Oleh: Nur Iskandar
Entah mengapa dari dulu kata diskresi sangat menarik perhatian saya. Satu kata unik dan nyentrik. Selain enak didengar, ringkas, juga arti dan maknanya dalam.
Kata diskresi tidak saya dapatkan di bangku kuliah. Sebab saya kuliah di Fakultas Pertanian, bukannya Fakultas Hukum. Di Fakultas Pertanian kajian katanya agronomi, klimatologi, fisika, kimia dan biologi. Tak pernah kami anak-anak Pertanian bertemu dengan kata diskresi.
Saya mendengar kata diskresi dengan cara unik dan nyentrik pula. Meluncur. Mendesing melewati daun telinga. Suaranya keras. Khas. Ada nada Sulselnya. Mirip-mirip menyebut kata Karebosi. Sebuah lapangan besar di Makassar.
Pemilik suara bariton itu sosok bukan sembarangan. Bintang tiga di pundaknya. Kenyang makan asam garam kehidupan penegakan hukum di Nusantara.
Pasalnya beliau bersuara nyaring dengan ungkapan kata diskresi adalah menyaksikan layar tivi plat di ruang kerjanya yang berada di dekat patung Gadjahmada Jalan Untung Suropati. Saat itu disiarkan aksi demonstrasi besar-besaran menyikapi Peristiwa Cikeusik.
Peristiwa Cikeusik ini terkait aliran Ahmadiyah. Massa menggeruduk aliran yang dinyatakan sesat karena menganggap Nabi Muhammad bukan al-khataman nabiyyin atau penutup dari segala nabi dan rasul melainkan Mirza Ghulam Ahmad. Satu orang anggota Ahmadiyah tewas terbunuh dari aksi penggerudukan atas nama agama di awal tahun 2011 tersebut.
Polisi bergerak menyikapi kasus Ahmadiyah di atas. Namun massa hingar bingar. Apalagi masih panas suasana reformasi di mana polisi dipandang sebelah mata.
Di layar kaca terlihat massa mendorong dan menolak mobil Dalmas (Pengendalian Massa) sehingga oleng kanan-oleng kiri. Pada akhirnya tersungkur. Terjengkang. Terjerembab jatuh dengan roda ban mengangkang. Tepelongkeng…Sebelum massa tampak melempar dan membakar mobil Dalmas itu pria bertubuh tegap yang pernah menjadi Dankor Brimob itu kembali berkomentar, “Diskresiiii!”
Komentar pakar yang saya dengar di balik tayangan siaran langsung tivi di ruang kerja Wakapolri tiada lain ketakutan polisi di lapangan melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Mau menghalau massa apalagi perintah tembak di tempat akan berhadapan dengan pelanggaran HAM. Risikonya sangat besar.
“Diskresiiiii….!” Wakapolri Komjen Jusuf Manggabarani 3x nyaris berteriak. Dimaksudkan beliau, polisi tidak ragu mengambil sikap tegas di lapangan agar massa bisa dikendalikan.
Karena tidak tahu, saya tanyakan, “Apa arti diskresi Puang?”
Mantan Kapolda Sulawesi Selatan yang juga mantan Irwasum yang terkenal mental baja itu menjawab simpel. “Kebijakan khusus dari pimpinan karena di lapangan membutuhkan keputusan cepat dan demi keselamatan publik.”
Pria yang digelari Hoegeng kedua di Mabes Polri ini sempat dicopot dari posisi Kapolda Sulsel lantaran melindungi anak-buahnya dalam menertibkan demonstrasi besar-besaran mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI). Dia ditarik ke Mabes sebagai Staf Ahli Kapolri, namun karirnya tetap bersinar terang sehingga bisa mencapai Kapolri-2 dengan tugas menjaga Kamtibmas seluruh Indonesia. Naik level jauh dari Kapolda.
Sikap Wakapolri Jusuf Manggabarani memang terkenal keras dan tegas. Ia menjunjung dua kata: Jurdil! Jujur dan adil. Maka diskresi yang diambilnya di medan tugas adalah benar-benar didasari jujur dan adil dibarengi sikap keras dan tegas tanpa pandang bulu.
Memang Jusuf Manggabarani menelan pil pahit dalam meredam demonstrasi mahasiswa UMI berupa dicopot dari Kapolda Sulsel ke Mabes Polri, namun situasi justru membutuhkannya sebagai Kadiv Propam, Irwasum dan akhirnya menjadi Wakapolri. Kisah lengkapnya di dalam buku biografi Jusuf Manggabarani Cahaya Bhayangkara yang saya tulis selaku jurnalis di awal tahun 2011.
Begitulah pemimpin yang hebat dan kuat. Tidak takut dengan aji pamungkas bernama diskresi.
Sekali lagi diskresi adalah jurus pamungkas dari seorang pemimpin yang mengerti hukum.
Jadi, jika suatu waktu Anda mendengar ada pemimpin di suatu struktur atau wilayah kerja berteriak diskresi, arti dan makna unik dan nyentriknya sudah diketahui. Dengan segenap resiko yang harus ditanggulanginya. Namun hidup manakah yang tidak mengandung risiko. At least but not last, terpenting sekali adalah hikmah yang terkandung dari diskresi itu, yakni kepentingan publik diutamakan daripada kepentingan pribadi. Bahkan diri pribadi rela berkorban demi kepentingan publik yang butuh keputusan cepat di lapangan.
Sejauh pengalaman saya sebagai insan pers, tidak banyak pemimpin di Indonesia yang berani mengambil langkah diskresi. Silahkan saja dicek dan cross-check. Sebagian besar berlindung di balik aturan linear dengan bahase orang Pontianak, “Cari aman.” *