in ,

Pilgub Kalbar 2018: Lima Mantan Kepala Daerah dan Seorang Mantan Anggota DPR RI

Debat publik2

Oleh: Syarif Ibrahim Alqadrie *

Lebih 3 bulan sejak awal Januari 2018 saya berada di dalam dan luar negeri untuk beberapa kegiatan akademis dan rohani di Tanah Suci. Ada sejumlah pertanyaan dari rekan, kolega dan sahabat via tilpon dan SMS dua hari begitu saya tiba di rumah. Pertanyaan mereka: “pasangan calon (Paslon) mana dari tiga Paslon akan unggul pada pemilihan gubernur (Pilgub) tahun ini?”  Saya belum dapat menjawab.

Ketidaktahuan itu beralasan. Karena tiga Paslon itu memiliki kelebihan dan –kalaupun mau disebut—keunggulan. Sebaliknya mereka juga mengandung kekurangan dan –kalau segan menggunakan kata– kelemahan. Saya sendiri tidak akan mengungkapkan keunggulan dan kelemahan. Itu sangat peka.

Sumber dari Pihak Ketiga

Sebagian pendapat saya dalam opini ini bersumber dari hasil wawancara dengan informan. Namun, itu juga berasal dari pengamatan langsung dan tidak langsung terhadap peristiwa yang sudah dan sedang berjalan. Karena itu, data, fakta dan realitas yang melahirkan perspektif, analisis, kesimpulan, pendapat atau opini dalam tulisan ini, bukan dari saya sendiri. Itu berasal dari pihak ketiga. Saya menempatkan diri “di luar” proses PilKada. Saya tidak berada pada salah satu kelompok. Tapi, berada dimana-mana, terutama bagi kepentingan terbesar masyarakat KalBar.

Sebagai WNI, saya memiliki hak politik untuk memilih Paslon tertentu. Namun, sebagai seorang akademisi, saya harus melepaskan kepentingan pribadi dan mengangkat Paslon yang memiliki rekam jejak jelas, prestasi tinggi dan mampu membawa kemajuan KalBar.

Netralitas dan Bebas / Tidak Bebas Nilai

Dalam dunia akademis, kedua posisi itu, pilihan pribadi dan akademis, termasuk dalam paradigma/aliran anti/non-positivisme. Pilihan berdasarkan pertimbangan pribadi dan akademis, mengandung keberpihakan/tidak netral (un-neutral) dan tidak lagi bebas nilai (value unfree).

Mengapa bukan positivisme (netral dan bebas nilai)? Karena Paslon adalah manusia. Kita tidak pernah bisa netral dan bebas nilai seperti berhadapan dengan barang mati: batu, besi, semen, tanah, pasir dan benda lain tak berjiwa. Penggunaan paradigm positivisme — berkarakter netral dan bebas nilai – tidak mendorong kita menjadi pemilih cerdas: menyia-nyiakan Paslon yang memiliki rekam jejak (track record) jelas, prestasi/hasil kerja nyata dan tidak juga mementingkan masyarakat luas.

Perbedaan dalam non-positivisme antara pilihan pribadi dengan sebagai akademisi adalah bahwa ketidaknetralan (un-neutrality) dalam posisi pertama, lebih berdasar pada pertimbangan keuntungan (profit) pribadi dan kelompok, bersifat material/finansil. Demikian juga, tidak bebas nilai pada pilihan ini, lebih dipengaruhi oleh keputusan atau pertimbangan nilai yang bersifat pribadi yaitu nilai-nilai kepentingan politis dan ekonomis pribadi, keluarga dan kelompok etnis atau partai politik. Pilihan jenis ini lebih bersifat emosional, kesukuan (ethnocentrism), asal usul keturunan dan agama.

Sebaliknya, pemilihan terhadap Paslon tertentu pada posisi kedua, pertimbangan akademis murni, tidak dilandasi oleh kepentingan pribadi atau kelompok sempit. Motif utama pilihan itu adalah untuk kemaslahatan (benefit/usefulness) masyarakat, daerah dan bangsa yang lebih luas. Namun, pilihan ini tetap tidak bebas nilai yaitu lebih berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persatuan dan kemajuan bangsa.

Berdasarkan pertimbangan di atas, pertanyaan tentang siapa di antara mereka akan menjadi pemenang, dapat dijawab oleh dan pembaca sendiri.

Dialog Terhadap Paslon dan Evaluasi sendiri

Hal sangat menarik pada Pemilihan Kepala Daerah (Kada) 2018 adalah bahwa ketiga Paslon merupakan mantan dan masih menjabat Kada. Paslon-Paslon tersebut ialah nomor urut 1, Milton Crosby (MC), mantan Bupati Sintang dua periode [2005-2010/201-2015] & Boyman Harun (BH), mantan Bupati Ketapang satu priode [2010-2015]. Paslon nomor 2. Karolin Natasha (CN), baru menjabat Bupati Landak setahun [22 Mei 2017] & Suryadman Gidot (SG), mantan Bupati Bengkayang [satu priode 2010-2015] dan masih menjabat dua priode [2016-2021]. Paslon nomor 3, Sutarmidji (S), mantan Walikota (Wako) Pontianak (Ptk) dua periode [2008-2013/ September 2013 – 2018] & Ria Norsan (RN), mantan Bupati Mempawah dua periode [2010-2015/September 2016 – 2018]

Kelebihan ketiga Paslon tersebut, dapat dievaluasi sendiri oleh para pembaca. Salah seorang Ketua DPRD Provinsi KalBar menilai kelebihan itu dari prestasi atau hasil kerja yang dihasilkan oleh ketiga Paslon terkait selama mereka menjadi kepala daerah di daerah masing-masing.

Seorang tokoh perempuan, aktivis LSM di daerah ini, melihat keuntungan sosial dimiliki Paslon nomor 2 sebagai seorang perempuan. Aktivis itu melihat faktor ini akan membuat sejarah bagi KalBar. Sebagai berperspektif jender (gender) — persamaan sosial laki-laki dengan perempuan– saya tentu senang perempuan menjadi Gubernur KalBar.

Menurut seorang penjabat di sektor kesehatan dan 2 orang tokoh adat pada dua kabupaten di Kawasan pedalaman, dan sejumlah pejabat, petugas kesehatan, dan pemuka masyarakat pada rumah sakit swasta (RSS) di KalBar, seandainya terpilih nanti, Paslon ini, dari perspektif genjer dan fungsional, memiliki kekhususan. Seorang perempuan, dan dokter menjadi “Gubernur KalBar” pertama. Dia juga pernah menjadi anggota DPR RI. Walaupun menurut rekan se-komisinya, dia tidak banyak mewarnai lembaga legislatif tersebut.

Namun, dua orang tokoh perempuan lainnya dan seorang tokoh pemuda dalam dunia akademis, yang juga aktivis LSM, tidak setuju pendapat berbau seksisme (sexism). Menurut mereka pandangan ini, berlebihan dan bisa mengarah pada kesukuan sempit (ethnocentrism). Kedua isme ini berkarakter sama dengan wajah beda. Ini tidak tepat menjadi ukuran dalam pemilihan gubernur di KalBar yang tertinggal dalam berbagai bidang.

Mereka percaya, alangkah bermanfaatnya jika setiap Paslon dilihat juga prestasinya: siapapun, menjadi apa dia dan apa yang dilakukan sebelum dan setelah dia memimpin. Bagaimana kepemimpinannya sekurang-kurangnya satu masa jabatan? Ada hasil karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan? Mampukah mereka memutuskan jaringan pengaruh negatif dari pihak di belakang layar?

Ketua partai lain dari Kawasan Pedalaman Jauh / KPJ (interior upland area / IUA), tokoh pemuda, ketua-ketua tiga asosiasi pengusahaan di KalBar, dan seorang mantan anggota DPRD via tulisan on-line, menyetujui kesempatan sama bagi semua Paslon menjadi KB 1. Namun, mereka harus memiliki rekam jejak jelas dan prestasi kerja paling kurang satu masa jabatan.

Jabatan Politis: Bukan Trial and Eror

Menurut mereka, pejabat politis perlu kemampuan managerial dalam menangani berbagai bidang tugasnya dalam pemerintahan, sosial dan perekonomian rakyat. Ia harus memiliki kinerja, dan semangat kebersamaan, berorientasi pada rakyat kecil dan menghilangkan sekat-sekat sosial dalam masyarakat.

Persyaratan di atas tidak boleh dijabat melalui coba-coba untuk mencari pengalaman. “Cara seperti itu,” menurut mereka, “sangat beresiko dan harus dibayar mahal oleh rakyat dalam proses berpemerintahan dan berbangsa.” “Mencari pengalaman memang perlu,” ujar seorang pengamat hubungan sosial. Namun, ia harus bersedia menjadi pemimpin semua kelompok.

*)Professor Tamu NIAS, Copenhagen, Denmark;
Co-promotor Mhs Pasca Sarjana, UGM, Yogya; dan University
of Missouri, Columbia, AS; dan Pendiri the Al-Qadrie Center

Written by teraju

Prof.Ibrahim Alkadrie

Cagub Kalbar 2018: Rekam Jejak, Prestasi Kerja dan Merit System

WhatsApp Image 2018 06 02 at 05.16.12

Festival Sahur Momentum Ingatkan Pemilukada