Oleh: Dewa Ruci
Sering kita melihat betapa sumringahnya seseorang ketika mendapat panggilan dari sang kekasih, dan begitu tergesanya seorang bawahan pada saat dicari oleh tuannya. Kiranya begitu gambaran ideal seorang muslim saat mendengar seruan adzan. Meski demikian, tak jarang kita juga menyaksikan muslim yang justru abai dan berleha-leha saat mendengar suara adzan. Kenyataan tersebut tentu memunculkan tanda tanya, apakah ‘panggilan’ dari-Nya tidak lagi penting? Apakah kesibukan yang dilakukan jauh lebih utama dari seruan untuk beribadah pada Sang Pencipta?
Padahal Allah Swt-lah yang memberikan berbagai karunia, baik berupa nikmat kesehatan, pekerjaan, kecerdasan serta kemampuan sehingga kita dapat bekerja dan menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, karena kasih sayang dari-Nya lah kita memperoleh nikmat terbesar berupa Islam dan iman.
Memang ada perkecualian atau uzur bagi pekekerjaan tertentu yang harus dimaklumi, sebab jika ditinggalkan justru memunculkan mudarat. Sebagai contoh, dokter yang sedang menangani pasien gawat harus mendahulukan keselamatan pasiennya, pemadam kebakaran yang bertugas menangani kebakaran harus memprioritaskan keselamat jiwa banyak orang, atau polisi yang bertugas melakukan pengamanan tentu harus menjalankan pekerjaannya dengan baik. Semua pekerjaan tersebut atau yang semisal dengannya tentu dapat dimaklumi.
Persoalannya, tak jarang sikap lalai mengakhirkan sholat justru disebabkan oleh kesibukan yang sejatinya dapat ditunda seperti olah raga, bermain game, atau mengerjakan laporan, dan lain sebagainya. Lantas, apakah aktivitas tersebut memang sebanding dengan mengakhirkan sholat? Apakah kesibukan kita memang lebih penting daripada menghadap Allah Swt.? Dalam hal ini, kita sendirilah yang bisa menjawabnya.
Ihwal ini, barangkali kita perlu mengingat kembali perkataan Nabi Sulaiman as. yang diabadikan dalam Qs. An-Naml: 40
“…Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). …”
Semua karunia yang kita peroleh, baik itu pekerjaan, rezeki, kesehatan dan lain sebagainya tak lain adalah nikmat dari Allah Swt. Sudah sepatutnya kita mencontoh Nabi Sulaiman yang sepenuhnya sadar bahwa segala sesuatu merupakan pemberian dari-Nya. Kesadaran tersebut tercermin dari rasa syukur kita serta menjadikan Allah Swt sebagai tujuan akhir. Dan salah satu bentuk atau wujud syukur sebagai seorang muslim adalah menyegerakan sholat, mendatangi masjid ketika mendengar ‘panggilan-Nya’, bukan abai dan lalai terhadap-Nya.
Oleh sebab itu, pada momentum ramadan ini, marilah kita meningkatkan ‘kesadaran eksistensial’ sebagai seorang hamba serta lebih mencintai Allah Swt. dengan cara menjaga sholat di awal waktu secara berjamaah. Semoga Allah Swt. menjaga kita dari disibukan akan perkara dunia yang melalaikan kita pada akhirat. Sungguh kita ingin agar dunia ini menjadi ladang amal bagi kita untuk bekal nanti di akhirat, bukan menjadikan kehidupan dunia ini menjadi ladang dosa.