in , ,

Medsos vs Ideologi Radikal Teroris di Kalbar: Studi Kasus Nurul Hadi

IMG 20171130 073406 748
Kegiatan diseminasi media dalam liputan terorisme bersama BNPT-FKPT Kalbar di Hotel Kapuas Palace tahun 2016. Pembicara utama saat itu adalah Ansyaad Mbai mantan Ketua BNPT dan anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi.

Oleh: Nur Iskandar

Seiring dengan kemajuan sain dan teknologi, pola komunikasi warga dunia saat ini semakin cepat dan nyaris tak berjarak. Hanya sekali klik, berita tersebar luas.

Berbeda dengan satu dasawarsa “tempo doeloe”. Berita mengandalkan koran dan majalah yang terbitnya mingguan atau harian. Sudah paling maju dengan berita radio serta TV yang bisa up-date per jam. Namun sejak internet menyeruak ke permukaan, melalui aplikasi android, semua tak berjeda. Segala info bisa dipancar-teruskan dari satu daerah ke daerah lainnya, dari satu negara ke negara lainnya. Apakah itu teks, foto, maupun vidio. Perubahan sosial pun terjadi signifikan di seluruh penjuru dunia. Segala sesuatu yang konvensional beralih ke visual-digital.

Data Digital Indonesia yang dilansir pada Januari 2016 mengungkapkan bahwa pengguna internet aktif terdata sebanyak 88,1 juta dari 259,1 juta jiwa penduduk (tingkat urban 55 persen). Adapun pengguna aktif media sosial (medsos) seperti aplikasi FaceBook, WhatsApp, Instagram dll sebesar 79 juta orang. Sebuah angka yang sangat besar untuk perubahan-perubahan mendasar secara sosial.

Keterangan Resmi Polri tentang Penangkapan Nurul Hadi

Sejak Nurul Hadi, warga Kalbar ditangkap Densus 88 pada hari Senin, 27/11/17 sekitar pukul 11.00, titik terang pemeriksaan disampaikan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto dan dimuat portal berita nasional.
Ada beberapa poin penting telah berhasil dikuak. Pertama, bahwa Nurul Hadi yang lahir di Sekuduk, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas 36 tahun lalu memang berniat ke Marawi. Dia ingin berjihad. Marawi sendiri adalah daerah di Filipina Selatan yang bergolak karena berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).

Kedua, soal dugaan Nurul Hadi atau Nurhadi terkait jaringan ISIS, masih didalami Densus 88. Mabes Polri belum bisa memastikan apakah yang bersangkutan hanya anggota atau pendukung ISIS. Untuk itu, Nurul Hadi diboyong Densus 88 ke Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok untuk pemeriksaan lanjutan. Gejet yang dimiliki Nurul Hadi disita. Rekam medsos dan pembicaraannya dijadikan bahan kajian. Tujuh hari masa pemeriksaan buat Nurul Hadi sejak dia ditangkap untuk sebuah kesimpulan status dirinya: bebas atau menjadi tersangka.

Ketiga, Mabes Polri mengungkapkan Nurul Hadi terpengaruh paham radikal lewat media sosial. Di mana di dunia maya dia bertemu dengan warga negara Malaysia dan Filipina. Pertemuan itu membuatnya mengukuhkan niat ke Marawi, Filipina Selatan, untuk bergabung dengan ISIS.

“Yang bersangkutan hanya belajar otodidak melalui media sosial,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul seperti dikutip detikcom Selasa (28/11/2017). Martinus mengatakan penjajakan terhadap Nurul Hadi telah dilakukan dan hasilnya tak ada bukti kaitan yang bersangkutan dengan jaringan teroris di Tanah Air. Nurul Hadi menyisihkan uang gajinya untuk biaya pergi ke Marawi.

Ideologi Radikal

Ideologi radikal adalah cara pandang yang radikal. Radikal sendiri berasal dari bahasa latin radix yang berarti akar. Berpikir radikal berarti berpikir sampai ke akar-akarnya. Pengertian ini normatif dan cenderung positif. Berpikir radikal menjadi negatif ketika hasil pikiran yang mencapai akar masalah itu dianggap sempurna dan dipaksakan untuk diterapkan pada lingkungan. Cara kekerasan atau anarkistik inilah yang negatif.

Ujung dari penggunaan cara kekerasan adalah teror/terorisme. Teror/terorisme adalah paham yang membenarkan penggunaan cara-cara kekerasan, menimbulkan ketakutan, pembunuhan, pembakaran, pembajakan, pengrusakan secara serius kepada kelompok yang tidak sepaham dengannya. Trend mengeliminasi kelompok yang tidak sepaham dengan diri ini menjadi early warning system (sistem peringatan dini) bagi pegiat media, termasuk media sosial di Kalbar. Apalagi Kalbar merupakan provinsi yang secara laten terancam konflik anarkistik berlatar etnik. Kini kecenderungan sejarah konflik berlatar etnik itu mulai merasuk ke wilayah agama. Terutama efek dari Pilgub DKI dimana face to face antara Basuki Tjahaya Purnama/Ahok (non muslim) dan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (muslim). Ketika kasus Ahok perihal kutipan Surah Almaidah menyeruak ke permukaan, maka sejak saat itulah media sosial mudah viral yang syarat agitasi dan provokasi. Dapat dibayangkan, ada 90,1 juta pengguna medsos di Indonesia.

Sisa eskalasi politik tersebut memang mengendap setelah pesta Pilgub berlalu di DKI, namun endapan itu bisa menyeruak kembali seiring pesta demokrasi seperti di Kalbar pada Pilgub 2018. Bahkan tak urung, terpilihnya Gubernur Anies dan dipenjarakannya Ahok menjadi bara yang sesuatu bisa meletupkan api konflik. Indikasinya tampak jelas dari cuitan-cuitan kelompok pendukung masing-masing yang masih sangat mudah menyebar atau viral.

Dalam perspektif kemajuan sain dan teknologi bidang informasi di mana sekali klik info dapat menyebar merata, tidak ada satu wilayah yang tidak terkoneksi dengan wilayah lainnya. Untuk itu masalah global menjadi lokal. Sebaliknya, masalah lokal juga menjadi global. Tak heran, apa yang terjadi di Jakarta, mudah masuk ke Kalbar. Apa yang terjadi di Timur Tengah, mudah masuk sampai ke desa-desa. Tidak heran, apa yang terjadi di Marawi, Filipina Selatan yang terkait ISIS menjadi perhatian sosok seperti Nurul Hadi di Kalbar. Banyak elemen dan bagian-bagian yang saling beririsan yang butuh perhatian untuk terwujudnya tatanan hidup lokal maupun global yang aman dan damai seperti yang kita semua harapkan. Sebutlah irisan sosial politik nan saling berkait itu pilihan politik, pilihan calon kepala daerah, pilihan agama, sampai pemahaman dan aplikasi jihad fi sabilillah.

BNPT-FKPT dan Penyadaran Bermedsos

Pada 12 Juli 2017 lalu, kami dari Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalbar yang bernaung di bawah payung Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI melakukan edukasi publik melalui pendekatan media.

Kami berkunjung ke dapur redaksi RRI, Pontianak Post dan Ruai-TV. Kunjungan ke media ini juga dilakukan pada tahun 2016 dengan berdialog di TVRI-SP Kalbar, Radio Dakwah Mujahidin dan Tribun Pontianak. Ikut serta bersama BNPT-FKPT: Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dari dapur redaksi dimaklumi perlunya peningkatan kinerja profesional awak media. Sebab dengan kinerja yang profesional segenap isu bisa diverifikasi menjadi faktual dan objektif. Dengan demikian masyarakat menjadi tercerahkan, tercerdaskan. Persis seperti fungsi pers yang tidak hanya menyajikan informasi, tapi juga edukasi dan kontrol sosial.

Masalah standar kerja profesional media yang di berbagai tempat atau lembaga masih lemah diwujudkan dengan pelatihan dan standardisasi profesionalisme wartawan. Dewan Pers merekomendasikan akreditasi bagi wartawan. Hanya wartawan yang terakreditasi yang sesungguhnya laik melakukan liputan karena bisa dipertanggungjawabkan.

Media konvensional yang terorganisir mempunyai kode etik dan penanggung jawab berita. Berbeda dengan media sosial. Media sosial sangat individual, di mana informasi yang dibagi bisa bersifat sangat subjektif, provokatif dan bahkan palsu atau bohong alias hoaks. Info di medsos tidak ada penanggungjawabnya kecuali yang bersangkutan. Sementara eksistensi yang bersangkutan tak satu dua yang menggunakan data palsu.

Data yang dimiliki BNPT-FKPT, dalam hal bermedia-sosial, ISIS sengaja menyebar berita hoaks. Mereka mendisain, per satu isu, bisa memunculkan 500 simpatisan baru di Indonesia.

Apakah ada korelasi antara media sosial yang digunakan Nurul Hadi dengan berita hoaks yang sengaja dicuitkan anggota atau simpatisan ISIS di Marawi? Apakah kecenderungan agitatif dan provokatif yang berasal dari ketidak-puasan atas ketidak-adilan menyisakan sosok-sok lain semacam Nurul Hadi di Kalbar?

Pertanyaan tersebut mesti kita jawab dengan membaca lingkungan di sekitar kita. Salah satu jurus pamungkas menghindari hoaks di media sosial adalah memunculkan fakta dan berita yang benar atau informasi yang benar. Informasi yang benar ini terverifikasi dan bisa dibuktikan. Termasuk kemungkinan pembohongan atas siasat elektronik, seperti cropping foto, cropping suara, dan cropping teks. Kita tidak boleh lekas percaya pada apa yang kita baca, dengar dan lihat. Kita harus cek dan ricek. Kita harus menjadi orang yang nalar dan hanya menyebar berita apabila benar-benar akurat. Tidak boleh copy-paste dan berperan memviralkan sesuatu yang agitatif, provokatif, sementara hal itu sangat subjektif.

Belajar dari kasus penangkapan Nurul Hadi, motif dan bukti sementara yang ditunjukkan Mabes Polri, kita mesti merapatkan barisan. Ekstra hati-hati dari meruyaknya paham radikal teroris dari perkembangan jagad berita yang beralih dari media konvensional ke media sosial-digital. Untuk itu aksi dari para pegiat anti-hoaks, atau masyarakat anti hoaks mesti kita dukung. Karena hanya dengan kesadaran menggunakan internet secara sehat itulah keamanan wilayah dapat kita pelihara.

Jika di media konvensional ada pelatihan, maka pengguna medsos juga butuh edukasi.

Semoga saja Nurul Hadi yang masih diperiksa di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, hanya sekedar simpatik pada ISIS dan kencenderungan berpikir radikal dan cenderung memilih jalan kekerasan di Marawi akibat pengaruh negatif medsos dapat dipulihkan. Semoga realitas penangkapan Nurul Hadi dan proses pemeriksaannya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua dalam menjaga kedamaian di Bumi Kalbar dari perspektif pengaruh bermedia sosial. (Penulis adalah Koordinator Bidang Media dan Kehumasan FKPT Kalbar)

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

IMG 20171130 052748 062

Internship at AFS Germany 18+ Program Department

IMG 20171130 073436 475

Beng dan Imam Ikuti Pelatihan “Social Entreprise” di Bali