in

Perayaan Setelah Kematian dalam Dialek Sambas

sakaratul maut 20170814 203031 175x98 1

Oleh: Juharis*

Setiap yang bernyawa pasti akan menjumpai ajalnya, kematian dipahami sebagai proses berpisah antara ruh dan jasad. Saat menghadapi kematian tak seorangpun di muka bumi ini mengetahui kapan tepatnya ajal menjemput bahkan makhluk termulia sekalipun, karena ini merupakan rahasia Tuhan. Andaipun ada yang tahu persis kapan kematiannya, pastilah ia akan mempersiapkan bekal diri untuk dunianya dan untuk kematiannya. Perkara misterius ini tidak mengenal kapan, dimana dan berapa. Baik tua, muda bahkan anak-anak bisa saja segera menghadapi kematian.

Kepercayaan yang membudaya setelah kematian sangat beragam sesuai keadaan setempat. Masyarakat Papua ketika salah satu keluarganya meninggal, tradisi mereka adalah dengan memotong jari. Sementara masyarakat Sambas Kalimantan Barat dengan mayoritas muslim melakukan semacam ibadah setelah kematian sanak keluarga mereka. Sebagaimana judul diatas masyarakat Sambas setelah ditinggal salah satu keluarganya karena kematian biasanya menyelenggarakan perayaan setelah kematian. Tradisi masyarakat Sambas ini turun temurun dilaksanakan walaupun sebagian sudah mulai meninggalkan karena beberapa alasan agamis.

Barangkali aneh ketika ungkapan perayaan disandingkan dengan kematian. Pasalnya perayaan identik dengan kegembiraan dan pesta suka ria, sementara kematian mengindikasikan pada kesedihan, berkabung atau berduka cita karena ditinggal selamanya. Menurut hemat penulis, disebut sebagai perayaan disini bukan berarti keadaan bergembira atas kematian seseorang. Namun perayaan ini menunjukkan adanya sebuah prosesi yang di dalamnya terdapat ritual ibadah serta disajikannya makanan untuk warga setempat yang di undang.

Istilah perayaan setelah kematian dalam dialek Sambas disebut Miare. Menurut Sunandar pada penelitiannya “Tradisi Miare dalam Masyarakat Melayu Sambas” dalam buku Seni, Budaya & Sejarah Pejuang Sambas” menyebutkan bahwa miare adalah sebutan dalam bahasa Melayu Sambas yang berarti memelihara arwah seseorang yang telah meninggal dunia. Bentuk pemeliharaan ini dilakukan dengan sedekah walaupun hanya selembar daun sirih. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan siksa kubur orang yang sudah meninggal dengan perhitungan hari.

Kesimpulannya menurut Sunandar, bahwa miare adalah upacara pengiriman doa dan mengeluarkan sedekah untuk orang yang telah meninggal, dalam hal ini dilakukan oleh ahli waris almarhum dengan dilaksanakan berdasarkan hitungan hari yang telah ditentukan. Bagi keluarga yang melaksanakan, ini menjadi tanggung jawab dan merupakan bentuk penghormatan serta kasih sayang terhadap almarhum sekaligus ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Masih pada sumber yang sama, perhitungan hari yang diisi dengan ritual ibadah adalah 1-7 hari setelah penguburan jenazah, kemudian dilanjuti dengan hari ke 15, 25, 40, 100 dan 1000. Untuk hari 1-7 masyarakat sekitar membaca Alquran dengan cetakan 30 jilid, perjilidnya berisi 1 juz Alquran. Selain itu, yang menarik adalah dalam setiap hitungan hari tersebut disajikan kue dan makanan lengkap, beberapa diantaranya memiliki filosofi tersendiri.

Diantaranya Sari Muke, disajikan pada malam ke-2 bermakna melukiskan wajah simayit yang masih berseri-seri. Nasi Lengkap pada malam ke-3 dengan tiga jenis lauk dan juga malam ke-7. Kelapon disajikan pada malam ke-4 dimaknai dengan mata mayit yang mulai bengkak. Ukal Inti atau Dokok-dokok disajikan pada malam ke-5 yang mengibaratkan kain kafan dan bantal mayit, kemudian ditambah dengan Pasung yang berarti telinga mayit. Turak makanan ini diibaratkan dengan lengan mayit dan ikatannya pada kain kafan, jumlah kue biasanya enam macam dengan menyertakan kue pada malam sebelumnya. Serabi disajikan pada malam ke-15 yang dimaknai kondisi tubuh mayit mulai membengkak. Malam ke-25 disajikan kue Apam yang menggambarkan kondisi daging mayit semakin membengkak. Sementara malam ke-40 disajikan kue Cincin berbentuk rantai yang mengibaratkan tubuh mayit sudah dimakan cacing. Sedangkan malam ke-100 disuguhkan kue Buah Ulu yang melukiskan bahwa daging mayit hancur dimakan ulat dan cacing. Untuk hari yang ke-1000 biasanya masyarakat melayu Sambas menamainya dengan Hol atau dalam bahasa Indonesianya Haul. Adapun haul ini sebagian saja yang masih melakukan.

Terlepas dari hukum syariat Islam yang mendasarinya penulis hanya bermaksud mengulas filosofi yang terdapat di dalamnya. Hal ini juga merupakan refleksi penulis sebagai masyarakat melayu Sambas sendiri dalam memahami tradisi daerahnya, karena bagi sebagian kalangan agamis perayaan ini termasuk ritual ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan Sahabat sebagaimana yang pernah diketahui dan dipelajari oleh penulis.(*PSDM Ikatan Mahasiswa Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas)

Written by teraju

WhatsApp Image 2018 03 20 at 07.36.34

Pesan Pak Kades

WhatsApp Image 2018 03 20 at 09.42.09

SMPN 9 Dabong, Menulis untuk Masa Depan