalah unit lembaga PBB yang mengurusi kebudayaan global bernilai universal. Nah pantun memenuhi kaidah universalitas umat manusia sejagat karena kandungan nilainya yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Ia selalu relevan dengan isi dan sampiran. Dengan isi dan sindiran. Banyak negara menuturkan pantun yang sopan dan santun sekaligus sastrawi tersebut sehingga menyebar di seantero dunia. Ia umumnya empat baris terdiri dari dua bait sampiran dan dua baris isi. Tetapi bisa pula enam baris atau lebih dengan untaian kalimat saling berpaut serta saling berpagut.

Dr H Buchary A Rachman tidak hanya “bernyanyi” dengan pantun di acara resmi. Dia juga mendendangkan pantun ke hadapan pasien-pasiennya yang datang berobat akibat sakit kulit dan kelamin. Soal pantangan makan hal-hal tertentu direpekkannya dalam bait pantun nan indah, sehingga pasien sudah merasa sembuh sebelum minum obat akibat bahagia dalam tawa mereka. Begitupula jenis obat-obat sebagai resep racikannya. Diracik pula nasihat berbungkus pantun nan indah. Bagiku, tak suah melihat ada sosok seperti Buchary dalam berpantun sebagai Walikota–walinya sebuah kota. Kota bumi khaTULIStiwa pula. Kental dengan entitas kemelayuannya. Lekat dengan pelisanan nan menggoda untuk lawan bicara. Melayu pengopi dan pembicara di mana-mana. Begitulah pula kata Andrea Hirata dengan Tetralogi Laskar Pelanginya.

Perihal wakaf, Buchary pria relijius. Di tangannya, aset tanah dan gedung HMI lancar dalam urusan wakif dan nazir (2004). Dia propose terbitnya sertifikat wakaf menyusul terbitnya UU Wakaf No 41 Tahun 2004. Dia sebagai walikota pro aktif pula mengurusi pengelolaan wakaf Pemprov atas lahan dan Mesjid Raya Mujahidin sebagai mesjid terbesar di seantero Kalbar (2006). Semua terjadi di masa Buchary walikota.
Kenapa hal itu semua mudah diurus dalam tangannya? Karena dia cair dengan komunikasi massa. Dia berdiplomasi dengan tangan dingin seorang dokter. Tapi ceria dengan pantun kemantun.

Menyadari hal itu pula Badan Wakaf Indonesia (BWI) Provinsi Kalimantan Barat bersama konsorsium Tawaf Indonesia (Tentara Wakaf Produktif) Indonesia beserta Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) sekaligus Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) menyelenggarakan Festival Pantun Menembus Unesco (Serumpun Berpantun) pada 16/12/20 yang tinggal beberapa hari ke depan. Harapannya adalah bahwa lahan-lahan wakaf bisa diproduktifkan dan regulasi wakaf bisa disiarkan melalui pantun. Sebab pantun itu indah–sopan dan santun–lagi menggoda. Dalam sejarahnya pantun pula telah menyatukan Nusantara. Melalui pantun kita menjadi Indonesia.

Dengan sentuhan pantun Insya Allah 4.5 miliar meter persegi tanah wakaf di Nusantara bisa diberdayakan. Bisa disosialisasikan lewat pantun. Juga bisa diproduktifkan dengan imbal balik triliunan rupiah demi membangun Indonesia Raya. Apalagi era kini era resesi. Resesi akibat Pandemi Covid-19 yang berdampak domino global. 200 negara terinveksi virus dan resesi ekonomi. Dengan pantun pula sastra dalam telewicara menggerus musuh bangsa Indonesia terkini sehingga menyedot banyak sekali energi positif bangsa, yakni hoaks dan berisi caci maki tak tentu rudu bahkan terudu-rudu. Agaknya kita perlu menggali kembali kekuatan kita sebagai sebuah bangsa yang punya citarasa sastra dalam berbicara dan berakhlakul karimah sekaligus menyebar rahmat bagi seru sekalian alam via wakaf produktif. Rahmatan lil ‘alamiin. (Penulis adalah pegiat Wakaf Literasi-Literasi Wakaf. Anggota Badan Wakaf Indonesia Kalbar Bidang Wakaf Produktif. Contact Person WA 08125710225)

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

papan nama

Belajar Baca

Baskoro Effendy

Introspeksi Warung Kopi