in ,

Generasi Kelebihan Beban

Sedikit tak tenang rasanya kalo tidak ditulis dan tidak diungkapkan jadi mengganjal di hati. Ini tentang seorang santri yang meninggal dunia pasca pengeroyokan bullying sembilan kawannya. Seorang santri Madrasah Tsanawiyah, di salah satu Kabupaten di Ujung utara Sulawesi.

Tulisan kali ini tidak ingin membahas kenakalan remajanya, atau pengeroyokannya. Biarlah itu mekanisme hukum di negeri ini yang bekerja. Saya juga tidak akan menulis tentang kejadiannya mengapa di Madrasah atau bukan madrasah, karena kejadian begini hanya puncak gunung es dari kekacauan yang lebih besar lagi.

Pada tulisan kali ini saya hanya ingin menyuarakan isi hati, sudah benarkah ekosistem yang kita bangun untuk anak-anak kita? Mengapa ekosistem masyarakat kita punya output sembilan anak yang mengikat temannya, lalu memukuli ramai-ramai hingga wafat di kemudian hari?

Salah satu gugatan saya pada kita semua adalah tentang bagaimana kita membebani generasi ini.


Tulisan saya sebelum ini berisi tentang Sekolah Masjid. Salah satu langkah dalam memperbanyak ruang serapan santri angkatan belajar adalah dengan menyederhanakan kurikulum. Iya. Menyederhanakan kurikulum.

Dengan penuh kerendahan hati, saya takzim dan hormat pada Bapak Ibu akademisi yang telah membangun silabus kurikulum untuk anak negeri, namun ijinkan suara hati kita berbicara, perlukah semua itu diajarkan ke semua anak didik?

Kita harus mulai berani membongkar kurikulum negeri ini, yang mana BATANG POHON UTAMA, dan mana yang hanya sekedar RANTING CABANG saja.

Mengerti gaya gesek itu bagus, tetapi apakah semua siswa harus faham gaya gesek? Apakah semuanya harus bisa menghitung gaya gesek?

Mengerti dan bisa mengoperasikan integral dan turunan itu bagus, jika Anda engineer dan harus menghitung fungsi optimasi, Anda harus faham integral dan turunan, tapi apakah semua generasi kita diharuskan memahami dan mengoperasikannya?

Sudah saatnya kita berani membagi, cukup hal BASIC saja yang semua wajib bisa. Baca, hitung, berfikir, adab, karakter, penanaman role model. Cukup.

Selebihnya mari bangun banyak jalur pilihan kompetensi untuk setiap anak. Jika memang arahnya kuat di bahasa, ya silakan saja dari usia SMP sudah mendalami bahasa. Juruskan saja dari kelas 7.

Jika memang senang desain, juruskan saja ilmu desain dari kelas 7. Sederhanakan kurikulumnya. Ringankan beban anak belajar. Kita harus bijak, dan harus berani menantang diri kita sendiri sebagai generasi yang dinilai lebih tua, terkait dengan apa urgensi nya memberikan beban kurikulum A-Z kepada siswa.


Apa hubungannya beban kurikulum dan bullyan. Ya jelas ada hubungannya, mengapa kurikulum kita hari ini gak membentuk anak-anak kita menjadi manusia? Terutama pada sembilan anak yang mengeroyok ini.

Anggaplah ini defect output error dari sistem pembelajaran, lalu mengapa bullying merata terjadi hampir disetiap institusi negeri? Mengapa mulai banyak anak yang berani membentak dan melawan orang tua? Belum lagi isu LGBT generasi tulang lunak yang populasinya makin merebak?

Lalu jika entitas sekolah memusatkan tuduhan salah pada lingkungan keluarga, ya menurut saya jadi saling lempar tanggung jawab, untuk apa institusi pendidikan dapat anggaran ratusan T, kan memang untuk didik generasi. Bahwa keluarga wajib mendidik anak, itu gak usah dibahas. Itu pasti.

Kembali ke masalah beban kurikulum, saya rasa sahabat-sahabat di Dewan harus berani menyuarakan ini. Jangan sampai banyak nya kurikulum yang ada hanya untuk kepentingan proyek dan serapan anggaran.

Ratusan T itu jika harus banyak dibelanjakan jadi modul dan buku-buku, lebih baik jadi bantuan gizi untuk generasi kita. Sederhanakan kurikulumnya, insyaAllah anggaran tetap terserap. Biarkan Dinas Pendidikan yang distribusi susu dan kacang ijonya, jika ini memang tentang serapan anggaran.

Jangan sampai atas nama serapan anggaran, penyerapan SDM guru yang sudah keburu diakadkan jadi pegawai, lalu negeri ini bikin-bikin kerjaan dengan bangun kurikulum yang njlimet untuk anak didik.


Sebenernya tulisan saya ini gak begitu berguna juga. Karena bagi orang tua yang sadar akan bahayanya beban kurikulum ini, mereka akan bangun pola pendidikan sendiri. Dan gerakan gak butuh sama ijazah—pengakuan negara ini mulai merebak. Di berbagai perusahaan pun sudah mulai merekrut karyawan berbasis kemampuan, bukan kertas ijazah.

Bagi saya pendidikan ini akan mengalami disrupsi. Jika makin banyak SDM alumni non kurikulum nasional yang malah bisa tegak dan berhasil di masa mudanya, maka pendidikan berbasis kurikulum nasional negara ini akan menjadi irelevan.

Pilihannya adaptasi, segera berubah, atau terlindas oleh market behaviour yang ada. Yuk… berani yuk… kita sederhanakan beban belajar anak-anak kita, mulai dari sekolah umum, sekolah kejuruan, madrasah, pondok, kita ingin membentuk manusia dewasa, manusia berdikari, kita bukan sedang membangun Ensiklopedia.

(Rendy Saputra, Narator Bangsa)

Written by teraju.id

Hari Jadi Faperta ke-59 tahun, Sukses Digelar

Program Studi Magister Ilmu Tanah (PS-MIT) Faperta Untan Terima Mahasiswa Baru TA 2022/2023