in

Puisi Sang Ustadz

Eka Hendry Ar.


Oleh Eka Hendry Ar

Berbagai cara dilakukan guna mengekspresikan perasaan, aspirasi dan bahkan kritik. Ada yang menggunakan bahasa yang straight to the point, ada yang berkulum lidah melalui lirik lagu maupun bait-bait puisi. Bentuk-bentuk media ini tergantung kepada masing-masing orang. Kalau politikus, bahasa stright to the point itu lebih disukai, agar maksudnya segera dipahami. Namun tidak demikian bagi seniman dan pujangga, mereka lebih memilih insinuasi yang metaforis, melalui teks dan lirik kaya majaz. Kadang butuh mengernyitkan dahi untuk dapat menangkap maksud sesungguhnya. Bagi para seniman dan penyair biasa sindir menyindir, kritik mengkritik melaui karya seni.

Namun akan menjadi unik ketika seorang Ustadz kondang, yang lebih memilih dakwah terbuka dengan komunikasi langsung secara lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Tiba-tiba menulis puisi dengan judul “TAK SEPADAN”. Puisi ini ditulis dan dibacakan oleh Ustadz Abdul Somad (UAS). Puisi ini dirilis di penghujung tahun, 31 Desember 2020. Barangkali sebagai refleksi akhir tahun Sang Ustadz.

Secara makna tidak terlalu sulit menebak maksud dan tujuannya. Karena puisi beliau tidak dituliskan dalam gaya bahasa filosofis, tetapi bergaya realis. Terlebih jika memahami konteks kelahiran puisi ini. Mengapa tidak menyampaikan, jika itu bagian dari keluh kesah atau kritik, dengan bahasa yang lazim digunakan. Agar lebih tegas maksud dan tujuannya.

Penulis berpandangan ada sesuatu alasan yang mendasar mengapa sang Ustadz berpuisi. Mungkin sebagian mengaggap ini hal yang biasa. Namun, bagi penulis ada sesuatu yang tidak diujarkan dibalik fenomana ini. Bayangan penulis, sang Ustadz sedang mengirimkan sebuah pesan berantai.

Pertama, pesan yang secara implisit termaktub dalam deretan bait puisi tersebut. Bisa dimaknai kekecewaan yang mendalam sekaligus kemarahan yang membuncah kepada satu keadaan. Tidak perlu kiranya penulis membuatnya menjadi terang.

Kedua, kekecewaan dan kemarahan yang dituangkan ke dalam puisi yang implisit sebenarnya adalah sebuah sindiran halus bahwa tidak bisa dikatakan secara langsung amanahnya. Untuk mengatakan kepada pihak yang dituju, bahwa kami tidak lagi berani menyuarakan perasaan dan keyakinan kami tentang kebenaran, di hadapan kalian yang berkuasa. Kami takut menyatakan secara langsung perasaan dan kekecewaan yang dirasakan.

Ketiga, ini juga sekaligus pesan bahwa mereka yang dimaksud puisi itu bahwa kekuasaan yang kalian jalankan sudah “off side”. Sudah keluar dari koridor demokrasi. Namun buat mengatakan terus terang tidak ada lagi keberanian. Karena kami tidak kuasa dibully atau dipersekusi, apalagi dianggap makar. Kira-kira demikian insinuasi ini, jika diujarkan.

Jika benar apa yang ditangkap oleh penulis, maka ini sebenarnya sebuah isyarat yang krusial sedang didawuhkan kepada yang berkuasa. Ada kondisi yang sedang menjadi perhatian dan penilaian publik terhadap jalannya kekuasaan.

Barangkali ada yang beranggapan, “ah itu hanya sekedar ungkapan personal sang Ustadz”, yang sedang dalam posisi berseberangan dengan kekuasaan. Bukan mewakili pandangan sebagian besar ummat. Silakan saja barangkali jika mau berpikir demikian. Namun jika pertanyaan kita buat seperti ini, “apakah silent majority juga berpandangan yang sama, cuma level ketakutannya lebih-lebih lagi, sehingga lebih memilih tutup mulut sama sekali. Karena tidak ada keberanian mengungkapkan, meski hanya melalui bait-bait puisi. Karena diamnya mayoritas ummat dan masyarakat kita mengandung beragam misteri. Sulit menerka ke sudut mana pendulum dukungannya.

Jadi esensi dari hadirnya puisi ini menyiratkan ada penyempitan ruang bersuara, karena rasa takut dan tertekan. Dalam kacamata psiko-sosial, ketika publik “memekikkan” rasa takut dan tertekannya, sebenarnya ini adalah “lonceng tanda bahaya”. Mengapa demikian, karena orang yang tertekan dan takut bisa saja sampai kepada titik nadir amuk terendahnya, dan akan berubah menjadi amarah yang tak bisa dikendalikan lagi. Baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain. Kalau ini terjadi tentu ini akan merugikan kita semua.

Oleh karenanya kita mesti berpikir positif. Karena sejatinya ketika puisi-puisi seperti puisi Sang Ustadz dituliskan ini adalah cara halus dan bijaksana memberikan “tamparan”, sehingga tidak perlu yang dikritik kehilangan muka. Bahkan sebaliknya, mestinya berterima kasih karena ada yang mengingatkan dengan cara-cara yang beradab. Cara mengingatkan yang paling halus dan patut adalah dengan sindiran melalui kiasan/analogi. Karena selain tidak menjatuhkan air muka, juga akan lebih menusuk amanah dan pesannya.

Puisi adalah jalan sastra yang merupakan media ampuh dalam mengungkapkan segala kegelisahan dan kemarahan secara konotatif. Dengan simbol, lambang dan kiasan, untuk menyampaikan maksud dan tujuan. Kedalaman maksud berbungkus keindahan diksi dan gaya bahasanya. Dalam bahasa Al Quran ini dikenal perkataan yang baik (kalimat thayibah) yaitu perkataan yang diumpamakan seperti pohon yang akarnya dalam terhunjam di dasar bumi, dan cabangnya menjulang hingga ke langit. Dari pohon tersebut menghasilkan buah pada setiap waktunya. (Qs. Ibrahim:24-25)

Pohon yang kuat akarnya melambangkan ketulusan kalimat yang disampaikan, karena keluar dari lubuk hati yang dalam. Di dalamnya mengandung pesan kebenaran yang otentik. Sedangkan cabangnya menjulang hingga ke langit, ini perlambang bahwa kalimat yang baik itu mestinya berisi muatan nasihat, menginggatkan akan kebenaran yang diajarkan Tuhan YME. Karena hanya dari pohon yang baik dan suburlah akan menghasilkan buah yang berkualitas. Buah disini dapat dimaknai, dari kata-kata nasehat yang baik, kalimat yang pantas dan lembut, menghasilkan pengajaran dan nasehat yang berguna. Sekaligus peringatan agar kita selamat dari sesuatu yang buruk.

Pilihan menulis puisi oleh Sang Ustadz boleh jadi dimaksudkan dan terinspirasi dari pemikiran di atas. Cara halus menasihati dan memberikan peringatan, dengan maksud agar kita semuanya selamat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam bi shawab***(Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak)

Written by teraju.id

dr leo sutrisno

Nona ‘high class’

rumah wakaf

Hidayah di Patra Kuningan-Jakarta: Rumah Mewah 120 M Diwakafkan untuk Pondok Tahfidz