Dear Setyawati, anakku.
Maaf ya, Nak. Lebih dari tiga bulan bapak baru sempat berkirim surat lagi. Ingat, kan, surat terakhir tertanggal? Tanggal 16 Mei 2023, bukan?
Surat tersebut bapak draft di kamar saat ibu menjalani kemo pertama. Di sebuah ruang 2×3 m dengan pintu berlapis dua, bekas kamar isolasi pasien Covid-19.
Konon kabarnya, semua pasien Covid-19 yang masuk kamar itu, tak pernah kembali ke keluarganya. Aura yang mencekam masih dapat dirasakan.
Bapak hampir tak sempat membuat catatan lagi tentang perkembangan ibumu. Karena? Kondisinya turun-naik dengan cepat. Bapak, rasanya, tak sempat ‘bernapas’.
Di minggu terakhir bulan Agustus ini, kondisi ibumu lumayan baik. Semoga seterusnya. Dokternya sudah menurunkan rencana terapi dari 12 kali menjadi delapan kali. Itu, berarti tiga kali lagi.
Tiap kali kemo, rata-rata, diperlukan 3-4 hari di rumah sakit. Dan, jika kondisi baik, 15 hari berikutnya kembali menjalani kemo berikutnya.
Mestinya, seperti itu. Tetapi, ibumu berbeda. Justru 4-5 hari setelah kemo ibumu merasa sakit sekali. Bahkan, sering tidak mampu turun dari tempat tidur.
Di hari ke-enam atau ke-tujuh mulai sedikit membaik. Nah, mulai ke-delapan ibumu ‘memaksa’ masuk kerja. Walau, tubuhnya masih lemah dan tentu juga sakit. Bahkan, berganti pakaian pun masih harus dibantu.
Tetapi, bukan ibumu kalau tidak mau istirahat di rumah Dengan menggunakan jasa go-car bapak mengawani ibumu masuk kerja tiap hari sampai jadwal kemo berikutnya.
‘Tidak enak makan gaji buta’, katanya.
Dear Setyawati, anakku.
Saat duduk menunggu ibu menyelesaikan pekerjaannya, pikiran bapak sering melayang jauh tanpa tujuan. Rasa takut dan khawatir akan kesehatan ibumu selalu muncul.
Di ruang tunggu itu, kadang bapak bertanya, ‘Kenapa saya takut ditinggalkannya’. Perasaan itu menggemakan ucapan ibumu di tempat tidur di tengah malam ketika ibu terbangun untuk bernovena.
‘Aku takut, Mas’, bisiknya pelan.
Karena ia dokter, tentu, ia tahu setiap kemungkinan yang bisa terjadi dengan dirinya.
‘Kita semua takut kehilanganmu’, jawab bapak.
Di malam-malam yang seperti itu, bapak dan ibu berdoa di depan gambar Maria, Bunda Yang Lembut Hati. Bunda ‘mbopong’ Sang Putera dengan tangan kanan dan tangan kiri, dengan lembut, menopang lengan kanan puteranya.
Memandangi gambar itu, bapak dan ibumu belum pernah berhasil melakukan kontak mata dengannya. Sebaliknya, Bunda sama sekali tidak memandang kami.
Kami, sering, merasa ditinggalkannya. Anehnya, tidak merasa tidak diperhatikan. Kenapa?
Dear Setyawati, anakku
Dengan doa yang lebih khusuk dan lebih intens, di suatu malam merasakan ada dorongan lembut agar memperhatikan lengan kiri Bunda. Terasa, tangan itu mengundang kami agar mendekat kepada Sang Putera.
Tampak, ada seberkas cahaya terang yang menerpa sebagian wajah Bunda dan wajah Sang Putera.
Begitu lembut mata Sang Putera menatap wajah Bunda. Ada senyum yang teramat manis ditujukan di antara mereka berdua.
“Mendekatlah kepada Puteraku. Ia akan melindungimu”
Itu bisikan lembut yang bergetar di kedalaman hati kami berdua.
Bisikan itu mengingatkan bapak akan doa-Nya yang terakhir bagi para murid.
Ia berkata:
“Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat” (Yoh 1715).
“Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia” (Yoh17:16).
Ya, kita semua – bapak, ibu, abang, engkau, dan semuanya, bukan berasal dari dunia. Kenapa takut ditinggalkannya. Atau juga, kenapa takut meninggalkan dunia.
‘Mata Bunda menarik perhatian kita kepada tangannya. Tangannya mangarahkan kita kepada Sang Putera. Ia, Sang Putera, menuntun kita kembali kepada Dia yang berbicara kepada-Nya, atas nama umat manusia’ (Henry J.M. Nouwen, 2004).(Leo Sutrisno
RS, 30 Agustus 2023)