“Tasawuf itu tidak meninggalkan dunia, tetap terkenal tapi sederhana, seperti Emha Ainun Najib,” kata pak Nazaruddin dosen Tasawuf saya di IAIN Sultan Syarif Kasim tahun 1996.
Tahun 1998, saya ke Mesir, kawanku punya buku-bukunya, ku baca, diantaranya Slilit Sang Kyai. Sampai hari ini, aku tetap menontonnya di Youtube.
Rencana kawan-kawan mempertemukan di Jogja, di Gontor, di Jogja lagi. Ku biarkan taqdir berjalan mengikuti alurnya. Jam 10 lewat sedikit, roda kenderaan mulai berputar, mataku pun mulai berhenti, aku tertidur. Insya Allah akan ketemu di Jogja.
Tiba-tiba, “Kita sudah sampai di tempat Cak Nun”. Masih di Jombang. Seperti walimah nikah. Ternyata wisuda SMK. Bertemu dengan bibit bibit hijau penuh semangat. Ternyata, pertemuan di sini yang tertulis di Lauhul-Mahfuzh.
Demikian ungkapan hati Ustadz Abdul Somad menceritakan detik-detik pertemuannya dengan sosok yang dikaguminya, Cak Nun. Pada kesempatan tersebut, UAS juga diminta Cak Nun untuk melantunkan ilahilastulil firdaus-nya Abu Nawas.
Cak Nun menceritakan bahwa tahun 2003, Kiai Kanjeng pernah berkunjung ke Mesir. Namun UAS sudah meninggalkan Mesir tahun 2002. “Sengaja Allah tidak mempertemukan kita di Mesir, supaya bisa bertemu di sini,” beber Cak Nun ber-tahadduts binni’mah.
Banyak hikmah dibincangkan antara UAS dan Cak Nun. Sembari duduk dan makan di rumah Cak Nun dibesarkan hingga 1966. Cak Nun bercerita panjang lebar. Tentang pagar-pagar yang membiarkan diri dilompati seenaknya. Tentang sosok yang disangkakan jauh dari rasa takut, tapi pada hakikatnya amat sangat ketakutan.
“Perpisahan tak mampu menghentikan kami, karena doa tetap menyertai,” pungkas Ustadz yang baru saja menyunting santriwati alumni Gontor tersebut.