Oleh: Ambaryani
Sore kemarin, sepulang kerja saya berencana masak nasi di rumah Teluk Nangka. Mau coba beras baru. Beras kampung.
Ya, waktu saya berkunjung ke Olak-Olak, saya dapat bekal beras kampung sekresek. Sekitar 5 kiloan beras itu. Alhamdulillah…
“Mbak, kulo sangoni mener segegem niki”, kata Bu Mardi saat menyerahkan beras itu.
“Nopo to Buk? La kok repot-repot?”
Saya malu menerimanya. Ini baru pertemuan kedua, setelah pertama kali ketemu Rabu 7 Desember lalu di gedung serba guna kantor camat Kubu dalam acara arisan ibu-ibu PKK. Dan baru kunjungan pertama saya ke rumah beliau. Rikuh, bahasa Jawanya.
Kata beliau, beras itu hasil ladang sendiri. Suami beliau Pak Sumardi teman kerja di kantor camat. Sedangkan Bu Sumardi sendiri hari-hari berladang.
Berasnya beda dengan beras kampung yang sering saya jumpai. Warnanya tidak putih bersih, dan berasnya tidak hancur. Halus. Ada warna agak pink, dadu.
Kata Bu Sumardi, ada beliau campur dengan beras merah sedikit. Tapi, beras merahnya digiling bersih. Hanya ada semburat warna dadu saja yang tersisa.
“Anak-anak tu ndak suka Mbak kalau berasnya merah, makanya digiling bersih”, kata Pak Mardi.
Wah…ini terbalik. Saya sekeluarga di Pontianak, justru lebih suka dengan beras kampung yang masih asli. Merah. Lain rasanya. Makan lebih nikmat, karena ada aroma alami beras kampung.
Selain itu, beras dari kampung lebih cepat berbubuk. Dimakan kutu beras jika lama habisnya. Ini menandakan beras kampung, tidak diberi tambahan pengawet. Sedangkan beras yang dijual di Pontianak, produksi pabrik, lebih tahan lama. Ini menjadi salah satu kelebihan beras kampung.
Bersyukur, alhamdulillah. Panjang langkah saya, panjang juga rezkinya. Mengalir. Dimana-mana serasa jumpa kerabat dekat.