Oleh: Ambaryani
Saat saya lewat gertak kayu yang menghubungkan Teluk Nangka dan Kubu, ingatan saya langsung tertuju ke Kota kelahiran. Sambas.
Gertaknya terbuat dari papan tua. Belian. Kondisinya nampak tua karena beberapa bagian papannya sudah mulai lepas-lepas pakunya. Ada juga papan yang pecah. Kanan kirinya diberi pagar besi bulat sebesar lengan orang dewasa. Tinggi pagarnya kurang lebih 1 meter.
Dulu, gertak itu orang sebut gertak putih. Karena warna pagar catnya putih. Sekarang berubah. Gertak kuning, mengikuti perubahan warna pagar.
Gertakini sudah ada sejak tahun 1984, dan sudah diperbaiki 3 kali hingga kini.
Tepat di ujung jembatan arah jalan lurus menuju Teluk Nangka, berdiri masjid Jamitussa’adah, dan menyatu dengan komplek makam.
Saat tiap pagi dan sore lewat gertak ini, suara khas gertak kayu menerbangkan ingatan saya pada kota Sambas. Dulu, kalau harus ke pasar Sambas motor air yang saya tumpangi selalu lewat bawah jembatan. Hanya melihat jembatan dari bawah.
Jarang sekali saya lewat jembatan itu. Bisa dikatakan tak pernah dulu. Saya selalu kepengen lewat atas jembatan. Rasa-rasanya hanya sekali dua saya lewat atas jembatan. Hal itu menimbulkan rasa penasaran. Rasa penasaran yang muncul sejak lama.
Dan rasa penasaran itu tersampaikan di Kubu. Terlebih, tipologi kubu mirip dengan perkampungan pesisir Sambas. Ya, Sambas. Kota asal kelahiran saya. Tapi hanya numpang lewat. Tidak pernah benar-benar tinggal di kota Sambas. Dan sekarang, takdir mengantarkan saya di Kubu. Kubu rasa Sambas. Begitulah kata yang tepat untuk menggambarkannya. (*)