in

Pengalaman BWI Studi Banding ke Pengembangan Aset Wakaf Produktif Mesjid Jogokariyan

Mesjid Jogokaryan dilihat dari perempatan jalan

teraju.id, Yogyakarta – Hari itu langit biru membuka pagi di Kota Pelajar, Yogyakarta. Kami sarapan dengan gudeg yang semakin menabalkan “kemanisan” kota istimewa di Indonesia ini. Sebelumnya kami menghabiskan hari pertama studi banding di dua kota: Mojokerto, Jawa Timur dan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penghujung Desember ini biasanya langit mendung dan tanah basah oleh hujan, namun kini cerah, bahkan cenderung gerah. Banyak netizen di gawai komunikasi meributkan kenapa Yogya hari-hari terakhir — tetiba panas mencapai 31 derajat Celcius. “Rasanya berada di Bumi Khatulistiwa saja,” kata pengajar ilmu ekonomi syariah, Rasiam Bintang.

Kami, rombongan studi banding dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat bergerak dengan Jet Bus kawasan padat aktivitas seni dan ekonomi Molioboro menuju mesjid makmur yang tersohor sampai ke mancanegara: Jogokariyan. Pendingin di kabin metro bus ini cukup pakem menyegarkan badan dari udara luar yang terus menanjak naik tensinya.

Mural penyemangat umat

Hanya dalam hitungan seperempat jam, jet bus berhasil mencapai sasaran. Dari balik kaca mobil, kami sudah dapat melihat sebuah bangunan mesjid berdiri dengan aura kemakmurannya. Tulisan nama Mesjid Jogokariyan mencolok mata dengan warna-warninya.

Koordinator studi banding, Mas Pardi yang juga anggota BWI Kalbar di bidang kenadziran segera berkoordinasi dengan pihak sekretariat yang mempersilahkan rombongan memasuki ruangan. Namun seluruh anggota BWI mohon izin untuk shalat duha terlebih dahulu sambil mengamati keadaan mesjid yang berdiri sejak 1966 ini.

Semua sudut mesjid bersih. Karpet sampai ke toilet. Udara luar yang gerah sirna oleh air wudhu yang dingin dan lancar. Terlebih alunan murotal yang lirih dan merdu mengalun bak membelai hari yang gersang. Juga ada kelas bimbingan mengaji alquran yang terdengar dari lantai dua. Kelas akhwat, atau ibu-ibu. Mesjid dengan ornamen hijau muda itu terasa terang benderang.

Takmir Mesjid Jogokariyan menjawab setiap pertanyaan secara dialogis

Jam menunjukkan pukul 09.30 WIB. Takmir membuka pertemuan dengan mempersilahkan BWI Kalbar yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Kamarullah,SH, M.Hum dan Kabid Penais Ziswaf, Drs. H. Rohadi, M.Si untuk mengutarakan maksud kedatangan studi banding ke Jogokariyan.

Baca Juga:  Anshari Dimyati: Jadikan Kalbar sebagai Center of Malay di Dunia

Tentang wakaf, memang benar bahwa mesjid yang diberi nama sesuai nama daerah Jogokariyan mengikuti sunnah Nabi SAW ketika membangun mesjid pertama di era Rasulullah SAW berhijrah dari Mekah ke Madinah, yakni Quba. Tanahnya wakaf, dan di atas tanah wakaf tersebut dibangun mesjid. Jogokariyan juga begitu.

Wakaf tanah Jogokariyan berasal dari warga setempat. Adapun nadzir, atau pengelola yang memelihara serta mengembangkan aset wakaf adalah dari organisasi yang digerakkan oleh KH Ahmad Dahlan: Muhammadiyah.

“Dulu daerah sini banyak eks komunis pasca gerakan 1965: Partai Komunis Indonesia atau PKI,” ungkap takmir. Dan Mesjid Jogokariyan berfungsi untuk mengembalikan kepada idiologi yang benar, yakni berketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu sejak awal, aksara mesjid menggunakan tiga bentuk. Pertama aksara Jawa. Kedua, aksara Arab. Ketika aksara Latin-Indonesia.

“Penggunaan tiga aksara itu menunjukkan bahwa Mesjid Jogokariyan ingin menerapkan praktik keislaman sesungguhnya alias kaffah, namun tidak kehilangan akar kebangsaan dan kulturalnya,” jelas takmir sambil membuka beberapa file presentasi, antara lain sejarah, manajemen hingga aktivitas Kampoeng Ramadhan. Kesemua bahan presentasi juga tersedia di laman website resmi Mesjid Jogokariyan. Termasuk slide vidio.

Deret penghargaan dipajang di galleri hall mesjid

Mesjid Jogokariyan salah satu dari lebih kurang sejuta mesjid, musholla dan langgar di Indonesia yang paling makmur. Bahkan ibadah shalat subuhnya saja sampai luber ke jalan raya.

Baca Juga:  Gubernur Luncurkan Buku "Kacamata Sutarmidji", Prof Edi Suratman: Sutarmidji Bukan Pemimpin Biasa

Mesjid ini juga selalu mengosongkan kotak amal atau isi kasnya. Tidak bangga dengan saldo ratusan juta tetapi di sekitar mesjid ada hamba Allah yang kelaparan. Dasar pemikirannya adalah uang itu habis dipakai untuk melayani ummat, dan pihak yang berinfak langsung dapat menikmati panen amal jariyahnya.

Selalu ada saja ide-ide kreatif yang lahir dari takmir dan remaja mesjid Jogokariyan yang membuat semangat keimanan kita meningkat ke langit-langit. Salah satunya adalah mesjid terbuka 1×24 jam. “Bagi mereka yang sulit tidur malam ada tempat untuk ngopi dan ada teman ngobrol, daripada mereka ke diskotik,” ujar takmir seraya menjelaskan pedagang kaki lima dilayani berjualan di halaman mesjid.

Mesjid Jogokariyan tidak hanya mengandalkan kotak amal, tapi juga membuka QRIS di mana hamba Allah bisa langsung transfer dana infak dan shadaqahnya. “Kalau kotak mesjid paling banter dapat menerima selembaran Rp 100 ribu, tetapi via transfer bisa jutaan…

Prof. Dr. H. Kamarullah, SH, M.Hum (tengah) diapit penulis (kiri) dan Koordinator Studi Banding BWI, H. Supardi di depan 3 aksara Mesjid Jogokariyan

Adapun takmir tidak bergaji. Mereka semua ikhlas mengabdi sebagai pegawai Allah SWT. “Allah sudah atur rezeki setiap hamba-hamba-Nya. Yang mendapatkan gaji hanya marbot dan security,” kata takmir sambil menjelaskan para takmir juga rela merogoh kocek lebih dalam untuk memakmurkan mesjid sebagai “Bendahara Ketiga”. Adapun bendahara 1 adalah arus dana masuk ke mesjid dan bendahara kedua adalah unit usaha seperti kamar penginapan syariah yang berada di lantai 3, serta unit toko souvenir atau marchandize merk Jogokariyan.
Kaderisasi diwujudkan dengan Pemilu Takmir. Tata caranya seperti Pemilu di Indonesia. Ada calon yang mesti dikenal dan aktif ke mesjid. Ada pemilih yang juga aktif memakmurkan mesjid. Bahkan juga ada peta 9.000 KK yang diwarnai dengan hijau tua untuk KK yang shalat lima waktu di mesjid. Hijau muda yang masih belang-kambing. Serta merah bagi yang non muslim. Non muslim hanya 5%. Dan yang dominan adalah hijau tua sehingga membuat hadirin tertawa…

Baca Juga:  Alumni dan sekolah almamaternya

Karena waktu yang terbatas, BWI Kalbar sudah akan bertolak dengan jalan darat ke Bangkalan-Madura, pertemuan pun ditutup dengan doa bersama. Beberapa anggota BWI merogoh kocek membeli cinderamata seperti turban, kopiah, dan tentu saja mengabadikan momentum indah di mesjid kaya ide-ide kreatif dan selalu menampilkan “service excellent” atau layanan terbaiknya kepada seluruh jamaah, sampai-sampai jika ada sandal, sepeda, atau bahkan motor yang hilang, akan selalu diganti oleh takmir mesjid agar mereka tidak jera datang beribadah ke mesjid.

Sebagai kata penutup, Prof. Dr. H. Kamarullah, SH, M.Hum menegaskan, “Bahwa aset tanah wakaf yang produktif selalu terjadi dari tangan-tangan terampil para nadzir yang produktif pula. Tugas BWI adalah bagaimana memintarkan para nadzir dalam mengelola aset wakaf seperti Mesjid Jogokariyan ini,” simpulnya. (kan)

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

Muhammad Isnaeni: Nama Saya Dicatut

Lahan Kosong? Awas Ada Mixue!