in

Dampak Gawat Pandemi terhadap Pendidikan Sedunia

Dampak Pandemi Covid pada pembelajaran anak. Foto Doc Human Right Watch


Teraju News Network, London – Pemerintah negara-negara di seluruh dunia seharusnya lekas bertindak guna memulihkan kerusakan yang menimpa pendidikan anak akibat disrupsi yang tak pernah terjadi sebelumnya dari pandemi Covid-19, ujar Human Rights Watch dalam sebuah laporan yang terbit hari ini dan terima redaksi Teraju News Network, Senin, 17/5/21. Human Rights Watch melengkapi laporan tersebut dengan fitur interaktif yang menguraikan bagaimana hambatan-hambatan pendidikan pada umumnya menjadi kian parah selama pandemi.

Laporan setebal 125 halaman tersebut, “Waktu Tak Bisa Menunggu”: Peningkatan Ketimpangan dalam Hak Anak atas Pendidikan Akibat Pandemi Covid-19” mencatat bagaimana penutupan sekolah terkait Covid menghasilkan dampak yang derajatnya bervariasi, sebab tidak semua anak punya kesempatan, perkakas, atau akses yang dibutuhkan untuk tetap bisa belajar selama pandemi. Human Rights Watch juga menemukan bahwa ketergantungan berlebihan terhadap “pembelajaran jarak jauh” atau “pembelajaran daring” memperparah ketimpangan distribusi sokongan pendidikan yang selama ini sudah ada. Banyak pemerintahan tidak memiliki kebijakan, sumber daya, atau infrastruktur untuk menyelenggarakan pembelajaran daring yang menjamin kesetaraan peluang partisipasi bagi semua anak.

“Dengan jutaan anak yang kehilangan hak atas pendidikan semasa pandemi, inilah saatnya kita meneguhkan perlindungan terhadap hak tersebut, dengan cara membangun ulang sistem-sistem pendidikan yang lebih adil dan tangguh,” kata Elin Martinez, peneliti senior bidang pendidikan di Human Rights Watch. “Sasaran kita sepatutnya bukanlah kembali ke situasi sebelum pandemi, melainkan memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam sistem yang selama ini menghalangi sekolah untuk menjadi lembaga yang terbuka dan bisa menyambut semua anak.”

Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 470 siswa, orang tua murid, dan pengajar di 60 negara selama April 2020 hingga April 2021.

“Guru anak-anak menelpon, menyuruh saya membeli telepon besar [telepon pintar] untuk pembelajaran daring,” kata seorang ibu tujuh anak di Lagos, Nigeria, yang kehilangan penghasilan ketika universitas tempatnya bekerja sebagai petugas kebersihan ditutup karena pandemi. “Saya tidak punya uang untuk memberi makan keluarga dan saya kesulitan mencukupi kebutuhan kami. Bagaimana mungkin saya sanggup membeli telepon pintar dan menyediakan internet?”

Pada Mei 2021, 26 negara menutup sekolah secara menyeluruh. Adapun 55 negara lain mengizinkan sebagian sekolah buka – hanya di kawasan tertentu atau kelas-kelas tertentu. Menurut UNESCO, pandemi diperkirakan telah mengganggu pendidikan dari 90 persen anak usia sekolah di seluruh dunia.

Bagi jutaan pelajar, penutupan sekolah tak akan jadi gangguan sementara atas pendidikan mereka, melainkan akhir yang mendadak, kata Human Rights Watch. Anak-anak itu mulai bekerja, menikah, menjadi orang tua, kian kecewa dengan pendidikan, dan memutuskan bahwa mereka tak akan bisa mengejar ketertinggalan atau telah melewati batas umur pendidikan wajib atau gratis yang dijamin oleh Undang-Undang tiap-tiap negara.

Pelbagai bukti menunjukkan bahwa murid-murid yang kembali atau akan kembali ke sekolah sekalipun bakal merasakan dampak ketertinggalan pembelajaran selama pandemi hingga bertahun-tahun ke depan.

Kerusakan pendidikan banyak anak hari-hari ini sebenarnya berakar pada masalah lama: Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), satu di antara lima anak putus sekolah sebelum Covid-19 mulai melanda dunia. Penutupan sekolah gara-gara Covid-19 terutama merugikan murid-murid dari bermacam kelompok masyarakat yang menghadapi diskriminasi dan dikucilkan oleh sistem pendidikan bahkan sebelum pandemi.

Di antaranya adalah anak-anak dari keluarga miskin atau hampir miskin; anak-anak dengan disabilitas; minoritas etnis dan rasial di sebuah negara; anak-anak perempuan di negara-negara dengan ketimpangan gender; anak-anak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); anak-anak pedesaan maupun yang berada di berbagai kawasan terdampak konflik bersenjata; dan anak-anak yang terusir, migran, pengungsi, serta pencari suaka.

“Pemerintah negara-negara di dunia selama bertahun-tahun punya bukti kuat yang menunjukkan secara tepat kelompok anak mana yang menghadapi halangan-halangan terbesar guna melanjutkan pendidikan,” kata Martinez. “Sekadar membuka sekolah tidak akan membatalkan kerusakan yang telah terjadi, bahkan langkah itu tidak cukup untuk menjamin semua anak kembali ke sekolah mereka.”

Human Rights Watch menemukan bahwa sekolah-sekolah memasuki masa pandemi tanpa kesiapan untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh secara merata bagi segenap muridnya. Sebabnya ialah kegagalan jangka panjang pemerintah sejumlah negara untuk mengobati sistem pendidikan dari diskriminasi serta ketimpangan, atau menjamin layanan-layanan mendasar bagi publik seperti listrik yang terjangkau dan dapat diandalkan di rumah-rumah, atau menyediakan akses internet yang terjangkau.

Anak dari keluarga-keluarga berpenghasilan rendah lebih rentan tersisih dari pembelajaran daring karena mereka tidak bisa membeli layanan internet atau gawai-gawai yang memadai. Sekolah-sekolah yang punya riwayat kekurangan sumber daya, dengan murid-murid yang sejak awal berhadapan dengan lebih banyak rintangan pembelajaran, adalah yang paling kesulitan menyeberangi “jurang teknologi” untuk menjangkau murid-muridnya. Sejumlah sistem pendidikan kerap gagal menyediakan pelatihan literasi digital yang memastikan para guru dan murid dapat memanfaatkan teknologi ini secara aman dan percaya diri.

Pendidikan semestinya jadi inti dari berbagai rencana pemulihan yang dirancang pemerintah, kata Human Rights Watch. Pemerintah negara-negara di seluruh dunia seharusnya menangani dampak pandemi terhadap pendidikan anak sekaligus masalah-masalah yang sebelumnya sudah ada. Mengingat tekanan finansial mendalam terhadap ekonomi nasional akibat pandemi, pemerintah di semua negara seharusnya melindungi serta memprioritaskan pendanaan untuk pendidikan umum.

Human Rights Watch menyatakan: pemerintah negara-negara itu perlu lekas kembali kepada komitmen bersama pada 2015, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diinisiasi PBB, guna memastikan agar semua anak memperoleh pendidikan primer dan sekunder yang berkualitas dan inklusif pada 2030. Pemerintah negara-negara di dunia seharusnya melakukan penjangkauan intensif guna memastikan agar anak-anak yang paling berisiko putus sekolah atau terbentur hambatan-hambatan lain kembali ke sekolah.

Bersama sekolah-sekolah, pemerintah di negara-negara itu seharusnya menganalisis siapa yang berhenti dan siapa yang lanjut bersekolah, serta memastikan program-program “kembali ke sekolah” menjangkau semua anak yang terlanjur putus sekolah, termasuk dengan cara menyediakan bantuan-bantuan finansial dan sosial. Kampanye program-program ini semestinya menyebar seluas mungkin dan merangkul anak dan remaja yang terpental dari sistem pendidikan tatkala sekolah-sekolah terpaksa tutup

Semua pemerintah, beserta para donor dan aktor-aktor internasional yang mendukungnya, seharusnya teguh memegang komitmen guna memperkuat sistem-sistem pendidikan umum yang inklusif. Pembangunan sistem yang lebih kuat ini membutuhkan investasi yang memadai serta distribusi sumber daya yang merata, juga pencabutan kebijakan dan praktik diskriminatif selekas mungkin, perencanaan untuk memulihkan hak pendidikan jutaan murid, dan penyediaan internet yang murah, handal, dan terjangkau bagi semua murid.

“Sewaktu dunia berupaya menyelamatkan nyawa semua orang dari virus corona, pendidikan anak dipaksa mengalah,” kata Martinez. “Untuk membayar pengorbanan anak-anak tersebut, pemerintah-pemerintah seyogianya bangkit menghadapi tantangan-tantangan pendidikan serta lekas menjadikan pendidikan gratis dan tersedia bagi setiap anak di seluruh dunia.” *(Rilis)

Written by teraju.id

Sulthan Annashira dan Program Baru Bayt Alquran: Bersama ke Surga

Idul Fitri 1991-2021