teraju.id, Jakarta— Di tengah semarak peringatan HUT RI ke-79, sebuah isu sensitif muncul ke permukaan. Kebijakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang melarang anggota Paskibraka perempuan mengenakan jilbab saat upacara pengibaran bendera pusaka menjadi sorotan tajam publik.
Polemik ini bermula dari beredarnya foto-foto anggota Paskibraka perempuan yang tanpa jilbab. Sontak, berbagai reaksi muncul dari masyarakat, mulai dari kekecewaan, kemarahan, hingga tuntutan agar kebijakan tersebut dicabut.
Para pendukung kebebasan beragama berpendapat bahwa larangan tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menegaskan bahwa jilbab adalah bagian dari identitas keagamaan yang tidak boleh dibatasi, bahkan dalam konteks tugas negara sekalipun.
Di sisi lain, BPIP berdalih bahwa kebijakan ini diambil demi menjaga keseragaman dan netralitas dalam upacara kenegaraan. Mereka berargumen bahwa penggunaan atribut keagamaan tertentu dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian masyarakat dan mengganggu fokus pada nilai-nilai Pancasila.
Bahkan, desakan publik semakin menguat dengan adanya tuntutan agar Kepala BPIP, Prof. Yudian Wahyudi, mundur dari jabatannya. Hal ini dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kebijakan kontroversial yang telah menimbulkan kegaduhan di masyarakat, terutama di tengah momen sakral peringatan kemerdekaan Indonesia.
Kontroversi ini semakin memanas dengan adanya dukungan dari sejumlah tokoh agama dan politisi yang mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tersebut. Mereka khawatir bahwa larangan tersebut dapat memperkuat stigma negatif terhadap jilbab dan mengarah pada penistaan agama.
Menanggapi polemik yang semakin meluas, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo turut angkat bicara, “Penggunaan jilbab seharusnya tidak menjadi penghalang bagi siapa pun untuk berpartisipasi dalam kegiatan kenegaraan, termasuk menjadi anggota Paskibraka,” tegasnya.