teraju.id, Pontianak – Pemerhati relasi etnis di Indonesia, Dr MD La Ode menanggapi pedas pernyataan Wakil Gubernur Kalimantan Barat Krisantus Kurniawan pada Minggu (23/2) sebagaimana dikutip dari Antara, bahwa orang no-2 di jajaran eksekutif Kalbar itu menyatakan komitmen pemerintah provinsi dalam mengembangkan kebudayaan daerah dengan membangun rumah adat Tionghoa.
“Rumah adat tersebut akan dibangun berdampingan dengan rumah adat Melayu dan Dayak di Kalimantan Barat, sebagai simbol keberagaman dan harmonisasi budaya di provinsi yang dihuni oleh berbagai etnis,” kata Krisantus di Pontianak, Ahad.
MD La Ode yang menulis banyak artikel dan buku mengenai peran etnis Tionghoa di Nusantara mengingatkan beberapa hal. Pertama, bahwa pemerintah harus mengkaji lebih dalam lagi aspek UU dan UUD 1945 perihal pembangunan rumah adat tersebut.
“Sesuai fakta bahwa Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis Pasal 1 Ayat (2) berbunyi bahwa ‘ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan’; dan ayat (3) ‘Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa…”
Beranjak dari sana, MD La Ode mengupas bahwa Tionghoa adalah ras, sehingga tidak tepat dibangunkan rumah adat. Apalagi menggunakan biaya negara. Tak terkecuali di atas tanah negara. Dalam konteks ini direncanakan pada antara dua rumah adat etnik pribumi Dayak dan Melayu.
Dr. M.D. La Ode adalah seorang Ilmuwan Politik, Alumnus Program S3 Fisip UI (Universitas Indonesia). Ia selama ini menekuni studi prilaku politik Etnis Cina Indonesia (ECI), dan studi kasus di beberapa daerah: Kota Medan (Sumut), Pontianak dan Singkawang (Kalbar).
Hasil studi dan pengembangan kerangka teoritis telah menelorkan suatu “teori” sangat mendasar tentang keberadaan ECI seharusnya dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Teori dimaksud adalah “Trilogi Pribumisme”, dapat menjadi resolusi konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Indonesia, juga di berbagai belahan dunia.
Hasil studi dan pengembangan kerangka teoritis La Ode, telah dituangkan di dalam Buku berjudul: Trilogi Pribumisme Resolusi Konflik Pribumi dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia (Jakarta:Komunitas Ilmu Pertahanan Indonesia (KIPI): 2018, 492 Halaman). Buku ini merujuk pada beberapa teori: (1) Asal usul mula terjadinya negara; (2) Negara; (3) Politik; (4) Kedaulatan; (5) Politik Etnisitas; (6) Partisipasi Politik; (7) Otonomi Demokrasi; dan, (8) Multikultural. Metode digunakan grounded theory atau grounded research (kualitatif).
Teori Trilogi Pribumisme berisikan: (1) Pribumi Pendiri Negara; (2) Pribumi Pemilik Negara; (3) Pribumi Penguasa Negara. Dalam kasus NKRI, teori ini menjadi: (1) Pribumi Pendiri NKRI; (2) Pribumi Pemilik NKRI; (3) Pribumi Peguasa NKRI.
Secara keseluruhan Buku ini terdiri dari 7 (tujuh) Bab: Bab I Pendahuluan; Bab II Istilah Tiongkok, Tionghoa, Cina, dan Tinjauan Sejarah Ekonomi Politik ECI di Indonesia; Bab III. Darwinisme Sosial dalam Kekuatan Politik ECI; Bab IV. Tinjauan Strategi Politik ECI untuk Menganeksasi NKRI; Bab V. Dampak Kekuasaan Ekonomi dan Kekuasaan Politik ECI terhadap Pribumi; Bab VI. Resolusi Konflik Pribumi-ECI Akibat Dominasi Ekonomi dan Politik terhadap Pribumi; BAB VII. Trilogi Pribumisme Titik Temu NKRI Harga Mati.
La Ode mendeskripsikan jumlah ECI (Etnis Cina Indonesia) hanya 1,2 % (Juli 2016) atau 3.099.792 jiwa dari keseluruhan rakyat Indonesia 258.316.051 jiwa. ECI ini pasti keturunan imigran di Indonesia. Mereka telah berhasil menguasai ekonomi nasional, dan bahkan mulai melakukan ekspansi menguasai politik nasional. Ada kesenjangan sangat tajam antara Pribumi dan ECI. Warga ECI tidak dapat disangkal bukanlah bangsa Indonesia. Mereka hanya sebagai WNI dalam perspektif politik entitas. ECI telah mendominasi ekonomi nasional dan menyusul akan mendominasi politik nasional. Indikator dominasi kekuatan ECI dalam politik tampak dari kasus diangkatnya ECI dalam politik seperti Ahok menjadi Gubernur DKI dan menjadi Presiden RI
Sangat tidak adil Pribumi lemah berdagang dan miskin ekonomi dibiarkan dan bahkan diperintahkan penguasa bersaing di bidang ekonomi dengan ECI. Padahal, ECI sudah kuat, mendominasi 80 % ekonomi nasional dan menguasai 78 % lahan pertanian dan kehutanan nasional. ECI kuat karena hidup berdampingan dengan Pemerintah. Pribumi lemah, tidak mendapat perhatian dari Pemerintah.
Berdasarkan kajian di atas, MD La Ode mengkritik pedas rencana pembangunan rumah adat Tionghoa di antara Rumah Radakng dan Rumah Melayu. Dan atas teori pribumisme, ia berharap rencana tersebut dikaji lebih dalam lagi. (kan)