Oleh: Yusriadi
Libur agak panjang, sejak Jumat – Minggu, awal Desember 2017, memberi ruang bagi saya untuk membaca dan mencari sesuatu. Saya sedang mencari info tambahan tentang orang Kebahan, satu komunitas di Melawi, dan dari beberapa buku yang saya turunkan dari rak salah satunya adalah buku tulisan Prof. PJ Veth berjudul Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis.
Buku ini diterjemahkan Pastor Yeri ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan Institut Dayakologi tahun 2012. Versi asal adalah bahasa Belanda diterbitkan di negera Belanda tahun 1854. Saya berterima kasih kepada pembimbing saya Prof. James T. Collins yang telah mengarahkan saya membaca buku ini pada tahun 1996 ketika menulis tesis.
Sayamengutip Prof. Veth ketika menulis tesis tentang dialek Ulu Kapuas, dan atas bantuan teman, beberapa bagian diterjemahkan untuk pengutipan.
Saya mendapatkan versi terjemahan sejak Mei 2012. Sekian lama buku ini hanya dilihat bagian tertentu dan dikutip secara parsial. Belum pernah saya membaca menyeluruh.
Nah, ujung minggu ini, kesempatan membaca hampir secara menyeluruh kesampaian. Saya membaca bagian demi bagian.
Sungguh, banyak hal yang menarik dari buku ini. Terutama bagian topografi dan statistik daerah hulu Kapuas, dari Tayan sampai Kapuas Hulu, Landak, Mandor, Mempawah, Sambas, negara selatan daerah Sungai Kapuas dan Matan.
Prof. Veth sangat luar biasa. Beliau dikritik tidak pernah ke lapangan di Kalbar dan Hindia Belanda secara umum. Beliau hanya menggunakan sumber-sumber yang ada. Tetapi, kiranya kritikan itu tak mengurangi nilai karya yang luar biasa.
Buku ini sangat informatif. Saya yakin banyak orang Kalbar hari ini belum pernah mendengar sebagian dari isi buku itu.
Luar biasanya lagi, sebagian dari tulisan itu seperti gambar nyata dan jelas. Seperti lukisan hidup tentang Kalbar pertengahan abad ke-19.
Saya orang Kalbar, lahir di pedalaman dan melakukan studi tentang pedalaman, mengunjungi banyak tempat, tetapi, pengetahuan saya belum seberapa. Dibandingkan pengetahuan yang disajikan Prof. Veth tentang Kalbar, saya tidak ada apa-apanya. Saya hanya setitik saja dibandingkan lukisan besar beliau. Saya hanya setetes dari lautan luas pengetahuan beliau.
Apalagi jika mengingat dunia beliau 160an tahun lalu keadaan dan perkembangan teknologi dan informasi jauh berbeda dibandingkan hari ini.
Ketika membaca buku ini saya merasakan masih banyak hal yang belum saya ketahui. Bukan saja jengkal demi jengkal, tetapi juga lapisan kedalamannya. Yang lain, saya merasa banyak juga pengetahuan yang samar -samar dan mulai kabur.
Rasanya tugas membangun ilmu pengetahuan tentang Kalbar berdasarkan ilmu lokal Kalbar –seperti yang diimpikan, masih belum ada apa-apa. Masih-masih sangat-sangat jauh dan berat. Mungkin seperti mimpi.
Tentu kita semua harus berterima kasih pada Pastor Yeri dan ID atas usaha mereka menterjemahkan dan menerbitkan buku ini. Berkat upaya ini kita memperoleh informasi tentang masa lalu kita. (*)