Oleh: Khairul Fuad*
“Kira-kira pukul 09.00 pagi saya jemput pergi ke Gili Trawangan”, begitu tukas kawan dari Lombok saat menemui di lobby bersama istrinya pada malam hari. Kawan ini merupakan civitas akademika UIN Mataram, sesama alumni pascasarjana saat masih berstatus IAIN Walisongo Semarang. Pernah juga tinggal di Pontianak sebagai tenaga pengajar saat masih berstatus STAIN Pontianak, hanya sayangnya tidak pernah berjumpa saat masih di Pontianak dulu. Jika berjumpa saat kebetulan mudik karena istrinya memang orang Pontianak.
Waktu dijanjikan tiba, kawan beserta buah hatinya sudah di depan pintu penginapan dan segera menuju ke lahan parkiran. Di dalam mobil sudah menunggu istri dan saudaranya, segera masuk ke dalam dan mengaspal menuju Gili Trawangan. Mobil jenis MPV itu sepenuhnya di bawah kemudi dan injak gas, pedal, serta rem kawan satu ini yang kini juga pegang kemudi sebuah prodi pascasarjana UIN Mataram (UNIEMA)
Perjalanan dimulai perlahan meninggalkan penginapan hingga memasuki kawasan berbukit-bukit dengan jalan naik-turun berkelok-kelok. Kawasan itu oleh setempat disebut Pusuk, dipenuhi oleh kawanan monyet berjajar di tepi jalan. Selama perjalanan disambut sekawanan monyet, bahasa setempat disebut godek. Jalan itu juga arah menuju pantai terkenal, Pantai Senggigi dan juga asal pelari cepat terkenal Lalu Muhammad Zohri yang pernah memenangi juara lari 100 meter di Kejuaran Dunia Atletik Junior 2018 di Tampere Finlandia, mewakili Indonesia.
Akhirnya sampai di Terminal Penumpang Pelabuhan Pemenang Kampung Bangsal Lombok Utara. Sebuah pelabuhan seperti di tepi bibir pantai meski ada jembatan mengarah agak ke tengah dari bibir pantai. Berjajar perahu kayu bermesin ganda di tepi pantai siap antar jemput ke dan dari Gili Trawangan. Setelah mengantongi tiket, berlima menaiki perahu tersebut membelah lautan, tentunya dengan penumpang-penumpang lainnya beserta barang bawaan yang tidak begitu banyak.
Dengan sekian PK dan knot per jam laju perjalanan terasa terguncang-guncang di dalam kapal menantang arus ombak lautan. Bagi yang biasa mengarungi sungai yang tenang agak kaget suasana di dalam kapal waktu itu dan tentu bagi masyarakat setempat, tidak ada kamus kaget. Makanya, kawan sebelumnya berpesan agar meninggalkan Gili Trawangan pukul 14.00 atau sebelum Ashar waktu setempat. Jika pasca-Ashar apalagi pukul 17.00 berpotensi besar berhadapan dengan ombak besar dan berdampak goncangan kuat di dalam kapal karena saatnya laut pasang.
Pada gilirannya, tempat berlabuh semakin dekat yang ternyata tepian bibir Gili Trawangan tempat berjejer kapal dengan posisi buritan menjorok untuk para penumpang keluar masuk. Setelah turun perahu, angan-angan sebagai ekspektasi sebelumnya menjadi ambyar, tidak sesuai harapan. Sebelumnya, Gili Trawangan layaknya seperti pantai yang selama ini dijumpai, terdapat daratan pasir terhampar dengan deburan buih lautan datang dan kembali ke laut. Sekadar tempat wisata saja lalu pergi jika terasa puas dan cukup.
Semakin melangkah ke daratan semakin ambyar, semakin di luar ekspektasi tentang Gili Trawangan, tidak sekadar pantai. Berjarak sekian meter dari lautan berjejer berbagai gerai-gerai jasa dan kuliner. Saat berjalan menuju ke sebuah masjid sebagai tujuan awal, para wisatawan mancanegara dari berbagai negara berseliweran, baik berjalan maupun bersepeda. Termasuk, bercidomo naik dokar atau delman, transportasi khas Lombok.
Sebagai wisata pantai kunjungan para wisatawan mancanegara yang kadang distilahkan bule, tentu bisa ditebak busana yang dikenakan jauh berbeda sama sekali busana yang dikenakan di Indonesia pada umumnya. Mereka dengan busana minim, bahkan superminim melenggang santai dan asyik bersepeda di jejalanan Gili Trawangan yang sangat panas membakar kulit. Dimaklumi karena kawasan tersebut memang kawasan favorit para bule berlibur. Tampaknya jika disensus, populasi mancanegara lebih besar dibandingkan penduduk asli Gili Trawangan ditambah para wisatawan lokal.
Setiap kaki melangkah dan mengayuh sepeda angin, bahkan sampai ke dalam kawasan, pasti berpapasan wisatawan mancanegara. Baik, menggendong rangsel, menarik koper beroda, maupun berjalan-jalan layaknya seorang wisatawan. Tidak sekadar bibir pantai saja, tetapi kawasan dalam Gili Trawangan berdiri rumah para penduduk asli. Pastinya terbangun hubungan mutual, para wisatawan mancanegara mendapatkan hiburan, dan penduduk asli memperoleh pundi-pundi penghasilan, misalnya melalui hunian inap atau pemandu wisata.
Di sisi lain yang menarik, terdapat masjid sebagai awal singgah ke Gili Trawangan. Masjid tersebut bernama Nurul Istiqamah, berdiri kokoh di lingkungan rumah para penduduk asli di kawasan dalam. Menurut saudara kawan, jamaah penduduk sekitar cukup lumayan, bahkan saat salat Jum’at terlihat juga jamaah orang asing. Dengan kata lain, terdapat orang asing yang muallaf karena kemungkinan tertarik dengan Islam atau faktor pernikahan dengan penduduk setempat. Keberadaan masjid ternyata memberi dampak berarti dan setidaknya di tengah glamour dan hedonis, masih terdapat simbol spiritualitas sekaligus memperteguh Negeri Seribu Masjid sebagai sebutan untuk Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kemudian, sisi menarik lain adalah pelarangan penggunaan sepeda motor apalagi mobil di kawasan Gili Trawangan. Kalau kendaraan bermesin penggerak, penggunaan sepeda listrik mendapat dispensasi kelonggaran, longgarnya untuk perorangan saja. Sementara terkait wisata tetap digunakan sepeda angin atau sepeda kayuh yang disewakan untuk transportasi mengelilingi Gili Trawangan. Cukup menguras tenaga dan memeras keringat untuk keliling-keliling di pinggir pantai dan kawasan dalam-dalamnya.
Gambaran ecotourism atau wisata ramah lingkungan jelas terlihat di Gili Trawangan dengan lalu-lalang sepeda angin. Bayangkan jika sepeda motor diperbolehkan, problematika jelas muncul, paling gampang polusi udara dan suara yang berasal dari asap dan bising knalpot. Meski panas tetap syahdu dan meski ramai tetap hening karena tidak ada segala yang bermotor yang menimbulkan polutan di Gili Trawangan kecuali kapal penyeberangan yang harus segera ditumpangi karena waktu telah menunjukkan pukul 14.00 waktu setempat. Sekaligus, mengakhiri serba-serbi preservasi naskah NTB dan nyatanya Indonesia kaya akan eksotika dan estetikanya.(*Penulis Civitas BRIN)