in

Napak Tilas Awal Berdirinya Kesultanan Kadriah Pontianak

istana kadriah

Oleh:Turiman Fachturahman Nur

Memaparkan sejarah berdirinya kesultanan Pontianak, dimulai dari peristiwa tatkala Syarif Abdurrahman Alkadrie menjejakkan kakinya di tepian pertemuan Sungai Kapuas kecil dan sungai landak pada pagi hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771. Menurut Hijriyah, ia dilahirkan di Mantan pada 15 Rabiulawal 1151 H pada hari Senin pukul 10.00 pagi atau bersamaan dengan tahun 1739 Masehi. Jadi ketika mendirikan Kesultanan Pontianak, Ia baru berusia 32 tahun.

Misi Syarif Abdul Rahman dalam membuka wilayah baru tidak dapat dilepaskan dari latar sejarahnya sebagai keturunan dari Habib Husein Alqadri, seorang ulama dari Hadralmaut, upayanya tersebut dipercaya masyarakat setempat didorong oleh cita-cita ayahnya untuk mengembangkan permukiman baru yang dapat dijadikan tempat mengajarkan Islam sekaligus berdagang.

Untuk menjalankan misinya itu, Syarif Abdul Rahman mewarisi bakat ayahnya sebagai petualang imigran (imigrant adventurers) untuk menjadi penguasa di daerah baru (stranger kings). Menurut Jeyamalar Kathirithamby-Wells, bakat berupa kecerdasan politik serta karisma politik dan spiritual yang digabungkan dengan praktik perkawinan politik adalah modal utama bagi Syarif Abdul Rahman. Modal ini mulanya digunakan untuk menjalin relasi dagang sekaligus hubungan politik dengan para penguasa di kerajaan-kerajaan maritim seperti Palembang, Riau, Banjarmasin, dan Passir. Menelusur galur Syarif Abdurrahman Al Kadrie adalah Putra asli Kalimantan Barat.

Ayahnya Sayid Habib Husein Al Kadrie, seorang keturunan Arab yang telah menjadi warga kerajaan Mantan. Ibunya juga adalah seorang putri dari kerajaan Matan, yang menurut penulis Belanda JJK Enthoven, adalah seorang putri Dayak yang telah menganut agama Islam. 17 Tahun Lamanya Habib Husein menjadi ulama Islam di kerajaan Matan. Sayyid Husein Al Qadri kemudian pindah ke Mempawah, menjadi penyiar agama dan tuan besar Mempawah setelah Raja Mempawah Opu Daeng Menambon meninggal. Syarif Abdurrahman bergelar pangeran kerana Ia adalah putra tuan besar Mempawah dan ia pun menjadi menantu Raja Opu Daeng Menambon, ketika ia dikawinkan dengan Putri Candra Midi. Begitupun ketika ia kawin lagi dengan Putri Raja Banjar yang bernama Ratu Syahranom, ia diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.

Berdasarkan nasab riwayat keturunan yang tersirat bahwa Syarif Abdurrahman adalah Putra asli Kalimantan Barat, putra dari seorang ulama Islam Habib Husein Al Kadrie Ibunya seorang putri kerajaan Matan Nyai Tua, istrinya Syarif Abdurrahman seorang putri kerajaan Mempawah. Ia seorang yang mendapat pelajaran dan pendidikan agama Islam dari ayahnya. Ia juga seorang pedagang yang di waktu mudanya telah mengelilingi daerah Tambelan, Siantan, Siak dan Riau, Palembang, Banjar dan pasir di Kalimantan Timur. Ia telah berhubungan dagang dengan pedagang Indonesia, Arab, India, Inggris, Belanda, Perancis dan Cina. Dari pengalamannya ini Ia berhasil membangun Armada dagang yang diperkuat dengan Belanda.

Jejak wilayah Kesultanan Pontianak sekarang terdapat Kampung Bugis, Melayu, Tembelan Sampit, Banjar, Bali, Bangka-Belitung, Kuantan, Kemboja, Basir, Siagon, Arab, Tanjung, Kapur, Parit Mayor, dan sebagainya. Berdasarkan nama-nama Kampung tersebut dapat diketahui bahwa meningkatnya jumlah penduduk Pontianak, khususnya golongan peribumi, China, Eropah, dan bangsa lain yang berkaitan erat dengan perkembangan kegiatan pertanian, ekonomi, dan perdagangan. Para pendatang yang menetap di Pontianak secara bertahap dapat menarik penduduk yang ada di daerah asal untuk pindah ke tempat pemukiman yang baru. Semakin banyaknya para pendatang yang membuka perkampungan baru yang berorientasi pada asal daerah dan bangsa, menciptakan heterogenitas etnis yang merupakan salah satu ciri utama komposisi penduduk pontianak. Di daerah Kalimantan Barat pada masa itu telah terjadi urbanisasi dari daerah sekitarnya. Dengan demikian, pontianak menarik penduduk daerah Penghuluan untuk melakukan urbanisasi. Kaum urbanisasi terdiri atas orang Melayu yang pada umumnya berasal daripada mempawah dan Sambas, dan orang Cina yang bermata pencaharian sebagai pedagang.

Suku Dayak yang merupakan penduduk asli daerah tersebut justru kurang tertarik untuk berurbanisasi ke pontianak, padahal suku bangsa lain dari luar Kalimantan Barat secara terus-menerus bermigrasi ke Pontianak. Jumlah orang Dayak yang menetap di Pontianak realitif lebih kecil dibandingkan dengan Suku bangsa lain. Hal ini disebabkan orang Dayak selalu mengikut sesuatu filsafat bagi hidupnya. Menurut pandangan mereka bahwa hakikat hidupnya adalah sebahagian petani padi. Pekerjaan sebagai Petani dipandang paling mulia karena merupakan rahmat bagi kehidupannya. Oleh karena itu menjadi Petani tentu saja tidak dapat menetap di Pontianak karena tidak tersedianya lahan pertanian yang cukup, apa lagi jika harus menganut sistem perladangan berpindah, mereka bermukim dan membuat Perkebunan di sekitar Sungai Ambawang seperti Kuala Ambawang, Pancaroba, Pugok, Retok, Lingga, dan sebagainya.

Kemudian di luar Istana Kesultanan Pontianak terdekat bermukin para kerabat istana, sedangkan di luar pemukiman kaum kerabat istana terdapat keluarga para hulubalang atau pembantu kesultanan, dan ini terdiri atas orang Bugis dan Keturunan Arab. Kaum kerabat Istana dan hulu-balang tinggal di Kampung Dalam Bugis, Kampung Arab, dan Kampung Banjar. Di luar pemukiman para hulubalang adalah Kampung Tambelan. Nama ini sesuai dengan asal Panglima Abdul Rani, salah seorang utusan dari Kerajaan Riau yang ingin menyerang Kesultanan Pontianak, tetapi dapat dikalahkan oleh sultan. Atas kebijakan sultan, ia diberi izin untuk membuka kampung tersebut.

Wilayah sebelah Utara Sungai Kapuas dikembangkan orang-orang Cina pada tahun 1772 oleh Lo Fong bersama dengan seratus orang pengikutnya yang berimigrasi dari Provinsi Kanton dan mendarat di Kampung Siantan. Walaupun Lo Fong kemudian meninggalkan Pontianak menuju daerah Mandor. Ia membuka pemukiman baru dengan mendirikan kongsi, tetapi pengaruhnya telah tertanam dan menjadi anutan bagi Cina yang bermukim di Pontianak. Dapat dikatakan bahwa Lo Fong merupakan perintis pemukiman orang Cina di Pontianak. Hal ini kemudian menjadi dasar kebijakan sultan untuk menentukan wilayah pemukiman orang Cina di Pontianak, yaitu di sebelah utara Istana saat ini itulah Siatan. Sultan juga menetapkan kebijakan bahwa orang Dayak diberi kebebasan mendirikan daerah pemukiman di sebelah utara Istana, yang letaknya di daerah sepanjang Sungai Ambawang. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa daerah tersebut masih memungkinkan bagi orang Dayak untuk mengembangkan sistem pertanian lading gilir balik, semacam tradisi bertani orang Dayak.

Perkembangan pemukiman dimulai dengan adanya pengakuan pemerintah Kompeni Hindia Belanda pada tahun 1773, kemudian pada tanggal 5 Juli 1779 Sultan Pontianak telah mengadakan perjanjian dengan VOC yang bertujuan untuk mengatur dan mempertahankan negeri ini secara bersama-sama, dan kemudian diberi tempat oleh Sultan Pontianak membangun perkantoran dan pemukiman di seberang selatan Sungai Kapuas.

Pemberian ini dikenal dengan nama Tanah Seribu atau Verken-depaal yang meliputi areal seluas seribu kali seribu meter persegi. Daerah ini meru-pakan inti perkembangan daerah administrasi kota yang kemudian menarik orang-orang Cina untuk menetap dan mengembangkannya sebagai daerah perdagangan (sekarang menjadi kawasan Jalan Gajah Mada) karena telah terbukanya pusat pemukiman dan perkantoran gubernemen yang merupakan awal dari perluasan kekuasaan Kolonial Belanda di daerah ini.

Sejak didirikannya pusat pemerintahan di bagian selatan Sungai Kapuas (sekarang Kantor Walikota Pontianak) dan di dekatnya didirikan pula benteng kecil pertahanan yang dinamakan Fort Du Bus (sekarang kawasan perdagangan dan pertokoan Nusa Indah), orang Eropa dan pejabat pemerintahan Belanda menetap di kawasan tersebut dan di depannya dibangun sebuah pelabuhan

Sungai Kapuas. Wilayah pemukiman orang Eropa, terutama Belanda.
Berdasarkan paparan diatas memberikan gambaran, bahwa wilayah Kesultanan Pontianak sangat multi etnis, oleh keberadaan Kesultanan Pontianak pada awalnya mengayomi semua etnis itulah khasanah budaya dan persaudaraan antar etnis yang perlu di jaga marwahnya masing masing sebagai keunikan dan egaliter penduduk Pontianak sampai saat ini.

Kapan Syarif Abduraman Alkadrie dilantik Sultan, dalam catatan sejarah Haji Muda dari Riau sebagai sahabat yang telah banyak membantunya. Raja Muda Riau, Raja haji, berperan banyak dalam mempersiapkan Syarif Abdurrahman menjadi Sultan Pontianak. Karena itu sudah dikenal oleh para Sultan dan Panembahan di Kalimantan Barat, Maka Raja Haji berkirim surat mengundang para penembahan landak, Mempawah, Kubu, dan Sultan Matan serta Sukadana dan Sambas untuk datang berkumpul di Pontianak. Kedatangan mereka dipersiapkan untuk menyaksikan pengangkatan Syarif Abdurrahman menjadi Sultan Pontianak.

Yang Mulia Tuan Muda Riau Raja Haji adalah putra dari Opu Daeng celak dari perkawinannya dengan Tengku Mandah, adik Sultan Sulaiman di Riau, raja kerajaan Mempawah. Syarif Abdurrahman dan menantu dari Opu Daeng Menambon. Inilah hubungan kekeluargaan yang mengukuhkan Raja Haji dari Riau bertindak jadi tuan rumah dalam mengangkat Syarif Abdurrahman menjadi Sultan Pontianak. Pada hari Senin 8 Syakban 1192 H, dalam perjamuan keramaian yang dihadiri oleh para Sultan dan penambahan dari Matan, Sukadana, Simpang, landak, Mempawah dan Sambas, Raja Haji meresmikan dan menobatkan Pangeran Syarif Abdurrahman Nur alam menjadi Sultan Pontianak. Di hadapan para hadirin, dengan suara keras Raja Haji berkata: “Adapun kami memberi tahu kepada sekaliannya bangsa di negeri Pontianak ini, kita telah angkat berpangkat nama Paduka Sri Sultan Syarif Abdurrahman Bin almarhum Al Habib Husein Al Kadri, menjadi Sultan di atas tahta kesultanan di dalam negeri Pontianak, demikian juga adanya”.

Written by teraju.id

Arwana Festival Nadi Khatulistiwa

Arwana, Band Spesialis Krisis?

mh

MAHASISWA MAGISTER HUKUM 2020 PEDULI PENCEGAHAN COVID 19 KEGIATAN HUT PONTIANAK 249 DIRUMAH ADAT MELAYU