Dear Setyawati, anakku.
Jumat sore yang lalu, bapak mengantar ibu, kontrol ke dokter bedah digestif, dokter yang mengoperasi dulu. Bapak hanya menunggu di depan kamar praktek.
Di perjalanan pulang ibu bercerita tentang hasil konsultasinya. Kata dokter, kondisi kesehatannya mulai membaik dan siap menjalani terapi kemo.
Direncanakan, dua belas (12) kali terapi. Tanggal 16 Mei 2023, Selasa pagi, dijadwalkan sebagai terapi kemo yang pertama, di ruang Ca.
Selama proses terapi, harus menjalani rawat inap. Karena, persiapan 1×24 jam, terapi 2×24 jam, serta pemulihan sekitar 4-5 jam.
Ibumu tentu cukup paham tentang seluk beluk terapi ini dengan segala plus-minusnya. Karena itu, tidak begitu risau.
Justru, situasi di ruang rawat inap yang dikhawatirkannya. Karena, rumah sakit ini sedang menjadi salah satu rumah sakit model yang melaksanakan pelayanan tanpa kelas.
Tak ada ruang rawat inap kelas III, II, I, VIP atau VVIP. Di tiap ruang mesti diisi beberapa pasien.
Masalahnya, ia tidak biasa menggunakan kamar mandi bersama. Selain itu, juga khawatir akan tidur bapak.
“Santai saja. Saya bisa tidur dimana pun. Tidur beralaskan batu di tengah sungai pun sudah dialami” Kata bapak.
“Yaaa, itu kala masih muda. Sekarang? Usia sudah di atas 70-an” Tukas ibumu.
“Saya akan membawa alas dan kantung tidur Camping Nunug (Setya Nugraha). Ringan dan praktis. Dapat dibentangkan di bawah tepat tidur. Mudah-mudahan, dapat tempat tidur yang paling tepi”.
“Tapi, diangin-anginkan dulu, ya. Lama tidak dipakai. Digantung di kanopi atas. Banyak angin dan panas”. Sambung ibumu.
“Siap!” Sahut bapak.
Dear Setyawati, anakku.
Hingga saat ini, kanker masih merupakan penyakit misterius dan paling ditakuti banyak orang.
Dalam keadaan yang tampaknya baik-baik saja, tiba-tiba seseorang dapat dinyatakan mengidap kanker, bahkan dalam stadium lanjut. Dan harus dioperasi. Seperti, ibumu.
Karena itu, selain terapi medis bapak melakukan terapi doa. Setiap hari, pada pukul 03:00, bapak dan ibu mendaraskan doa rosario. Doa yang ‘hanya’ mengulang-ulang doa Salam Maria dan Bapa Kami.
Dengan menguluang-ulang kalimat yang sama, pikiran dapat menjadi diam, tenang, hening.
Ibu Teresa berkata:
Buah keheningan adalah doa.
Buah doa adalah iman.
Buah iman adalah cinta.
Buah cinta adalah pelayanan.
(Dan,ls), buah pelayanan adalah damai.
Sebagai penutup doa, ibumu menambahkan:
“Bapa, dalam kesedihan dan kegundahan ini,
Aku tetap percaya kepada-Mu,
Tidak sedikit pun meragukan akan Kemahakuasaan-Mu.
Pandang dan kasihanilah hamba-Mu, yang sedang sakit ini.
Sembuhkan aku.
Angkatlah penyakitku.”
“Amin”
Dear Setyawati, anakku.
Ketika masih sehat, selesai berdoa ibu tidak kembali ke tempat tidur. Tetapi terus ke dapur. Menyiapkan sarapan, Selesai kerja dapur, dilanjutkan dengan berbagai pekerjaan domestik yang lain. Semua dikerjakan sendiri karena tidak memperkerjakan ART.
Kini, bapak yang menggantikan ‘tugas’ domestik itu.
Di antara desis nyala api kompor, di sela-sela buih-buih deterjen, di ujung-ujung percikan Kispray, serta di dalam usapan-usapan lap di lantai, bergema nyanyian sunyi:
“Ya Yesus, senja hidupku telah menyapa.
Kini, aku dapat melihat jelas
Kesedihan tak terpisah dari kegembiraan.
Penderitaan tak terlepas dari kebahagiaan.
Biarkanlah mulut yang keriput ini
Memohon, tiada henti, belas kasih Bapa yang kekal.
Jagalah telapak tanganku
Tetap menadah tetes-tetes embun rahmat belas kasih-Nya.
Injinkan kedamaian mengisi hati kami”.
“Amin”
Leo Sutrisno
Green Silva, 5 Mei 2023