in

Membaca Bacaan Kita

IMG 20190429 WA0001

Tampaknya data UNESCO mengenai minat baca Indonesia terbantahkan akhir-akhir ini. Apalagi berhadapan dengan hari buku sedunia 23 April lalu. Berdasarkan riset media sosial yang sepintas saya amati menunjukkan kepedulian organisasi-organisasi mahasiswa dengan memajang gambar “selamat hari buku sedunia” ditambah beberapa teman whatsapp yang tak mau ketinggalan memosting hal senada.
Berikut publikasi informasi lomba-lomba kepenulisan yang membuncah ke permukaan jagat maya, sekaliber Balai Bahasa Kalimantan Barat menjadi pelaksana lomba yang menggairahkan hadiahnya bagi pemenang. Tak tanggung-tanggung mengadakan sayembara menulis berhadiah jutaan rupiah.
Tulisan ini memang utamanya di Daerah Pontianak saja, sebab saya menetap di sini supaya fakta empiris teruji. Anggap saja nuansa ilmiah. Wkwkwk

Saya pribadi salah satu peserta dari sekian banyak lomba menulis. Kemarin lomba soal milenial dan nikah muda yang diselenggarakan Ahwal Syakhshiyah. Saya hanya berani genre opini atau esai atau artikel yang kisaran 500-1000 kata. Kemungkinan basic-nya cuma di situ-situ melulu, walaupun idenya tidak terlalu kritis dan pun tak tumpul-tumpul amat. Terbukti hasil akhirnya tak memuaskan, kalah di tengah jalan.

Selain deretan lomba tadi, kampus saya tercinta, IAIN Pontianak, tak mau kalah bersua. Mereka menyebutnya “Festival Literasi.” Kegiatan atas sokongan Dinas Perpustakaan Kota Pontianak itu berupa pameran, bazar buku, bedah buku, hingga seminar nasional.

Jika anda melewati Jl. Soeprapto cobalah sejenak menengok ke pintu gerbang kampus IAIN, di sana terpampang jelas baliho besar, sampai saat ini saya belum tahu ukuran pastinya.
Kalau anda berminat, masuklah ke dalam wilayah kampus, ketika sampai di bundaran beratap (kami menamainya gazebo) belok sebelah kiri menuju masjid. Nah, di samping masjid dan jalan beratap (saya tak tahu namanya, mirip di Mujahidin) di situlah lokasi pameran dan bazar buku. Sedang di bawah masjid, aula, itu lokasi seminar dan pameran arsip (kalau tidak salah).

Apabila anda rajin kedua kalinya, cobalah amati seberapa banyak mahasiswa lokal yang datang membaca dan membeli buku. Ramai bukan? Iya, ramai yang sekadar lewat dan melihat-lihat atau berfoto ria di background yang di design semenarik mungkin. Atau barangkali ada pula anda menengok beberapa cuma mengisi buku tamu lantas pulang (termasuk saya). Haha

Lantas, apa salahnya? Toh, namanya juga pameran kan? Tetapi, bukan itu yang hendak saya soroti. Dari sekian banyak mahasiswa, separuh saja tidak sampai yang menghampiri pameran atau kegiatan ini. Lagi-lagi soal kualitas kita, kebiasaan kita, lingkungan kita. Nyatanya memang sedikit yang berminat membeli buku apalagi membaca, di samping bukan kebiasaan pun oleh ketidakmapuan merogoh kocek nan dalam. Cuma melirik, berfoto, dan sebar ke media sosial dengan caption “mari budayakan membaca, membaca jendela dunia, membaca bla bla bla” cukup di situ. Senyatanya kita malas sejadi-jadinya.
Lalu bagaimana dengan paragraf pertama data UNESCO tadi, sederhananya dari 10 orang hanya 1 orang yang membaca. Benarkah telah terbantahkan kini, Bisa jadi iya, atau bisa juga tidak. Jika demikian bisa dibilang kita menyadari ketidaksadaran.
Entahlah, saya akhirnya bingung sendiri. Yang jelas, itulah kenyataan yang ada menurut kacamata saya. Anda berbeda? Silakan saja.
Mari kita membaca sendiri sejauh mana bacaan kita?

Pontianak, di antara sepoi kipas masjid, 30 April 2019

Written by Juharis

Juharis, manusia biasa yang berusaha bermanfaat lewat kata.

WhatsApp Image 2019 04 30 at 19.44.32

Sembako Aman Jelang Ramadhan

images 2 221x221

Anggap Saja Soal Nikah Muda