Oleh: Intan Mufidah*
Sebelum menyambut bulan puasa biasanya masyarakat Muslim, apapun etnisnya, di Kalimantan Barat terlihat berbondong-bondong untuk berziarah ke makam sanak saudaranya, yang sudah wafat. Kenapa begitu?
Di kalangan muslim-Madura misalnya, sebagaimana latar belakang etnis saya, ada beberapa kepercayaan bahwa pada bulan puasa ruh akan bangkit dan ikut serta berbuka puasa di hari pertama. Maka, pada saat itu jika ada makanan yang basi seketika berarti makanan tersebut dicicipi oleh sanak saudara kita yang sudah wafat. Begitu rapatnya hubungan antara yang hidup dengan yang mati, maka ziarah ke makam sanak saudara perlu dilakukan.
Apapun mitos yang mendampingi seputar ziarah kubur, kepercayaan yang beririsan dengan tradisi ziarah kubur, tetaplah positif. Tradisi yang positif ini, bisa tetap kita pelihara, dan tak perlulah urat nadinya kita potong dari selera beragama kita. Toh, dalam Islam, ziarah kubur juga ada banyak sandaran hukumnya. Konon Rasulullah memang pernah melarang tradisi ini, sampai kemudian membolehkannya.
Rasulullah Saw bersabda dalam salah satu haditsnya: “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah)”. (HR Hakim).
Singkat kata, berdasarkan hadist ini, ziarah kubur punya manfaat bagi kita. Bagi saya pribadi, berziarah bermanfaat untuk mengingatkan kembali kita yang masih hidup bahwa dunia ini hanya tempat singgah sementara, dan juga jadikan momen bukan suci ini sebagai momen bersyukur karena telah bertemu kembali di puasa yang mulia. Tidakkah, jika kita bersyukur, Allah SWT akan tambah nikmat-nikmat kita? (QS. Ibrahim: 7). Betul ’kan?.(*Mahasiswi Prodi PAI IAIN Pontianak/ Akademi Riset LP2M IAIN Pontianak)