Leter Ibuku

5 Min Read

Oleh : Khatijah

Sore itu, sangkar burung pleci berjejer di teras rumah. Seperti biasanya ketika senja memulai memamerkan jingganya begitu juga Bang Long memamerkan pleci kesayangannya di teras rumah untuk dimandikan. Di seberang jalan, ibu sixth sense, duduk santai di terasnya mendengar nada yang dihasilkan oleh beraneka ragam burung milik suaminya. Kulihat di parkiran rumahnya belum ada mobil, pertanda suaminya belum pulang dari dinas.

Bang Long tersenyum melihatku pulang awal — tak seperti biasanya ke rumah, aku tak tau apa makna senyumnya itu. Tidak kubalas senyumnya, aku hanya terdiam sembari menstandarkan motor di depan rumah. Bang Long segera mendekatiku lalu berbisik.

“Bapak, same Umak Bang long nak ke sitok”.

“Haah, bile?” ucapku dengan terkejut. Karena rasanya mendadak sekali.

‘Itok udah di Singkawang”.

Hhhhh, aku hanya mendesahkan nafas dan segera masuk untuk mengecek rumah, pergi ke dapur mengecek cucian piring, meja tamu yang biasanya penuh dengan segala macam benda tak jelas. Kulihat semuanya sudah bersih, lauk serta sayur juga sudah tersedia rapi di meja makan. Kulihat lagi kompor, tak ada tempat nasi, lalu kubuka lemari tempat biasa kami menyimpan beras. Ternyata beras masih kosong.

Aku segera keluar rumah, Bang long masih bersiul memancing plecinya untuk berbunyi.

“Cukup ke laok ye ii Bang Long?”

“Cukup, Umak pun madahkan berapi ajak yang dibanyakek. Die bawak tempuyak,” mendengar ucapan Bang Long, aku merasa lega.

Aku mendekat ke kuping Bang Long seraya berbisik.

“Kite sian baras”.

Penuh tanda tanya di raut wajah Bang Long.

“Seloow, itok o nak malli ke warung dakat sie,” ujarku.

“Cukup ke daan duitnye?”

“Cukup,” jawabku sambil menunjukan uang yang kugenggam.

“Malli baras jak, laok usah. Umak Bang Long orang paling ngerati yewee,” ujar Bang Long lagi.

Berbicara tentang ibu, aku teringat ini ibuku menelponku sambil berleter tanpa sempat mengucap salam. Salahku memang, ketika itu aku tidak memunyai pulsa untuk membalas pesannya. Lagi pula ia hanya bilang seperti biasa bulan ini belum bisa mengirim uang. Lalu besoknya beliau mengirim pesan lagi.

“Ape kabar Jah, balik ke daan taon baru tok?”. Ingin sekali aku membalasnya apa daya pulsa tak cukup, lalu kukirim pesan lewat Facebook ke adikku, untuk bilang kepada ibu bahwa aku baik-baik saja, tidak pulang tahun baru, dan tak punya pulsa untuk membalas pesannya. Pesanku terkirim, adikku juga membalas “Ok”.

Besoknya lagi, selesai salat Magrib handphoneku berdering, ternyata ibuku yang menelponku. Aku tak segera menjawabnya karena biasanya, beliau hanya memberikan kode untuk ditelpon. Bagaimana untuk menelpon, untuk membalas pesannya saja aku tak mampu. 2 menit kemudian handphoneku berbunyi lagi, dengan tulisan Mymom memanggil di layarnya. Kali ini segera kuangkat.

“Kau ngape we Jah, sibuk inyan keratinye nak balas sms urangtue pun daan sampat,” leter ibuku.

Aku sangat terkejut, karena biasanya beliau mengucapkan salam tapi kali ini ia langsung berleter seakan-akan aku hadir di depannya. Hah, leteran ibu aku sangat merindukannya, kubiarkan saja ia berleter hingga lelah. 3 menit mungkin ia berleter entah apa yang dileterkannya aku tak terlalu mendengarkan, yang pastinya beliau beleter mengungkit masa yang akan datang bagaimana sikapku, begini saja aku tak memberi kabar darinya.

“Kalak pun dah basar pun dah sukses usah nak lupa dengan urangtue, urangtue daan mintak imbalan. Urangtue daan nak minta ganti duit. Karne sebasar apepun kitak tatap anak kamek. Kitak balik sehat wal afiat pun udah suke urangtue kitak pagek.”

Iya, pesan itu, ucapan itu selalu terngiang-ngiang di telinggaku ketika pulang kampung, ketika akan pergi lagi, selalu itu.

“Jah oo Jah” panggil ibuku di seberang sana.

“Haa”.

“Kau sibuk ke ape?” ujarnya lagi.

“Daan sibuk Mak, aku daan bepulsa nak malas sms umak. Udah kupadahkan ke Kepok aku daan bepulsa,” jelasku.

“Oo, mane juak Kepok jak di Singkawang nun e. Aoklah pulsa umak pun dah nak abis juak tok e. assalamualaikum,” kata ibuku menjelaskan kalau ia tak dapat informasi dari adikku.

Hah, entahlah aku juga binggung. Terkadang jika aku ingin pulang izin kepada ibuku, ibu selalu menyerangku dengan pertanyaan, untuk apa aku pulang?, ngapain aku pulang?. Tapi akhir-akhir ini ibu selalu menyuruhku pulang, di saat yang tidak tepat, belum ada libur untuk pulang.

Ibu percayalah aku tak akan melupakan pesanmu, dan berjanji tidak akan menjadi anak durhaka yang lupa akan kampung halaman, percayalah kali ini aku belum bisa pulang karena memang belum selesai Ujian Akhir Semester. Selamat hari ibu, Umak. (*)

Pontianak, 22 Desember 2017


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
TAGGED:
Share This Article