in

In Memoriam Hamka Siregar

Hamka Siregar

Oleh: Nur Iskandar

Hamka punya semangat dan spirit luar biasa sejak muda. Ia lama hijrah di Yogyakarta. Aksen Medan tetap cetar membahana badai.

Saya jumpa pertama di HMI Cabang Pontianak. Ia kasih materi tentang jihad. Tentang politik. Tentang semangat akademik. Tentang nilai identitas kader. Ia bandingkan HMI Cabang Pontianak dengan Yogyakarta. Dengan PB HMI. Dengan sederet tokoh menteri dan pemikir Islam seperti Cak Nur, hingga Lafran Pane.

Kami yang baru masuk HMI terkesima dengan hebatnya HMI yang ijo royo royo. Dengan politik negara hingga politik kampus.

Sewaktu ikut latihan kader di HMI tahun 1992, kami inap di HMI Cabang, Jalan KH Wahid Hasyim No 229A. Ada warung Mak Kundil di depannya. Kini Mak Kundil hijrah ke belakang SPBU Kobar. Juga jadi Dangau dan Galaherang serta bermutasi ke Deal Cafe.

Saat bangun tahajud dan shalat subuh, Hamka dengan penampilan tambun jadi imam. Ia bawa ayat tentang Quran yang istimewa. Bahwa gunung pun tak sanggup menerima wasiat sebagai Khalifah fil Ardhi. Ayat QS Al Hasyr. Ayat favorit saya.

Hamka dengan ayat pilihannya mau mengatakan, pelajari Quran. Hayati. Amalkan.

Dia berkoalisi dengan Zumri Bestado Sjamsyuar dalam “mengapi-api” semangat dan idealisme aktivis kampus. Termasuk saya. Tapi saya tidak lebur dengan politik kampus dan negara. Saya berkhidmat di lembaga pers mahasiswa Islam, pers kampus Mimbar Untan dan liniear ke Volare 103 FM serta kemudian ke Jawa Pos News Network.

Kami tetap jumpa. Intens. Dalam konteks liputan dan wawancara.

Hamka selesai S2 diterima sebagai dosen di IAIN Pontianak. Politik kampus mengantarkannya jadi Rekto. Gerbong HMI diboyong serta. Ada friksi tentu saja.

Hamka dan saya tetap berkomunikasi. Dalam konteks media massa. Banyak warna baru akademis dia bawa ke IAIN. Termasuk pembangunan fisik. Ia meneruskan Prof Dr Haitami Salim yang juga figur akademik hebat di IAIN. Sosok yang lebih dahulu kembali ke haribaan-Nya.

Hamka dulu bersepeda dari Jl Paris 1 tempatnya kontrak rumah. Karir yang moncer mengubah semuanya. Ia terjerat kasus meubeleir. Sepanjang beberapa tahun terkatung katung antara benar dan salah. Beberapa kawannya lebih dahulu masuk bui. Salah satunya, gerbong HMI, Abah: Abdul Hadi.

Tak jelas salah dan benar. Mereka para ustadz. Para kyai. Setahu saya ini resiko jadi pejabat. Saking baiknya, bisa jatuh ke bui, seperti halnya Walikota Dr H Buchary A Rachman.

Benar tidaknya kasus yang bikin stress, ada pengadilan Tuhan di alam masyar. Amal baik dan buruk ditimbang secara adil oleh Allah SWT.

Saya menyaksikan Bang Hamka orang baik. Dia guru yang penuh semangat. Namun pesannya yang menarik adalah: Jangan berebut jabatan tinggi. Begitu jatuh, sakit.

Begitulah sejarah anak cucu Adam. Begitulah politik yang sesungguhnya tidak pernah ada habis-habisnya.

Kita yang masih hidup, belajar dari sejarah. Spirit dan semangat tetap. Ambisi dan politik kekuasaan hati-hati.

Atas berpulangnya ke Rahmatullah, alfatihah buat Bang Hamka. “

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

chandra kirana

“Nilai & Harga”

IMG 20200906 WA0022

TCM Segera Luncurkan Buku