in

Pahlawan Nasional Sultan Hamid II Alkadrie–Peradilan Ulang Secara Fair dan Adil

peristiwa sultan hamid II

Oleh: Nur Iskandar

Lama saya merenung, apa sebenarnya ruh daripada rakyat Kalbar melalui TP2GD (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah) mengusulkan agar Sultan Hamid II ditetapkan oleh Presiden sebagai pahlawan nasional. Jawabannya ini: peradilan ulang peristiwa Sultan Hamid II Alkadrie secara fair dan adil.

Pertanyaannya, apakah peradilan terhadap Sultan Hamid II tahun 1953 itu tidak adil? Ya memang tidak fair dan tidak adil.

Apa buktinya? Buktinya adalah buku. Buku yang diterbitkan oleh Persadja. Singkatan dari Persatoean Djaksa-Djaksa. Unik! Hanya untuk kasus Sultan Hamid II Alkadrie saja ada sebuah buku khusus. Tidak dengan kasus lain yang boleh disandingkan dengan Sultan Hamid seperti kasus makar Tan Malaka (Pahlawan Nasional), kasus makar Muhammad Yamin (Pahlawan Nasional), kasus makar Syafruddin hingga Muhammad Natsir dari Pemberontakan PRRI (Kedua-duanya kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional).

Sebagai jurnalis saya membaca buku istimewa ini. Tebalnya 328 halaman. Terbit pada tahun 1953 dan terbit ulang tahun 1955. Isinya meliputi 9 bagian, masing-masing kata pengantar ‘tjetakan populair’, kata pendahuluan, riwajat Sultan Hamid II, suasana sebelum peristiwa Sultan Hamid II, dinamika sidang Mahkamah Agung, tuntutan Djaksa Agung, pembelaan dari Sultan Hamid II, pembelaan dari Mr Soerjadi, dan Keputusan Mahkamah Agung. Asyik membaca isi buku ini, kita seperti ikut larut dalam suasana pada saat sidang berlangsung. Ada hakim dan jaksa serta publik yang memenuhi ruangan sidang, bahkan juga insan pers yang gelut meliput. Ini big-case secara insan pers. Dan tidak hanya tegang, tetapi juga ada gelak tawa di masa sidang. Hal ini mencairkan suasana kebatinan bahwa sesungguhnya sidang pada saat itu memang istimewa. Wajar jika melahirkan sosok pecinta demokrasi kelak bernama Prof Dr Adnan Buyung Nasution.

Saya pikir buku ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa ditolak, apapun alasannya. Pertama, saya yakin haqqul yakin, dengan pendekatan pengalaman jurnalistik saya sejak 1992 di Tabloid Mahasiswa Mimbar Universitas Tanjungpura hingga sekarang ini masih bergelut dengan dunia liputan termasuk kejaksaan dan pengadilan, bahwa lahirnya buku ini adalah ingin menghadirkan pengadilan di saat itu. Kedua, Persadja ingin menunjukkan bahwa keputusan MA saat itu adalah adil, tetapi kini setelah kita simak betul letter-luck persidangannya terasa janggal dan tidak adil. Misalnya, kenapa Mider Darder, si pelaku utama Raymond “Turk” Westerling tidak benar-benar diperjuangkan untuk duduk di kursi pesakitan? Atau mungkin itu terlalu jauh. Mundur lagi, kenapa Westerling saat itu tidak ditangkap setelah 23 Januari 1950 pemberontakan di Bandung? Bukankah dia masih berkeliaran secara bebas?

Bukankah kita melihat dengan jernih saat ini bahwa upaya penangkapan Westerling di Tanjung Priuk seperti sandiwara belaka? Bukankah militer Indonesia saat itu sudah lebih baik dan profesional di mana berjuang dengan bambu runcing saja bisa meraih kemerdekaan? Lepas dari Jepang dibom atom oleh Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki sebagai bagian akhir perang dunia?!

Oke, itu terlalu jauh, kita mundur lagi di tahun 1945-1946 ketika Westerling membantai rakyat Sulawesi Selatan yang dalam sidang MA disebut angka 40.000 padahal sejarah kekinian kemudian meralat alias mengoreksi, menyebutkan tidak sampai dengan angka 40.000 tersebut. Kenapa Westerling tidak diadili? Bukankah dia melanggar HAM berat? Bukankah saat itu Indonesia telah merdeka? Kenapa ini tidak diurus super duper serius? Mengutip data MA di persidangan menyebut angka 40.000 bukankah ini menepuk air di dulang memercik muka sorang? Kenapa Westerling si penjagal itu tidak diadili sampai peradilan Mahkamah Internasional yang hebatnya berpusat di Den Haag-Belanda pula atas nama PBB? Bukankah jika Negara serius mengurusi Westerling, lalu dia terbukti bersalah di Mahkamah Internasional–dihukum bui–atas kasus penjagalan massif di Sulsel, maka tak akan ada peristiwa Bandung, 23 Januari 1950 itu? Tidak jatuh korban Divisi Siliwangi yang 79 nyawa itu?

Tak akan Hamid jadi pesakitan itu? Saya jadi melihat bentangan sejarah bahwa Negara kurang peduli dengan arti setiap nyawa rakyatnya sendiri dan ini mohon maaf beribu maaf–bukan negara yang kita amat cintai ini yang salah–tapi oknum pengelola negara–sampai pada Pandemi Covid-19 ini. Berguguran nyawa warga Nusantara–tak dapat perlindungan sebagaimana mestinya–melulu ribut cebong-kampret, KAMI, KITA, Engkau, entah apa lagi yang hendak diributkan para elit yang ujungnya sama: perebutan kekuasaan–rakyat jelata senantiasa jadi korban. Jadi, soal Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling, Negara lebih suka mengadili “ayam sayur” yang mudah dibekuk di Hotel Des Indes, lebih mudah ditelikung dan dihabisi berhubung Hamid sedang bersinar terang di kancah politik Negara saat itu. Umurnya amat sangat muda, baru 37 tahun! Jika Republik Indonesia Serikat terus berdikari–(RIS)–tak tertutup peluang Sultan Hamid II Alkadrie yang sudah jadi “media darling” terpilih menjadi Presiden melalui Pemilu yang Jurdil. Saya dengan rangkaian panjang liputan politik tahu arah permainan catur dari bidak politik. Sudah mencium bau ke arah situ. Padahal jika pun hal itu terjadi apa salahnya? Fair. Konstitusional. Bukankah kita tetap RI? Bukankah federalis itu pilihan tata negara saja–bukan pengkhianatan pada negara–seperti idiologi komunis yang anti Tuhan–anti Pancasila? Terbukti federalis adalah pilihan untuk negara yang majemuk seperti AS, Eropa, Autralia, bahkan jiran kita Malaysia dan Singapura. Soal nasionalisme, negara-negara itu tak kurang-kurang rasa nasionalismenya. Bahkan pilihan itu terbukti mudah mewujudkan kemakmuran. Mereka makmur, lalu kita? Terus terang terseok-seok atas nama hegemoni kesatuan–lalu secara malu-malu mengadopsi federalisme dalam tata negara saat ini berupa otonomi daerah–buah reformasi 1998–UU Otonomi Daerah / Pemda. Presidensial rasa Parlementer–Bikameral. Bahkan tunjuk hidung saja bentuk federal itu ada di Yogyakarta (dedengkotnya pilihan tata-negara kesatuan), DKI Jakarta (ibukota negara), Aceh (karena meredam disintegrasi), dan Papua (juga dengan alasan meredam disintegrasi). Kenapa diadopsi? Kata ekonom Faisal Basri, ya karena federal–bahasa lepas dari intrik politiknya adalah “otonomi sepenuh hati”–lebih alamiah–lebih dekat dengan syariat Tuhan–lebih sunnatullah! Dengan demikian tuntutan Sultan Hamid sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berkesatuan mata rantai sejarah dengan sosio-kultural-historikal kerajaan yang dipimpinnya dengan yurisdiksi formalnya tidaklah salah sama sekali dibaca pada konteks federal di mana Hamid adalah anggota Kabinet RIS: Menteri Negara pada saat itu.

Dari buku Persadja kita jadi bertanya-tanya kenapa Hamid ditangkap tahun 1950, peradilannya 1953? Kenapa begitu lama? Ada apa ini? Bukankah penahanan itu karena takut yang bersangkutan melarikan diri, merusak barang bukti dan mempengaruhi saksi-saksi? Kenapa lama sekali? Bukankah pemikiran kita justru sebaliknya. Oknum negara yang merusak barang bukti dan mempengaruhi saksi? Lalu, dalam konteks kekuasaan saat itu bisa mempengaruhi dapur redaksi sehingga 3 tahun cukup membuat rakyat menjatuhkan fitnah yang sama….ini pertanyaan saya sebagai jurnalis plus ilmu komunikasi massa membaca buku Persadja. Bacaan secara hukum, 3 tahun adalah pelanggaran lain secara fair dan adil kepada sosok Sultan Hamid. Untuk ini silahkan pakar hukum bicara yang lantang jangan hanya diam (Iwan Fals).

Kembali kepada pengajuan Sultan Hamid II Alkadrie sebagai pahlawan nasional, jasanya tak terperikan. Mulai dari membesuk Soekarno-Hatta dan KH Agus Salim yang diasingkan Belanda di Muntok–Kepulauan Riau. Kemudian keluarlah Soekarno-Hatta dan KH Agus Salim dari tawanan. Jasa Sultan Hamid II itu tak direken Negara sebagai bentuk perdjoeangan nasional? Telah menyelamatkan dwi tunggal–Sang Proklamator? Masuk ke tahap Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta dan Jakarta dengan semangat federalis-unitaris yang amat sangat kekeluargaan khas Indonesia–disebut-sebut Hatta amat sangat akrabnya–tidak pula dihitung sebagai perdjoeangan nasionalisme keindonesiaan yang menyatukan? Hingga Sultan Hamid turut tanda-tangan Konferensi Meja Bundar yang menyebabkan kedaulatan Indonesia diakui. Tidak jugakah di-account-sebagai jasa Sultan Hamid untuk merebut kemerdekaan Indonesia secara diplomatik? Bergabungnya 15 negara bagian anggota BFO yang jauh lebih luas daripada Negara Republik Indonesia–coba hitung berapa kilometer tanahnya saja? Hitung tambangnya? Flora faunanya? Manusianya? DIKB saja saat bergabung–baca baik-baik luasnya 146 Km2! Lebih luas daripada Jawa gabung Bali dan Madura! Tak terhitung berapa triliun kali triliun rupiahnya, semua itu untuk nasionalisme kebangsaan Indonesia. Apakah norma pahlawan nasional hanya mereka yang gugur bersimbah darah karena berperang? Bukankah ahli sejarah Universitas Indonesia, Prof Dr J Leirissa menyebutkan BFO sebagai kekuatan ketiga antara RI dan Belanda yang diperhitungkan? Yang menyumbang tak terperikan. Tidakkah dilihat bagaimana hebatnya negarawan diplomat Sultan Hamid II dengan usia mudanya bisa menjembatani hal paling kusut dan kompleks setelah proklamasi kemerdekaan 17/8/1945–menjembatani dua hegemoni besar Indonesia dan Belanda–dan sukses besar–sebagai amal ibadahnya untuk Indonesia Merdeka dan berdaulat secara penuh? Bukalah buku sejarah. Jika saat itu KMB gagal, mengutip Hatta, entah apa jadinya Indonesia. Perang yang tak berkesudahan antara RI dan Belanda. Nusantara banjir darah dan air mata. Mungkin kerajaan-kerajaan di Nusantara juga akan tetap sebagai negara berdiri sendiri. Nusantara tak seperti kita kenal sekarang. Tidakkah dihitung sebagai jasa Hamid pula? Prof Dr Meutia Hatta dalam webinar yang diselenggarakan MPR RI tentang Hamid pahlawan atau pengkhianat negara menyebutkan hasil KMB itu “blessing in disguise” terhadap luas negara yang di dalam Perjanjian Renville maupun Linggarjati — kesepakatan resmi delegasi RI-Belanda–hanya daerah-daerah tertentu: khususnya Jawa dan Sumatera. Toh dalam dua perjanjian itu juga sudah disepakati federalisme demokrasi? Meutia pun dengan blak-blakan berkata, “Sepanjang masa hidupnya tidaklah pernah keluar dari mulutnya bahwa Sultan Hamid II itu pengkhianat negara.” Jelas dan klir ini semua. Dr HC Drs Moh Hatta adalah sosok paling jujur di pentas politik Indonesia saat itu, persis sebagaimana yang kita kenal hingga kini. Ia tidak rakus kekuasaan. Bahkan sebagai orang nomor dua di Republik, ia sedia mundur dari posisi Wapres demi memberikan kesempatan kepada Soekarno menjalankan visi-misinya secara lebih leluasa. Ada muatan protes sebenarnya dari Hatta kepada Bung Karno yang menyingkirkan tokoh-tokoh nasional yang tidak dipandang sehaluan. Salah satunya haluan federalis vs unitaris. Antara kubu persatuan dan kesatuan. Selain Hamid–sahabat Hatta–juga Soekarno memenjarakan sedemikian banyak sahabat-sahabatnya yang lain. Tetapi belakangan dengan koreksi sejarah semua dinobatkan sebagai pahlawan nasional termasuk Ide Anak Agung Gde Agung–Raja Gianyar si empunya ide awal membentuk BFO yang katanya boneka ciptaan Belanda. Toh Ide Anak Agung Gde Agung lolos sebagai pahlawan nasional, kenapa Hamid sang Ketua BFO tidak? Ini ganjal dan ganjil sekali. Kenapa Tan Malaka yang nasionalis-komunis bisa lolos sebagai pahlawan nasional? Kenapa Soekarno dengan nasakom-nya di mana komunis dilarang di Indonesia juga pahlawan nasional? Bukankah realitas logika kita hancur lebur dibuatnya–tentang pahlawan nasional ini. Bukankah pahlawan nasional lolos dari sisi positifnya? Tidakkah hasil-hasil perjuangan Hamid amat sangat positif dan kontributif?

Saya yang jurnalis membaca buku Peristiwa Sultan Hamid dengan timbangan liputan keadilan memberikan testimoni sebagai WNI yang cinta NKRI bahwa peradilan MA saat itu kepada Sultan Hamid benar-benar tidak fair dan adil. Bacalah buku terbitan Persadja ini, saya bahkan berpikiran bahwa para djaksa saat itu ingin misteri “politik” era 1950-1953 terkuak di belakang hari. Ini cara mereka untuk menghadirkan keadilan di kemudian hari. Inilah rahasianya kenapa mereka ujuk-ujuk menerbitkan buku khusus tentang Hamid yang kategori super duper lengkap. Dengan harapan suatu waktu peradilan yang tidak fair karena tendensi politik itu bisa disimak kembali kata per katanya. Sebab buku ini adalah rekaman persidangan selengkap-lengkapnya. Kekurangan isi buku ini hanya satu, yakni tidak memuat memoir grasi yang diajukan Hamid atas usulan Moh Hatta dan kemudian ditolak Soekarno. Jika saja ditampilkan, maka akan kita lihat klausul akademis yuridis dan fairness-nya. Dan untuk itu terbuka peluang lahirnya penelitian baru tentang aspek grasi yang dijatuhkan negara kepada para pelaku dengan tuduhan makar dari masa ke masa….

Saya sebagai jurnalis juga membaca latar belakang peristiwa Hamid di mana persadja memuat berita-berita koran yang eksis saat itu. Maaf beribu maaf, Hamid telah diadli media massa saat itu. Saya sebagai orang media tahu bahwa setiap dapur redaksi ada haluan politiknya. Sehingga hampir 100 persen yang ditampilkan bukannya berita fairness, tapi opini! Rrruar biasa kasus Hamid ini. Saya yakin dia orang besar yang ditenggelamkan beramai-ramai. Sehingga kredo pahlawan nasional yang diajukan tak lebih tak bukan adalah cara rakyat Kalbar meminta negara mengadili ulang lewat jalur UU Pahlawan Nasional. Di mana secara administratif paling lengkap. Kemudian peradilan itu mestinya duduk pengaju dalam hal ini Yayasan Sultan Hamid II dan TP2GD sehingga “diadili ulang” dengan tanya-jawab yang fair setelah 75 tahun Indonesia merdeka. Setelah mereka yang berseteru itu pun telah tiada–jadi tak ada kepentingan apa-apa kecuali rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Catatan untuk mahasiswa komunikasi terlebih jurnalistik meriset apakah pemberitaan media saat itu fair atau tidak ditimbang dengan news value dan fairness (acuurate–balancing report–cover both side?

Kini lewat TP2GD mengusulkan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional, Kemensos dan TP2GP diuji di peradilan terbaru untuk kasus Hamid II Alkadrie. Kemudian masuk tahap Dewan Gelar yang kini dipimpin Prof Dr Mahfud MD. Pada akhirnya sampai ke mata hati dan mata pena seorang Presiden untuk meneken Surat Keputusan Pahlawan Nasional 2020 atau 2021.

Kami merenungkan, bergeraknya dari meja ke meja untuk Sultan Hamid II Pahlawan Nasional adalah batu ujian kedewasaan Negara dengan para pengelolanya untuk mengadili ulang Sultan Hamid. setelah 75 tahun merdeka. Jika Negara dengan elitnya berterimakasih atas jasa Hamid di Muntok, Konferensi Inter Indonesia, KMB, bergabungnya setiap jengkal tanah 15 negara bagian, hingga Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila maka Negara mesti minta maaf kepada Hamid dan keluarga besarnya telah memenjarakan tanpa kesalahan. Baca lagi dengan seksama putusan MA tahun 1953 yang dimuat di buku Persadja itu. Kemudian menetapkannya sebagai pahlawan nasional. Seterusnya tidak mengurangi wibawa Negara–justru semakin tampak wibawanya–berani mengakui kesalahan masa lalunya yang keliru. Kemudian kita maju bersama “Indonesia Maju” mengatasi problematika bangsa dengan semangat Garuda Pancasila yakni 5 sila serta Bhinneka Tunggal Ika. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Serta spirit Negara 17-8-1945 yang dikembangkan sayapnya dengan indah lagi penuh wibawa maupun pesona Elang Rajawali Garuda Pancasila. *

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

banjir silat hilir

Rakyat Butuh Beras

Rumah Tahanan Madiun

Sultan Hamid Episode Tahanan Politik di Madiun