in

Ekologi Sastra Kalbar

Oleh: Khairul Fuad

Mengungkit sastra pasti mengungkap seputar lingkungan tempat di mana karya sastra itu dilahirkan. Karya sastra tidak lahir begitu saja, ujug-ujug dalam istilah Jawa, miliu atau seputar posisi dan kondisi selalu saja menyelimuti dan selalu saja memengaruhi. Posisi agraris-maritim dan hulu-hilir sedikit banyak tetap saja tergantung dan tertempel pada sebuah karya sastra, baik tersurat maupun tersirat, yang kadang tersadarkan pascaeksplorasi melalui apresiasi.

Kondisi kondusif dan takkondusif selalu saja memberi warna karya sastra sehingga mampu menjelaskan warna yang jelas suasana saat itu, hijau, merah, maupun putih. Meskipun karya sastra masih saja abu-abu saat dijadikan data sejarah untuk menjelaskan posisi dan kondisi saat itu. Karya sastra hanya sebuah story, bukan history, mungkin kepanjangan high story, cerita luhur dan bermakna adiluhung bagi sebuah bangsa menegakkan maruah (dignity)..

Posisi dan kondisi tersebut sebagai lingkungan ekternal pasti menyelinap di antara wacana karya sastra, sekalipun itu lingkungan individu pengarangnya, yang bisa dipastikan terpengaruh dari lingkungan eksternalnya. Setidaknya lingkungan makro dan mikrokosmos memberi andil munculnya karya sastra yang ditulis oleh pengarang. Lingkungan menjadi penting sebagai sumber ruang sekaligus waktu untuk ekspresi yang tertuang di dalam karya sastra.

Kalimantan Barat termasuk jajaran pulau terbesar merupakan rumah besar bagi para pengarang mengeksplorasinya dalam sebentuk wacana dengan pilar-pilar sastra pada sebuah karya. Tentunya, para pengarang yang memiliki ikatan dan kaitan emosional merupakan pemilik sahnya sekaligus tanggung jawab ekplorasi, bahkan ekskavasi Bumi Khatulistiwa, sebutan akrab Kalimantan Barat. Ekuator memang melintasinya dengan bukti tugu di Batu Layang Pontianak.

Bumi Khatulistiwa pasti memiliki lingkungan kosmos dan mikrokosmos sebagai unsur pembentuk sehingga kehidupan berkelindan sampai detik ini dalam wacana ekologi. Karya sastra dari sekian aspek yang merawatnya, hadir sekaligus menghadirkan lingkungan tersebut secara unik melalui cara pandang pengarangnya secara bebas sesuai wawasan yang dimiliki. Sementara itu, menghadirkan dalam panggung kata sebaiknya sesuai kontekstualisasi posisi dan kondisi yang tengah berkelindan saat itu dalam balutan imajinasi yang dibangun oleh pengarangnya.

Setidaknya hutan dan sungai serta yang terkait dan terikat, menjadi lingkungan alam makrokosmos Kalimantan Barat, tentu sumber latar atau setting sebuah karya sastra. Andil besar pastinya dari para pengarang khusus Kalimantan Barat meski terbuka bagi pengarang luar. Tentunya pengarang Kalimantan Barat yang lebih memahami suasana kebatinan mendalam akan relitas hutan dan sungai yang sesungguhnya karena separuh raga dan jiwanya.

Misalnya, parit terkait dan terikat dengan sungai, kemungkinan besar hanya pengarang Kalimantan Barat yang sangat memahami. Tidak heran jika parit dibangun dalam ranah sastra dengan keindahan sekaligus kerusakannya sesuai posisi dan kondisi kontekstual yang muncul dan dimunculkan. Tidak berbeda dengan sungai sebagai jalur utama (main road) pada masanya dengan segala problematikanya, seperti sampah, akan menjadi inspirasi empuk dalam benak imajinasi yang tertuang, baik secara tersurat maupun tersirat dalam sebuah karya sastra.

Mengungkap makrokosmos dalam wacana sastra maka mengungkit kepada setidaknya dua sisi, yaitu pastoral dan apokaliptik secara ekokritik. Sederhananya, saat lingkungan alam menampakkan keindahan dengan segala keseimbangan dan kerusakan dengan segala ketidakseimbangannya. Dua sisi itu juga terungkap dan terungkit dalam karya sastra Kalimantan Barat, misalnya kritik terhadap keberadaan sawit atau orang utan yang kehilangan habitatnya.

Secara mikrokosmos tentu tidak kalah semarak, bertumpu kepada lingkungan sosial di dalam karya sastra sebagai kerja kreatif pengarang Kalimantan Barat. Kenyataan sosial Kalimantan Barat dengan multikultural merupakan sumber sangat menarik demi dikelola melalui infrastruktur sastra dengan dinamika naik-turun dan tinggi-rendah sesuai mana-suka pengarangnya pastinya dengan tetap mempertimbangkan dulce et utile sebagaimana ungkap dan ungkit Horatius, indah dan manfaat.

Misalnya, akhir-akhir ini arus-utama (mainstreams) moderasi beragama sebagai konsep lingkungan sosial, tidak berlebihan dapat dialirkan ke dalam arus sastra. Multikultur selalu berbanding lurus dengan multiagama, dapat dijadikan olahan imajinatif, tentunya tanpa harus mengorbankan ranah sensitif masing-masing agama. Pandangan umat atau Relasi antarumatnya menjadi wilayah aman mengembangkan arus-utama tersebut ke dalam selingkung sastra.

Model penceritaan tersebut pernah dikembangkan sebelumnya oleh pengarang Kalbar pada konteks lokal maka upaya intertekstual dapat dijangkarkan untuk memunculkan karya sastra yang lebih segar. Demikian juga, model penceritaan berdasar sejarah lokal Kalimantan Barat juga pernah muncul sebelumnya dalam bentuk novel. Upaya ini juga sudah dilakukan dengan berbasis sejarah di Kabupaten Ketapang, juga berbentuk novel, hanya menunggu proses peluncuran perdana saja atau justru sudah diluncurkan.

Lingkungan alam dan lingkungan sosial di atas merupakan sekelumit saja terkait ekologi sastra Kalimantan Barat yang sangat luas sebagai timbal balik segala makhluk hidup, baik secara makro maupun mikrokosmos dalam sebuah karya sastra. Apalagi maraknya lingkungan digital di era metaverse, terbuka dikembangkan, baik sebagai infrastruktur pengayom dan struktur penceritaan karya sastra. Karya sastra selalu menjadi dokumentasi posisi dan kondisi konteks yang terangkum di dalam teks khas dan unik sebagaimana karya sastra Kalimantan Barat telah turut mendokumentasikan dengan caranya terhadap lokalitasnya sesuai keberlangsungan posisi dan kondisi.

Sudut Rumah 150622

Penulis sivitas BRIN PR MLTL

Written by teraju.id

Makam Juang Mandor – Persiapan Hari Berkabung Daerah

Seminar dan Pelatihan Pelayan Kaum Perempuan Daerah Belimbing Raya