Oleh: Nur Iskandar
“Ustadz Abdul Somad itu ceramahnya bagus. Ia disukai jutaan jamaah. Dai kondang Indonesia. Beliau harus kita rangkul.” Itu pernyataan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Brigjen Pol Ir Hamli, ME saat bersilaturahim bersama para ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) 32 provinsi seluruh Indonesia di ruang pertemuan Irish, Easparc Hotel, Yogyakarta, Jumat, 8/12/17 sekitar pukul 16.30. Dalam pertemuan itu Hamli menyampaikan beberapa poin penting terkait kerja besar BNPT bersama FKPT untuk menjaga stabilitas negara dari paham radikalisme dan terorisme.
Tampil mengenakan kemeja putih lengan pendek, Hamli tampil “humble”. “Kita pakai baju putih seperti Pak Hadi,” ungkap Hamli saat beramah-tamah dengan FKPT. “Pak Hadi suka baju putih, jadi Panglima TNI. Sama dengan Pak Jokowi, suka baju putih, jadi kepala negara,” ujarnya seraya senyum. “Bapak-bapak kalau jadi gubernur semua di 32 provinsi, saya bisa jadi presiden,” guyon Hamli meledakkan tawa para ketua FKPT yang tampil berbaju batik warna merah. “Yang saya maksud Presiden Direktur,” sambungnya juga tertawa.
Poin penting yang disampaikan Hamli setelah “ice-breaking” humor tersebut di atas adalah terkait isu global dan nasional. Pertama mengenai Yerussalem yang pada hari Rabu, 6/12/17 diumumkan Presiden AS, Donald Trump, resmi diakui pemerintas AS sebagai ibukota Israel dan kedubes AS akan dipindahkan dari Tel Aviv ke kota suci tiga agama tersebut (Islam, Kristen, Yahudi). “Keguncangan internasional akibat keputusan politik Trump itu mesti diwaspadai,” tutur Hamli.
“Para kepala negara sudah mengutuk keras. Kita tahu itu. Demo-demo juga terjadi di berbagai belahan penjuru dunia. Namun, yang mesti kita waspadai adalah penganut paham radikal. Kita waspadai terjadinya teror di malam natal dan tahun baru,” ulas Hamli. Hadirin mengangguk-angguk tanda ikut berpikir tentang kenyataan global yang sangat rawan ini.
Hamli menceritakan adanya 4 WNI ditangkap di Malaysia karena hendak ke Marawi, Filipina. Tujuannya transaksi senjata. Senjata ini buat apalagi jika tidak teror? Apalagi Marawi terkait dengan ISIS. Di Mesir ISIS meledakkan bom dan menembak mati jamaah shalat Jumat di masjid. 300 orang lebih tewas meregang nyawa.
“Baru berlangsung beberapa menit khutbah, ada bom meledak di luar. Di saat orang-orang masuk ke dalam masjid, atau ada yang hendak menolong, justru ditembaki dari berbagai penjuru. Kami punya rekamannya,” ulas Hamli seraya geleng-geleng kepala, lantaran yang menembak berteriak Allahu Akbar. “Islam macam apa yang mereka bawa?”
Poin kedua, dari Yerussalem, terhubung dengan kekalahan ISIS di Suriah dan Iraq. “Secara kekuatan bersenjata ISIS memang sudah dikalahkan, tapi idiologinya tetap tumbuh mengikuti pelarian para pengikutnya,” kata Hamli. Fatwa ISIS adalah menyerang dari negara masing-masing, dan menggunakan perempuan serta anak-anak sebagai martir.
“Tugas BNPT dan FKPT menjelaskan kepada masyarakat,” imbuhnya.
Poin ketiga adalah moderasi di Arab Saudi. Ini fenomena yang menarik, di mana dahulu perempuan dilarang setir mobil, kini sudah boleh. Bahkan menteri pendidikan dijabat perempuan. Panggung musik juga sudah marak di Jeddah dan Ryad. Perempuan juga sudah bisa jadi penyiar radio atau televisi.
Hamli menyebutkan pada tahun 1979 Kota Mekah pernah dikudeta. Masjidil Haram dikuasai pemberontak selama lebih dari satu bulan. Tentara Arab baru bisa menguasai Mekah setelah minta bantuan tentara Perancis.
Sejarah tersebut menurut Hamli perlu dicatat. Sebab pemberontak di Mekah yang lari itulah kemudian menyemai idiologi kekerasan di Afghanistan. “Paham ini yang pada dua dekade terakhir merasuki Indonesia,” timpal Hamli seraya mengajak pengamatan atas moderasi di Saudi akan mengarah kemana? Sukses atau gagal. Hal tersebut lantaran musim semi demokrasi di Timur Tengah sebagian besar menimbulkan korban dan membutuhkan proses panjang untuk mencapai sebuah kestabilan baru.
Poin ketiga konflik di Marawi dan Rohingnya. “Konflik di Marawi relatif selesai, namun Rohingnya belum.” Untuk itu perlu diwaspadai karena secara geografis sangat dekat dengan Indonesia. Sementara Indonesia menjadi “surga” bagi mereka yang berpaham radikal, lantaran luasnya wilayah negara, serta perlindungan dari lembaga HAM. “Aparat kita menangkap takut pelanggaran HAM. Maka mereka suka ke Indonesia dibandingkan ke Malaysia atau Singapura,” tutur Hamli seraya menyitir penangkapan oknum pelaku teroris di Majalengka memiliki bahan kimia bom luar biasa banyaknya dan terkait bom Cicendo, bom panci hingga bom thorium.
“Umat Islam Indonesia banyak yang tidak percaya akan data-data seperti ini. Mereka mengatakan ini konspirasi atau standar ganda negara adikuasa,” timpal Hamli. Hanya dengan membawa mantan teroris yang sadar seperti Ali Fauzi, Ali Imron, Nasir Abbas, banyak tokoh teras nasional baru percaya. Mantan teroris yang sadar itu menyebutkan runtutan kepercayaan mereka kepada ustadz, imam, atau pemimpin / khilafah. Dan hal itu nyata adanya.
Secara nasional Hamli mengajak FKPT dan masyarakat Indonesia mewaspadai kerawanan sosial akibat adanya Pilkada serentak tahun 2018. “Banyak tempat di Indonesia di mana pesta politik ini hanya bertendensi kemenangan, tak soal dengan agitasi etnis dan agama. Maka kita mesti mewaspadai hal seperti ini disusupi mereka yang radikalis/teroris, terutama kepada masyarakat awam untuk bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah/agitatif sehingga stabilitas Indonesia tetap terjaga.” Kata Hamli, Indonesia jangan seperti Timur Tengah “spring” yang menelan banyak korban.
UAS Harus Dirangkul
Hamli mengakui bahwa ia suka akan dakwah Ustadz Abdul Somad. Sama dengan saya. Saya juga suka dengan model dakwah UAS yang ringan, sesekali diselingi humor, dan dia menguasai 4 imam madzhab. Wajar ulama asal Riau ini juga disukai jutaan umat di Indonesia. Sewaktu tampil di Masjid Raya Mujahidin Pontianak beberapa bulan lalu, puluhan ribu jamaah hadir dalam subuh akbar. Kehadiran jamaah itu laksana shalat Idul Fitri. Adapun uraiannya tetap sejuk, segar, tak ada menyentuh kekhalifahan seperti dimaksud mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain.
“Tokoh idola seperti UAS mesti kita rangkul agar dakwahnya turut menyejukkan dari poin global dan nasional di atas,” kata Hamli. Sebab ulama yang tak jarang “salah tangkap” perihal khilafah menyebabkan terjadinya keresahan. Hamli menyebut beberapa organisasi yang berplatform khilafah islamiyah.
Menurut Hamli, dari tayangan youtube, ada beberapa kali ceramah UAS menyoal khilafah yang dinilai keras. “Hal ini berbahaya,” urainya. Tetapi Hamli juga menyambung, klarifikasi dari UAS.
Begitu Hamli menguraikan soal khilafah tersebut di atas, seorang ketua FKPT membacakan portal berita, bahwa UAS ditolak di Bali. Tak pelak seisi ruangan menjadi geger. “Baru saja saya bicara, sudah kejadian di Bali,” timpal Hamli seraya berharap situasi segera kondusif.
Saya sendiri kemudian menelusuri pemberitaan soal penolakan UAS di Bali. Bermunculan banyak keterangan. Namun ternyata, akhirnya, penolakan itu bisa dicarikan solusinya. UAS tetap dapat berceramah sepanjang 8-9/12/17 di Bali dalam situasi kondusif. Kondisi penolakan ulama ini juga pernah terjadi di Sintang dan Kota Pontianak, Kalbar, tetapi juga kemudian menjadi kondusif.
Sebagai anggota FKPT bidang media, saya sendiri merasakan bahwa ada peningkatan intoleransi di Indonesia. Berbagai hal menjadi latar-belakangnya. Terutama terkait kata kafir dan khilafah. Kemudian disusul dengan bukti rekaman di media konvensional atau media sosial.
BNPT sendiri meneliti tentang intoleransi bertendensi radikalisme ini di 32 provinsi pada tahun 2017. Bahwa kemiskinan/kesejahteraan beserta ketidakadilan merupakan fundamental kerawanan tersebut. Adapun penelitian juga mengungkap, solusi jitu penangkal radikalisme dan terorisme adalah kearifan lokal, kesejahteraan dan keadilan.
Mari bersama-sama kita jaga Nusantara. Yakni dengan mengatasi faktor penyebab kerawanan sosial di lingkungan kita, dan memperkuat ketahanan yang ada di sekitar kita pula. *