Pagi itu saat kami duduk di jungkar (seperti teratak) di belakang, tiba-tiba, Umak menyarankan kami membuat cuka’ ram(b)ai.
“Nyaman, nanti untuk lalap daun ubi,” katanya. Dahulu, Umak sering membuat cuka’ ramai, dan menjadi cadangan makanan penyedap selama berbulan-bulan. Samar-samar saya masih mengingat rasa cuka’ ramai yang lumayan enak, sebelum kami berkenalan dengan cuka botol. Kalau mau makan cuka’ ramai, kami ambil dari dalam botol yang disimpan di pak-pak dekat dapur.
Kata Beliau, membuat cuka ramai mudah. Potong buah ramai, lalu peras atau tiriskan di bakul hingga airnya menetes. Air itu kemudian dimasak. Boleh campur garam untuk memberi rasa tambahan asam manis cairan itu.
“Hanya itu.”
“Cuma, bakul kita mana ya? Ada ndak?!”
Saya, antara mau dan tidak. Mau, karena bahan buah ramai ada. Tidak mau, karena Umak lagi banyak pantangan. Beberapa waktu lalu, beliau diperiksa, darahnya tinggi sekali. Nanti, kena cuka ramai plus daun ubi… Wah…
Kami melewatkan tema cuka ramai. Pindah pada tema lain.
Hingga, kemarin, terpandang lagi buah ramai di dekat dinding itu. Sayang juga.
“Kita buat cuka ramai, yuk.”
Istri agak kaget. Tetapi saya mendekat dan berbisik.
“Sayang kalau kita tidak belajar kearifan lokal ini.”
Dia maklum. Lalu kami menyiapkan alat yang diperlukan. Pisau, tatakan, saringan santan sebagai pengganti bakul, baskom. Sekalian, mencuci kulit buah ramai.
Saya mulai memotong buah dan memerasnya seperti memeras jeruk sambal. Umak kemudian nimbrung, ikut memotong buah itu.
Sebentar saja selesai. Setumpuk isi buah ramai ada dalam tirisan santan, ditiris. Setelah semalaman, airnya ada lebih kurang setengah gelas kecil. Ha ha…
Pagi tadi Umak memasak airnya. Ada-lah tersisa sesendok dua. Saya mencicipnya. Nyam… asam, manis, asin, terasa khas. Rasa yang mengingatkan saya pada momen 40 tahun lalu.
Terima kasih Umak. (*)