Oleh: Leo Sutrisno
Hossein Hassani (Iran), Xu Huang dan Emmanuel Silva (Inggris), 2021, mengajukan sebuah pertanyaan reflektif tentang masa depan manusia di era digital. Apakah manusia tetap tak tersentuh oleh pusaran arus digitalisasi? (Information 2021, 12(7), 267; https://doi.org/10.3390/info12070267).
Dari literatur riviu yang dilakukan, mereka menemukan bahwa proses digitalisasi manusia, bahkan tanpa disadari, telah terjadi. Dengan telaah lebih luas, mereka menemukan bahwa proses digitalisasi ini tidak hanya di dunia kerja tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Hidup manusia dalam keseharian telah berubah.
Margret R. Hoehe (Institut Max Plank, Jerman) serta Florence Thibaut (Lembaga Psikiatri dan Neuroscience, Universitas Paris, Perancis), 2020, menelaah bagaimana teknologi yang dipergunakan mempengaruhi pikiran dan tingkah laku seseorang (Dialogues Clin Neurosci. 2020 Jun; 22(2): 93–97. doi: 10.31887/DCNS.2020.22.2/mhoehe).
Dengan ‘Brain imaging techniques’ mereka menunjukkan intensitas penggunaan media digital berbengaruh pada persepsi, bahasa dan kognisi pamakai.
Dalam STRATEGIC REVIEW, 23 April 2020, Cilla Henriette menemukan bahwa generasi tua di Indonesia berusaha sekuat tenaga agar tidak tertinggal oleh gawai (gadget) terbaru. Sedangkan generasi mudanya, bahkan, tumbuh dan berkembang bersama gawai.
Henriette manyatakan bahwa sebidang layar sentuh yang selalu berada di telapak tangan bukan lagi sekedar alat (komunikasi) tetapi juga sebagai identitas diri. Secara umum hal ini terlihat normal saja. Benarkah? Ternyata beberapa aspek kemanusiaan orang Indonesia telah berubah.
Empati terhadap sekitarnya menurun. Dewasa ini, tak ada alasan lagi untuk berkata ‘tidak tahu’. Orang berseloroh, ‘Tanya saja kepada Mbah Google!’. Lewat google, seseorang dapat menemukan apa saja yang ingin diketahuinya.
Informasi yang dimiliki seseorang sangat berlimpah. Tetapi, semua dalam dunia virtual, Tak perlu ada kontak batin. Tidak perlu berempati.
Bagi sebagian orang cara padang semacam ini juga berlaku ketika berhadapan dengan dunia nyata di sekitarnya. Kadar empatinya menurun kalau tidak hilang sama sekali.
Dirinya diukur berdasarkan standar medsos. Interaksi seseorang melalui media sosial, dewasa ini, sangat intensif. Bahkan, seperti tak jeda sama sekali. Akibatnya, standar yang tampil di dunia digital, bagi sebagian orang juga menjadi ‘standar’ bagi dirinya.
Tentu, bagi banyak orang ukuran ini sangat berat. Bahkan, tak mungkin dipenuhi. Timbullah masalah sosial lain yang lebih besar.
Interaksi antar manusia kehilangan makna psikologis. Kini, banyak orang lebih cenderung berinteraksi lewat media sosial ketimbang bertatap muka. Tak ada lagi saling beradu pandang, saling tersenyum, saling bersenda gurau saling berjabat tangan, dll.
Akibatnya, getaran hati dari interaksi antar manusia tak terasa lagi. Niliai-nilai psikologis dari interaksi antar manusia tak terasa lagi. Yang ada hanyalah respons-respons suka atau tidak suka seperti terhadap tampilan virtual.
Cara belajar dan cara bekerja juga telah bergeser. Ruang kelas tidak lagi menjadi satu-satunya tempat untuk mencari pengetahuan. Guru juga tidak lagi sebagai satu-satunya sumber balajar.
Melalui internet seseorang dapat mempelajari apa saja. Cara belajar dan yang dipelajari seseorang cenderung ditetapkan oleh yang bersangkutan sendiri, bukan oleh guru atau lembaga pendidikan tertentu. Sertifikat dan ijasahpun dapat diperoleh dimana pun, tidak perlu ke luar dari kamarnya.
Cara bekerja juga bergeser ke luar kantor. Kecepatan bekerja pun semakin cepat dan real-time.
Otomatisasi juga menggeser fungsi pikiran. Sekarang bekerja tidak lagi perlu berpikir karena banyak plaform sudah dilengkapi dengan algoritma yang sesuai dengan standar produk yang diinginkan. Seluruh algoritma sudah dilakukan secara otomatis. Kemampuan berpikir seseorang nyaris tak diperlukan lagi.
Cara makan dan menu seseorang juga berubah. Sebagian orang sudah meninggalkan dapur dan meja makan di rumah masing-masing. Rumah makan, restoran dan café selama dua puluh empat jam selalu penuh sesak.
Walau pun begitu, hampir tak ada interaksi langsung antar mereka. Masing-masing justru berinteraksi dengan mereka yang ada di seberang sana. Menu pun tidak lagi ditetapkan menurut selera sendiri tetapi cenderung oleh tampilan di medsos.
Mereka juga tidak langsung menikmati hidangan yang tersedia di depannya. Tetapi, didahului dengan ambil foto dan mengunggahnya di medsos. Mereka berharap dunia di luar sana turut serta menikmati hidangan yang akan disantapnya.
Situasi di rumah juga telah berubah. Rumah, dewasa ini, bukan rumah lagi. Tetapi, sebagai rumah singgah bagi anggota keluarga. Fungsi rumah bukan lagi tempat pendewasaan diri.
Inilah sejumlah perubahan yang bisa terlihat dengan kasat mata dewasa ini. Dunia digital telah mempengaruhi hidup keseharian manusia Indonesia.
Saatnya kita semua merenungkan kembali apakah jalan ini sudah tepat bagi kehidupan manusia. Semoga!
Pontianak, 25 Juli 2023