in ,

Ahok dan Budaya Komunikasi

komunikasi ahok

Oleh: Ibrahim, MS

Ahok, boleh dibilang selebritis politik masa kini. Bagaimana tidak, sosok orang yang satu ini selalu menjadi trending topic dalam banyak media. Lebih-lebih menjelang pilkada DKI Jakarta yang melibatkan banyak tokoh besar di belakangnya. Tak heran jika banyak orang melihat Pilkada DKI bak Pilpres. Dan, Ahok adalah salah satu daya tarik dalam semua tema besar politik tanah air hari ini.

Mengapa Ahok begitu menarik perhatian banyak orang. setiap kali bicara pemimpin DKI, ada Ahok. Ketika bicara calon gubernur DKI, juga ada Ahok. Bicara kepala daerah yang tegas, juga ada Ahok di sana. Bicara pembenahan ibu Kota dan segala program penataannya hingga penggusuran, Ahok lah figurnya. Dan yang terakhir, kemarahan umat atas nama “penistaan agama”, juga Ahok lah yang menjadi sasarannya.

Siapa Ahok? Bagaimana Ahok? Dan, mengapa Ahok? Ahok adalah seorang warga negara biasa, sama seperti warna negara Indonesia lainnya. Ia memiliki hak hidup yang sama di negeri ini, sebagaimana hak Politik yang mengantar Ahok sebagai Gubernur DKI saat ini. Sebagai seorang gubernur, Ahok memiliki cara tersendiri dalam memimpin Kota Jakarta. Pada sebagian orang, gaya kepemimpinan Ahok dipandang sebagai arogan dan sombong. Ahok memang sosok pemimpin yang tegas, memiliki kepribadian yang lugas, apa adanya, dan ceplas ceplos.

Sosok dan gaya kepemimpinan Ahok yang demikian, memunculkan dua kubu besar; pendukung dan penantang Ahok. Bagi kelompok pertama, sosok Ahok yang dianggap bersih, dengan gaya kepimpinannya yang tegas menjadi kekuatan untuk pendukungnya. Sebaliknya bagi kelompok kedua, Ahok adalah sosok yang tak mengenal kompromi, gaya kepemimpinan yang terkesan arogan dan sombong menjadi dasar penolakan sikap terhadap Ahok.

Singkatnya, seringkali Ahok dinilai sebagai pribadi yang tidak baik, kasar, tidak beretika dan arogan. Pribadi yang yang sombong, yang tidak mengedepankan adat-adat ketimuran dan kesopanan dalam berkomunikasi. Seorang pemimpin yang sering marah-marah di depan publik, kritis dan sebagainya, layaknya seorang superbody.

Mengapa Ahok selalu menjadi selebritas politik tanah air? Setidaknya ada empat hal yang penting kita pahami.

Pertama, Ahok memang seorang individu yang menganut gaya komunikasi yang unik untuk budaya masyarakat timur seperti Indonesia. Ahok adalah tipe Low Context Culture (LCC), satu budaya komunikasi yang cendrung ceplas ceplos, terbuka, to the point, tegas, lugas, dan tak neko-neko. Orang dengan budaya LCC ini lebih mementingkan pesan dibandingkan proses. Asalkan pesan tersampaikan, tak masalah jika harus menyinggung perasaan. Karena itu, bagi budaya LCC, pesan itu harus disampaikan secara lugas, tegas dan jelas (eksplisit). Dari sisi kebenaran pesan, orang LCC bisa lebih terpercaya dan jujur dalam menyampaikan pesannya.

Kedua, kebanyakan masyarakat timur, terutama Indonesia justru menganut budaya komunikasi sebaliknya, High Context Culture (HCC). Budaya komunikasi HCC lebih mengedepankan kesantunan, kelemah-lembutan, sopan, dengan bahasa yang halus dan tidak menyakitkan perasaan. Dan demi semua itu terkadang harus sedikit menyembunyikan pesan, tidak berterus terang, memerlukan banyak basa basi, bahkan kurang jelas maksudnya. Orang dengan budaya HCC ini lebih mementingkan proses komunikasi yang sejuk, nyaman, menjaga perasaan dibandingkan kejelasan pesan. Artinya, demi menjaga perasaan, orang dari budaya HCC lebih memilih berbohong dibandingkan berterus terang dan menyinggung perasaan. Karena itu, bagi budaya HCC, menjaga perasaan dan etika hubungan jauh lebih penting dari pesan yang disampaikan. Dari sisi proses, orang HCC lebih menghargai perasaan orang lain dalam berkomunikasi.

Ketiga, kedua budaya komunikasi (LCC dan HCC) memang memiliki karakter dan tipe yang sangat berbeda, bahkan bertolak belakang. Karena itu, antara keduanya cendrung untuk saling bertentangan. Artinya, orang yang datang dari budaya komunikasi yang saling berbeda punya kecendrungan untuk konflik, sebagaimana gaya komunikasi Ahok (yang LCC) dengan kebanyakan masyarakat Indonesia (yang HCC). Namun bagi sebagian yang memiliki kecendrungan budaya komunikasi yang sama (sama-sama LCC atau HCC), justru akan saling mendukung satu sama lain. Dari sinilah kita melihat adanya pendukung Ahok yang memiliki kecendrungan budaya komunikasi yang sama (LCC). Sebaliknya, para penentangnya adalah mereka yang cendrung lebih HCC.

Keempat, adakah salah satu dari kedua budaya komunikasi itu lebih baik dari yang lain? Tentu saja tidak. LCC dan HCC punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. LCC dan HCC harus dipahami dengan baik sebagai satu gaya dalam berkomunikasi. Kita memerlukan individu (apalagi pemimpin) yang LCC (tegas, lugas, jujur, tidak neko-neko, terbuka dan pemberani). Sebaliknya kita juga perlu individu (apalagi pemimpin) yang HCC (santun, beretika, lemah lembut, mengayomi, memahami perasaan). Karena itu, marilah untuk kita saling memahami, terutama gaya kepemimpinan dan budaya komunikasinya. Janganlah kita terjebak dalam situasi saling hujat, saling mencaci maki, dan saling membenci hanya karena ketidak-pahaman kita akan budaya komunikasi masing-masing. Sebab, kenyataannya kedua budaya komunikasi ini mungkin saja ada pada setiap kita. Hanya saja, ada salah satu yang lebih dominan dalam prilaku komunikasi kita, HCC atau LCC. Wallahu a`lam. (Penulis: Pencinta Kajian Komunikasi Antarbudaya Mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak Kalimantan Barat, Indonesia)

Written by teraju

IMG 20161018 075020 303

Air Pauh, Salah Satu Pesona Alam Sukadana

IMG 20161018 105102 268

Masjid Oesman Al-Khair Ikon Wisata Religi Kayong Utara