in

Lambang Negara Karya Sultan Hamid (Juara I) dan Muhammad Yamin (Juara II)

lambang negara di istana negara

Oleh: Nur Iskandar

Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang secara resmi lahir pada tanggal 11 Februari 1950. Berarti sejak 1945–sampai 1950–selama lima tahun merdeka, Indonesia tidak mempunyai lambang negara. Sultan Hamid dalam kancah nasional dikenal sebagai Sultan berpendidikan Militer berpangkat Mayor Jenderal yang diplomat negarawan. Ia berjumpa pertama kali dengan Ir Soekarno dan Dr HC Drs Moh Hatta di Muntok saat pimpinan nasional itu diasingkan Belanda akibat agresi militer 1 dan 2.

Perkenalan antara tokoh nasional ini sangatlah mesra. Di mana saat keluar mobil kunjungan kerjanya, Hamid disalami Soekarno sebagai jabat erat salam perdana. Terdapat jamuan makan ala saprahan di atas meja dengan table manner bertuliskan Kalimantan Barat pada dinding utama. Sampailah time line sejarah Indonesia ke meja perundingan di Den Haag, Belanda dengan hasil yang sangat memuaskan. Indonesia diakui kedaulatannya disusul negara-negara asing lainnya. Sultan Hamid satu dari 3 tokoh yang bertanda-tangan, yakni Hamid (BFO), Hatta (RI) dan Belanda. Kesepakatan KMB disaksikan PBB.

Setelah Bung Karno memberikan disposisi pada lambang negara karya Sultan Hamid pada 20 Februari 1950 disusul penetapannya dengan PP No. 66 Tahun 1951 diundangkan oleh Menteri Kehakiman M Nasroen dalam Lembaran Negara No. 111 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No. 176 Tahun 1951. Sejak saat itu, secara yuridis formal gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II seperti terlampir dalam PP No. 66 Tahun 1951 telah resmi menjadi lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Bulan madu Republi Indonesia Serikat hanya 1949-1950–dimana menurut hukum pembubaran RIS adalah tidak konstitusional, yakni semestinya lewat Pemilu atau referendum).

lambang negara

PP No. 66 tahun 1951 secara yuridis formal Garuda Pancasila resmi menjadi lambang NKRI yang diundangkan oleh Menteri Kehakiman, M. Nasroen. (Desi Permatasari, Kamis, 20 Agustus 2020 07:45:50 WIB–KOMPASIANA).

Sebelumnya Menteri Penerangan Kabinet RIS menyelenggarakan lomba lencana negara. Banyak seniman dan tokoh nasional mengikuti lomba tersebut, namun juara 1 istilah kita sekarang adalah karya Sultan Hamid dan runner-up adalah karya Muhammad Yamin. Karya Sultan Hamid menggambarkan 17/8/1945, sementara gambar lambang negara karya Muhammad Yamin adalah bulan purnama dengan dua pohon kelapa di kiri dan kanannya serta ada tulisan 1949. Apa maksud 1949 itu? Yakni pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Dari sisi makna lambang negara justru Muhammad Yamin sangat federalis, sementara Hamid sangat unitaris. Sejarah memang kadang dibolak-balikkan untuk kepentingan politik sesaat. Di mana justifikasi Hamid dipenjarakan justru karena pertimbangan Hamid itu sangat federalis.

Terkait dengan upaya Pemprov Kalbar mengajukan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional (Muhammad Yamin sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional) sejak tahun 2016, Kementerian Sosial melalui TP2GP lupa akan jasa Sultan Hamid II yang secara de facto dan de jure telah diakui negara melalui Peraturan Pemerintah tahun 1951 tersebut di atas, padahal kita ketahui pada 1950 Sultan Hamid II ditangkap dengan tuduhan terlibat Peristiwa Westerling di Bandung, 23 Januari 1950. Pada tahun 1951 Hamid masih ditahan dan belum diadili, namun karyanya diakui negara sebagai Lambang Negara yang disebarluaskan ke jagad raya Indonesia.

Tuduhan terlibat Peristiwa Westerling pun kemudian tidak terbukti di meja hijau, sesuai putusan MA, 1953. Namun grasi yang diajukan Sultan Hamid atas anjuran Moh Hatta ditolak Presiden Soekarno. Adapun Muhammad Yamin yang juga makar kepada negara grasinya diterima Soekarno sehingga lolos sebagai pahlawan nasional menurut UU Gelar Kepahlawanan. Hamid dihukum 10 tahun penjara tanpa satu kesalahan pun–terutama pasal karet tuduhan pidana. Kemensos dan TP2GP berkutat di sini, sementara administrasi bersifat kaku alias kaca mata kuda. Kemensos dan TP2GP lebih suka melihat anak bangsa tumbuh dengan luka sejarah di mana lambang negara dihormati namun buah karya pengkhianat negara yang tak mau disentuh dengan rehabilitasi nama baiknya. Rehabilitasi nama baik itu ada di kewenangan Presiden RI siapa pun dia orangnya.

lambang negara

Peraturan Pemerintah itu berada di bawah kewenangan Presiden, jika Presiden Soekarno mau ketika itu, pada 1951 tentulah dia berwenang mengganti lambang negara karya sang juara 1, dan menaikkan lambang negara sang runner up Muhammad Yamin. Namun tentu Soekarno tidak mau, sebab memang Lambang Negara karya Muhammad Yamin kurang sreg untuk dipandang dan miskin makna filosofis hingga arsitekturis. Sementara karya Sultan Hamid pada notice disposisinya jelas dia akui sangat elok dan memperkuat negara.

Daripada memakan buah simalakama, di mana di makan mati ayah tidak dimakan mati ibu, sebaiknya dilakukan rekonsiliasi sejarah oleh multi-stakeholder. Mikul dhuwur mendhem jero. Kenang baiknya, buang keburukannya. Sebab tidak ada manusia yang sempurna. Tetapkanlah Sultan Hamid II Pahlawan Nasional atas jasanya mewariskan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila. Sehingga kita tidak lagi terluka dalam sejarah bahwa lambang negara kita adalah buah karya pengkhianat negara melainkan benar-benar Mayor Jenderal Nasionalis-Republiken-Negarawan Diplomat. Ia memang pantas dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. * Foto 1. Lambang Negara di Istana Negara sedang dicat ulang oleh pekerja (Repro dari Kompasiana). Foto 2 Lambang Negara Karya Sultan Hamid II yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tahun 1951. Foto 3: Juara Kedua Lambang Negara Indonesia karya Muhammad Yamin.

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

bukan 350 tahun dijajah

Bukti Ilmiah Indonesia Tidak Dijajah Belanda 350 Tahun–Itu Mitos!

Gapura Istana Kesultanan Qadriyah ke arah Mesjid Jami' Sultan Abdurrahman

Kisah Wan Ahmad Jawi–Ayahanda Prof Syarif Ibrahim Alqadrie–Ilmuan–Korban Jepang