Oleh: Syamsul Kurniawan*
Ramadan bisa menjadi kawah candradimuka terutama dalam mempertajam intelektualitas. Intelektualitas ini oleh Coser diartikan sebagai sebagai kapasitas dari orang-orang yang cenderung mencari alternatif terbaik pemecahan berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Jika merujuk ke Bahasa Latin intellectus, maka intelektualitas berbeda tipis dengan definisi kecerdasan atau intelegensi.
Intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya; hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Intelek di sini merepresentasikan daya atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan, yaitu daya akal budi dan kecerdasan berpikir. Kata intelek juga berkonotasi pada kaum terpelajar atau kaum cendekiawan.
Kaitan dengan ini, intelektualitas bisa dipertajam selama bulan Ramadan, sehingga pada saat dan setelah Ramadan, mereka yang mempertajamnya selama bulan ini bisa berperan aktif sebagai change maker, yaitu pembuat perubahan. Harapannya, muncul intelektual-intelektual muslim setelah Ramadhan, yang sekurang-kurangnya mempunyai karakteristik seperti: Satu, ilmu pengetahuan dan agama yang dimilikinya mampu diteorisasikan dan direalisasikan mereka di tengah-tengah masyarakat. Dua, dapat menyampaikan sesuatu yang positif dengan bahasa kaumnya dan mampu menyesuaikan dengan tren lingkungannya. Tiga, memiliki tanggung jawab sosial untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi dinamis, serta dapat menjawab tantangan-tantangan kehidupan kehidupan di masa yang akan datang.
Di sinilah tantangannya, bagaimana bulan Ramadan bisa menjadi momentum positif, dalam mempertajam intelektualitas, dalam pengertian muncul segolongan umat ini yang mampu berbuat banyak bagi umat dan bangsanya sehingga berkemajuan dan berkeadaban, serta mengatasi segala permasalahan bangsa yang komplek.
Kaum intelektual memang bukan satu-satunya yang paling bertanggung jawab mengatasi masalah bangsa ini. Tapi perlu diingat, pengelola negara dan policy maker adalah orang yang rata-rata dapat dipastikan berangkat dari lokus intelektualitas. Jika bangsa ini rusak, kelompok intelektual sudah barang tentu menjadi tertuduh pertama. Mengingat, sosok intelektual senantiasa digadang-gadang menjadi pionir utama dalam menapaki perubahan, idealnya umat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas di negeri ini, yang menjalani ibadah Ramadan di setiap tahunnya, bisa membalikkan keadaan yang kontraproduktif tersebut.
(*Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak/Akademi Riset LP2M IAIN Pontianak)